BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Belajar Berkoperasi dari Negeri Jiran

Belajar Berkoperasi dari Negeri Jiran
Djabaruddin Djohan
6 Agustus 2015

Berbeda dengan perkembangan koperasi dinegara-negara sedang berkembang pada umumnya, yang kurang berhasil dalam arti sebagai lembaga ekonomi sosial mandiri,perkembangan koperasi di negara-negara bekas jajahan Inggris menunjukkan tingkat keberhasilan yang jauh lebih baik.

Dengan menggunakan pola yang disebut ”Classical British-Indian Patern”, (pola ini pada awalnya diterapkan di India semasa penjajahan Inggris), pemerintah dengan sadar mengambil prakarsa, khususnya dalam persiapan pendirian koperasi. Mulai dari pendidikan/pelatihan, konsultasi, informasi, hingga fasilitas yang diperlukan; selanjutnya mengawal hingga koperasi benar-benar sudah dapat berfungsi.Begitu koperasi sudahdapat berfungsi, pemerintah segera menarik diri.Pola ini tetap dilanjutkan setelah negara-negara tempat koperasi-koperasi dengan model pembinaan tersebut mencapai kemerdekaannya.

Buah dari pembinaan koperasi dengan pola ini tampak nyata dengan kinerja koperasi-koperasi di bekas jajahan Inggris, seperti India, Singapura, dan Malaysia, yang masing-masing negaraini memiliki koperasi-koperasi yang bertaraf global.

Keberhasilan pengembangan koperasi di negara-negara tersebut juga dibarengi penguatan organisasi gerakan koperasinya, yang sepenuhnya didukung oleh koperasi-koperasi anggotanya. Berfungsinya organisasi gerakan koperasi tersebut diwujudkan baik dalam menjaga/mengawal koperasi-koperasi anggotanya agar tetap berada dalam koridor nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya ataupun sebagai wakil gerakan koperasi. Fungsi-fungsi ini telah dapat dilaksanakan dengan baik oleh SNCF (Singapore National Cooperative Federation) organisasi gerakan koperasi Singapura, ANGKASA (National Coop Organization of Malaysia) organisasi gerakan koperasi Malaysia, dan NCUI (National Cooperative Union of India) organisasi gerakan koperasi India. Meskipun menurut pola ”Classical British-Indian Patern” pemerintah menarik diri dari pengelolaan organisasi koperasi begitu koperasi sudah berfungsi dengan baik,hubungan antara gerakan koperasi dan pemerintah tetap terjalin dengan baik.

Perlu orang ”bener”

Tidak berbeda dengan pengembangan koperasi di negara- negara sedang berkembang, pengembangan koperasi di Indonesia juga diprakarsai oleh pemerintah, baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa kemerdekaan.Untuk pertama kali, perkumpulan koperasi diperkenalkan di Indonesia pada akhir abad ke-19 oleh seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda, de Wolff van Weaterrode, Asisten Residen Purwokerto.

Koperasi yang diperkenalkannya adalah koperasi kredit pertanian model Raiffeisen. Namun, usaha berdasarkan prinsip gotong royong ini tidak bisa berkembang seperti diharapkan. Kegagalan ini, menurut Ibnoe Soedjono (1997), ”disebabkan adanya kesenjangan kultural antara lingkungan ekonomi modern (tempat kelahiran Raiffeisen) dengan lingkungan ekonomi tradisional Jawa dan sistem gotong royong yang sifatnya sosial”.

Konsep koperasi selanjutnya dikembangkan oleh para pejuang nasional dalam bentuk koperasi konsumen oleh perkumpulan Boedi Oetomo di bawah pimpinan dr Soetomo (1908) dan Serikat Dagang Islam (1913) sebagai bagian dari perjuangan nasional. Namun, usaha ini juga mengalami kegagalan. Pada awal kemerdekaan Wakil Presiden Bung Hatta turun tangan sendiri membimbing masyarakat untuk dapat berkoperasi dengan benar sebagai realisasi dari Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Namun, upaya menumbuhkan koperasi dari bawah ini ”dibabat” oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 (dari UUDS), yang kemudian menjadikan koperasi sebagai ”alat revolusi”.

Lepas dari cengkeraman Orde Lama masuk ke Orde Baru (1966) koperasi dijadikan sebagai ”alat kebijakan pemerintah” dengan melimpahkan berbagai fasilitas, terutama kepada KUD, sebagai bagian dari program pemerintah dalam pengadaan pangan. Namun, fasilitas tak lagi dikucurkan, KUD (juga koperasi jenis lain yang mendapat fasilitas pemerintah) rontok satu demi satu. Memasuki era Reformasi (1998), sindrom ketergantungan koperasi kepada pemerintah tidak kunjung berkurang. Ketergantungannya kepada pemerintah menjadikan gerakan koperasi tidak dapat melepaskan diri dari irama orientasi politik pemerintah yang berkuasa.

Dalam kondisi perkoperasian seperti itu, peranan organisasi gerakan koperasi, yaitu Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sangat diharapkan. Namun, organisasigerakan koperasiyang dibentuk pada 12 Juli 1947 ini punya masalah sendiri yang tidak kurang peliknya. Sejak era Reformasi, pucuk pimpinan organisasi gerakan koperasi menjadi rebutan, selain oleh tokoh-tokoh gerakan koperasi sendiri,juga oleh politisi-politisi yang ”berbaju koperasi”.

Dengan kondisiseperti di atas, jika pimpinan Dekopin berada di tangan orang-orang yang bener, dalam arti selain memiliki pemahaman mengenai nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, juga memiliki kompetensi dan integritas, dan dengan ”rendah hati” mau belajar dari keberhasilan koperasi-koperasi negeri jiran, bisa diharapkan koperasi akanmengalami kemajuan. Dari negeri jiran ini kita dapat belajar tentang pentingnya pendidikan sebagai basis keanggotaan yang aktif sebagai pemilik ataupun sebagai pelanggan koperasi, tentang profesionalisme dalam mengelola usaha serta tentang bagaimana kita mengembangkan kemitraan dengan pemerintah dalam merumuskan strategi pembangunan koperasi.

Akan tetapi, jika jatuh ke tangan orang-orang yang semata ingin menjadikan organisasi tunggal gerakan koperasi sebagai basis kepentingan pribadi/kelompoknya, ya, jangan harap koperasi di Indonesia akan maju. Sayangnya, kondisiinilah yang terjadi pada saat ini.

Djabaruddin Djohan, Penasihat Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/06/Belajar-Berkoperasi-dari-Negeri-Jiran