BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ancaman Sampah Plastik untuk Ekosistem Laut Harus Segera Dihentikan, Bagaimana Caranya?

Ancaman Sampah Plastik untuk Ekosistem Laut Harus Segera Dihentikan, Bagaimana Caranya?
oleh M Ambari [Jakarta] di 26 July 2018

Sampah plastik hingga kini masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia dan juga negara lain di dunia. Di Nusantara, sampah plastik tak hanya dijumpai di wilayah darat saja, tapi juga sudah menyebarluas ke wilayah laut yang luasnya mencapai dua pertiga dari total luas Indonesia. Semua pihak dihimbau untuk terus terlibat dalam penanganan sampah plastik yang ada di lautan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, setiap tahun sedikitnya sebanyak 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13.000 plastik mengapung di setiap kilometer persegi setiap tahunnya. Fakta tersebut menasbihkan Indonesia menjadi negara nomor dua di dunia dengan produksi sampah plastik terbanyak di lautan.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, semakin banyak sampah plastik di lautan, maka semakin besar ancaman bagi kelestarian ekosistem di laut. Meski ancaman kerusakan tak hanya berasal dari sampah plastik, tetapi dia tetap mengingatkan bahwa dampak yang ditimbulkan dari sampah plastik juga sangat berbahaya.

“Untuk itu, mari selamatkan laut Indonesia dan ekosistemnya dari sampah,” ungkap dia belum lama ini.

Susan menjelaskan, ancaman kerusakan ekosistem di laut, juga disebabkan oleh pencemaran industri, penangkapan ikan berlebih, reklamasi pantai, dan pengasaman laut sebagai dampak perubahan iklim. Kondisi itu, harus segera dicarikan solusi untuk menyelamatkan ekosistem laut yang bermanfaat sangat banyak untuk masyarakat.

Khusus untuk sampah plastik, Susan menyebutkan, Indonesia hanya kalah dari Tiongkok saja dalam hal produksi tahunan dan mengungguli 18 negara dari total 20 negara di dunia yang produksi sampah plastik di laut tinggi. Ke-18 negara itu, termasuk di dalamnya adalah Filipina, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, Mesir, Nigeria, Malaysia, dan Bangladesh.

“Masih banyak orang yang berpikir bahwa laut adalah tempat sampah besar padahal laut adalah sumber pangan yang strategis,” tutur dia.

Fakta lain tentang sampah plastik, menurut Susan, dalam siklus 11 tahun, jumlah plastik mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dengan kemasan dan bungkus makanan atau minuman menjadi penyumbang sampah plastik terbanyak.

DI saat yang sama, Susan mengatakan, dalam kurun waktu 19 tahun dari 1998 hingga 2017, KIARA mencatat ada 37 kasus tumpahan minyak yang terjadi di perairan Indonesia. Beberapa di antaranya, adalah kasus yang terjadi di kawasan perairan Timor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2016. Sampai saat ini, kerugian ekologis akibat pencemaran ini belum dipulihkan.

Dalam konteks itu, Susan menambahkan, kebijakan yang konsisten dari Pemerintah sangat dibutuhkan, seperti pelaksanaan moratorium proyek reklamasi pantai, proyek tambang di pesisir dan regulasi dumping ke perairan nasional.

“Pendidikan dan penyadaran mengenai laut dan sampah plastik, penting dilakukan oleh bersama oleh lintas kementerian seperti KKP, KLHK dan Kemenko Maritim, karena sampai saat ini laut masih dipahami sebagai tempat pembuangan akhir sampah manusia,” tegas dia.

Dana Gotong Royong

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di tempat terpisah menjelaskan, penanganan sampah plastik terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui rencana aksi nasional (RAN) yang melibatkan lintas instansi dan pemerintah daerah di seluruh provinsi. Keterlibatan itu, salah satunya untuk keperluan pendanaan penanganan sampah plastik.

Luhut mengatakan, dana yang diperlukan untuk penanganan sampah plastik sedikitnya mencapai USD1 miliar atau setara dengan Rp13,6 miliar. Dana tersebut, akan digunakan untuk periode lima tahun hingga 2025 mendatang. Untuk sekarang, Pemerintah akan menggalang dana dari 14 kementerian dan pemerintah daerah, termasuk pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi.

“Kita perlahan terus laksanakan dan kontinu. Kita sadar ini tidak bisa sekaligus, tapi bertahap. Yang paling susah, menyadarkan masyarakat tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, bukan sembarangan dan apalagi ke laut,” ucap dia beberapa pekan lalu di Jakarta.

Tak hanya melibatkan instansi pemerintah, Luhut juga meminta keterlibatan dari pihak swasta dalam melakukan penanganan sampah plastik. Mengingat, produksi sampah juga banyak berasal dari swasta melalui berbagai sektor yang dikelola dan dijalankan mereka. Ajakan tersebut, diminta untuk dilaksanakan di lapangan, dan bukan saja pada manajerial.

Tentang RAN yang sudah diluncurkan beberapa waktu lalu, Luhut menuturkan, bahwa itu dibuat untuk dijadikan peta jalan (roadmap) dalam mengatasi sampah plastik laut. Dengan demikian, pada 2025 mendatang, Indonesia diharapkan sudah bisa mengurangi sampah plastik di laut hingga 70 persen.

Selain fokus membersihkan sampah di laut, Luhut menerangkan, RAN yang sudah dilaksanakan tersebut, juga akan fokus bagaimana membersihkan sampah, khususnya sampah plastik yang ada di perairan sungai dan pantai.

Dengan penanganan yang sama di sungai dan pantai, dia berharap, volume sampah dan sampah plastik di laut bisa terus berkurang dan secara perlahan jumlah produksinya juga bisa terus menurun dari daratan.

Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Jose Tavares mengatakan, permasalahan sampah yang ada di laut dari hari ke hari memang semakin tak terbendung. Volume sampah yang ada di laut, juga terus meningkat dengan cepat. Kondisi itu, menjadikan laut sebagai kawasan perairan yang rawan dan menghadapi persoalan sangat serius.

“Setiap tahun sedikitnya 12,7 juta metrik ton sampah plastik yang diproduksi di daratan dibuang ke laut di seluruh dunia. Sampah plastik ini tidak hanya mencemari lautan, tapi juga membahayakan kelangsungan makhluk hidup, termasuk kita,” ucap dia.

Jose Tavares mengatakan, sampah plastik yang berasal dari daratan dan dibuang ke laut jumlahnya mencapai 80 persen dari total sampah yang ada di laut. Sampah-sampah tersebut masuk ke lautan, disebabkan oleh pengelolaan sampah yang kurang efektif dan perilaku buruk dari masyarakat pesisir di seluruh dunia dalam menangani sampah plastik.

Polusi laut akibat sampah plastik ini, kata Jose, tidak hanya berdampak buruk terhadap lingkungan, tapi juga merugikan dari sisi ekonomi karena pendapatan negara dari sektor kelautan juga menurun. Oleh itu, harus dicari solusi yang tegas untuk mengatasi persoalan sampah plastik yang ada di laut.

Deputi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin mengungkapkan, upaya Indonesia dalam penanganan sampah plastik, dilakukan dengan membuat RAN Sampah Plastik.

“Saat ini Pemerintah RI juga sedang menggalakkan kebijakan mengubah sampah menjadi sumber energi,” ucap dia.

Menurut Safri, berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi saat ini dalam mengelola sampah plastik yang ada di laut harus dipecahkan bersama. Selain itu, harus juga dibahas bagaimana mencari inovatif, kebijakan lokal dan nasional, kemitraan swasta, publik, dan pendidikan untuk perubahan perilaku masyarakat agar berperan aktif memerangi sampah plastik.

 

Hayati Laut

Lebih jauh Safri Burhanuddin mengungkapkan, jika sampah plastik di laut tidak dicegah produksinya, maka itu akan mengancam keberadaan biota laut yang jumlahnya sangat banyak dan beragam. Tak hanya itu, sampah plastik bersama mikro plastik yang ada di laut juga bisa mengancam kawasan pesisir yang memang sangat rentan.

“Indonesia mengakui tantangan sampah plastik tidak hanya di laut melainkan juga di daratan,” tutur dia.

Dengan ancaman yang terus meningkat, Safri menyebut, berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk bisa mengurangi dan menurunkan produksi sampah plastik di laut. Upaya yang dilakukan, melalui penanganan yang terintegrasi, baik dari tataran kebijakan hingga pengawasan implementasi kebijakan penanganan sampah plastik, khususnya sampah plastik laut.

Tentang RAN Sampah Plastik Laut, Safri menjelaskan, itu terdiri dari empat pilar utama, yaitu perubahan perilaku, mengurangi sampah plastik yang berasal dari daratan, mengurangi sampah plastik di daerah pesisir dan laut, serta penegakan hukum, mekanisme pendanaan, penelitian-pengembangan (inovasi teknologi) dan penguatan institusi.

Di sisi lain, Safri menyebut, sejalan dengan penyusunan rencana aksi, Kolaborasi Bilateral, Regional juga kerja sama Pemerintah dan swasta terus digalang untuk mengendalikan sampah plastik laut. Upaya pengendalian mutlak dilakukan melalui pemantauan dan pengumpulan sampah plastik dari laut dengan menggunakan teknologi yang relevan untuk menjamin hasilnya.

“Peningkatan kesadaran lingkungan melalui pendidikan sekaligus memperbaiki fasilitas pengelolaan sampah di pulau-pulau kecil dan daerah pesisir juga akan menjadi bagian besar dari upaya pengelolaan ini,” ujar dia.

Dalam Konferensi East Asia Summit (EAS) 2017 yang digelar di Bali, Indonesia mengampanyekan perang terhadap sampah plastik di lautan. Dalam konferensi tersebut, Indonesia menyampaikan beberapa langkah yang telah dilakukan Indonesia untuk memerangi sampah plastik di laut.

“Diantaranya adalah penerbitan Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia dan National Plan of Action on Marine Plastic Debris 2017-2025 (Mei 2017), Kampanye Combating Marine Plastic Debris serta Reduction Plastic Bag Production and Use,” papar Safri.

EAS merupakan forum regional yang menjadi wadah dialog dan kerja sama strategis para pemimpin dari 18 negara dalam menghadapi berbagai tantangan utama yang ada di kawasan. Ke-18 negara peserta EAS adalah 10 negara anggota ASEAN, Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Rusia, dan Selandia Baru.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2018/07/26/ancaman-sampah-plastik-untuk-ekosistem-laut-harus-segera-dihentikan-bagaimana-caranya/