BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kesetaraan Gender dalam Perspektif NTT

Posted on 3 Maret 2014

David A.N. Fina
Manila/Philipina

Kedudukan perempuan dan laki-laki berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain. Bila hak waris (sering jatuh sama dengan hak untuk mengambil keputusan dalam suku, klan atau marga) suatu kelompok masyarakat dilanjutkan dari garis keturunan laki-laki (patrilinial) maka dalam konteks itu dan dalam hubungan dengan pengambilan keputusan, perempuan adakalanya berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Begitu pula terjadi dengan laki-laki dalam kontek di mana pengambilan keputusan ada pada perempuan (matrilineal).

Demikian pula terjadi mobilitas keluar – masuk orang dari kelompok suku yang berlainan dengan pola pengambilan keputusan yang berbeda tidak saja membawa perubahan pada pola pikir yang lama, tetapi juga menyebabkan penciptaan klan baru dengan penerapan model pengembilan keputusan yang baru yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, kita temukan kolompok masyarakat yang dalam penerapan budayanya  kita kategorikan sebagai semi- matriliniel  atau semi – patriliniel[1].

Secara akademis pemberian nama dan kategori sistem budaya patrilineal, matrilineal, maupun semi matrilineal dan patrilineal itu, sama sekali bukan untuk menisbikan keragaman alasan dari pembagian kerja, atau pemberian fungsi kepada laki-laki dan perempuan, dan tidak juga  untuk memberi legitimasi bahwa dalam setiap sistim kebudayaan di mana hak waris diberi kepada laki-laki (patrilinieal) pasti terdapat ketidak-adilan gender. Banyak penelitian menunjukkan bahwa tidak semua sistim kebudayaan yang patrilinial  itu menindas perempuan. Ada sistim kebudayaan patrilinial yang menindas perempuan seperti kebudayaan Yunani di mana perempuan dianggap hanya setingkat lebih tinggi kedudukan sosialnya di atas budak, dan adalah objek dari kepusaan politik laki-laki.[2] Tetapi ada juga sistem kebudayaan patriliniel di mana perempuan dan laki-laki berada dalam kedudukan sosial yang sama dengan fungsi yang berbeda. Artinya kesetaraan gender itu tidak dinamakan karena asumsi bahwa laki-laki dapat melakukan apa yang dilakukan oleh perempuan dan sebaliknya perempuan dapat melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki melainkan pada pembagian secara tegas secara biologis dalam konteks lingkungan fisik tertentu dan pendasaran sosial – budaya, ekonomis – politis,  religius-filosofis terhadap pembagian-pembagian itu.

II

Dalam kehidupan sehari-hari baik sosial, ekonomi dan politik, dunia perempuan dan laki-laki dibagi menjadi dua yaitu di dalam rumah dan diluar rumah. Sungguh-pun demikian pembagian itu tidak dapat dipahami hanya sebatas ruang fisik (space) yang telah ditentukan karena pembagian itu lebih luas dan meliputi juga ruang non fisik. Sebagai contoh sistim politik dari masyarakat di Timor Barat yang mendapat pengaruh langsung dari kebudayaan Tetun (Belu) pemegang peran utama untuk mendatangkan keseimbangan dan kesejahteraan seluruh wilayah kekuasaan adalah laki-laki tetapi berada dalam kategori gender  perempuan. Wilayah tempat tinggal dari pemimpin ini secara simbolis disebut sebagai pusat semua kegiatan ritual (ritual centre), wilayah ini-pun disebut wilayah dalam kategori gender perempuan. Sedangkan kegiatan mempertahankan keutuhan wilayah dalam hubungan dengan musuh merupakan tugas pemimpin yang ada pada kategori gender laki-laki.

Bagitu pula dalam kehidupan sehari-hari seorang laki-laki Timor merupakan penanggung jawab dari keluarga karena fungsinya sebagai pencari nafkah. Dahulu pada waktu lingkungan fisik Timor masih baik, kehidupan mamsyarakatnya sebagiannya  adalah pemburu-pengumpul (hunter-gather). Pekerjaan pemburu dan pengumpul adalah pekerjaan laki-laki, tetapi pekerjaannya dan hasil yang dicapainya ditentukan dari ritus-ritus keagaamaan yang dibuat di dalam rumah, dan pengelolaan hasil buruan dan pengumpulan  oleh perempuan. Pada waktu masyarakat Timor dan juga masyarakat lainya telah menjadi masyarakat agraris pembagian kerja yang demikian masih dapat dilihat. Laki-laki membersihkan kebun – perempuan menanam. Laki-laki membawa hasil panen ke rumah – perempuan mengelola hasil panen. Laki-laki bekerja – perempuan memastikan bahwa  hasil kerja laki-laki mencukupi untuk kebutuhan keluarga sampai musim panen berikutnya.

“Sejak mamsih sangat muda, seorang anak perempuan sudah dilatih oleh ibunya untuk menenun. Menenun adalah ketrampilan yang mensyaratkan kemampuan matematis. Sebuah produk tenunun yang berkualitas; baik yang motifnya dibentuk melalui ikat (futus) atau yang motifnya dibentuk pada waktu menenun (Sotis/lotis, paut, paat), menunjukkan kemapuan matematis sang penenun. Untuk menghasilkan sebuah motif bunga, motif binatang, seorang perempuan harus mampu menghitung dengan cermat jumlah batangan benang yang dibutuhkan untuk menghasilkan motif itu, supaya hasil tenunannya tidak buruk (satu sisi lebih lebar dari sisi  lainnya, atau ujung yang lain lebih panjang dari ujung yang lainnya. Perhitungan yang salah berakibat buruk pada hasil akhirnya.  Hasil tenunan seorang permpuan adalah kebanggaan dari suami dan juga keluarganya. Di masa lalu,  ketrampilan menenun adalah tiket ke perkawainan.  Mempunyai ketrampilan menenun meluluskan seorang perempuan untuk menjadi seorang pengurus rumah tangga yang handal dalam arti bahwa perenpuan itu sudah siap untuk mengurus harta benda keluarga, termasuk di dalamnya perbekalan makanan, bibit jagung dan padi, memehara binatang di dalam rumah dan halaman rumah (ayam, babi dan lain-lain). Ia yang menentukan apakah jagung/padi dilumbung sampai musim panen berikutnya.  aturan tak tertulis ini cukup ketat, laki-laki tidak dibolehkan untuk naik ke atas lumbung padi atau jagung.  Sebagian orang mengatakan bahwa laki-laki yang melakukannya dianggap banci. Alasan yang sangat chauvinistik ini rasanya tidak benar. Yang lebih tepat adalah bahwa lambung padi berada di luar wilayah keahlian laki-laki, dan bila dilanggar hanya akan mendatangkan kerugian bagi keluarga. Mungkin dalam bentuk mismenagement dari lumbung sehingga makanan tidak mencukupi sampai musim panen berikutnya.  Bila orang tua bepergian, isteri mengeluarkan dari lambung jumlah makanan yang dibutuhkan untuk anak-anak slama mereka bepergian.”[3]

Pembagian tanggung-jawab dan kerja di dalam dan luar rumah menyebabkan perempuan memiliki naluri usaha ekonomi yang lebih tajam dibanding laki-laki. Di Timor, dalam hal pengelolaan keuangan rumah tangga, laki-laki dianggap kurang teliti dan karena itu kurang menghasilkan (Ka ma uf – ka ma tunaf[4] = tidak berpangkal – tidak bertunas).  Artinya kebanyakan usaha ekonomis yang dilakukan seumpama pohon, tidak mempunyai pangkal dan tunas.  Tidak berpangkal merupakan penyebutan simbolis pada kenyataan bahwa usaha yang dimulai oleh laki-laki biasanya tidak dilakukan dengan perhitungan dan dasar yang benar. Sedangkan tidak bertunas adalah penyebutan bahwa usaha yang dimulai oleh laki-laki tidak berumur panjang karena tidak mempunyai dasar yang kuat.

Kegiatan ekonomi alternatif yang dilakukan di Kupang pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998 di lakukan sebagiannya oleh perempuan. Usaha-usaha itu sampai sekarang masih terlihat di Kupang. Hal ini terjadi karena kegiatan ekonomi sejak dahulu adalah kategori kegiatan di dalam rumah. Artinya perempuan secara turun- temurun telah terlatih untuk  melakukan kegiatan-kegiatan  ekonomis lebih baik dari laki-laki pada hampir semua kebudayaan di Nusa Tenggara. Hal ini terlihat dengan jelas di pasar-pasar pada hampir seluruh wilayah di NTT.

III

Tidak dapat disangkal bahwa dalam kehidupan sehari-hari pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang karena wilayah lingkup usaha dalam dunia yang modern lebih banyak berhubungan dengan wilayah yang dahulu merupakan wilayah perempuan. Sehingga secara tidak sadar beban dan volume kerja dari perempuan seringkali  lebih besar dari kebanyakan laki-laki. Kenyataan ini diperburuk dengan praktek-praktek dalam sistem perkakwinan di NTT, yaitu sistem pemebrian mahar atau Belis.  Mulanya praktek-praktek yang demikian dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada perempuan yang karena perkawinan harus pergi bersama suaminya. Lama kelamaan kerena perkembangan dunia menjadi dunia yang satu (global), praktek ini di-ekonomisasi sehingga tidak lagi memberi perlindungan kepada perempuan tetapi menindas.  Dahulu sistem belis itu diimbangi dengan sistim perkawinan endogami (cross-cousin marriage) di mana peredaran harta benda dasar dari belis itu dibatasi pada sesama saudara saja. Lama kelamaan karena keterbukaan wilayah dengan dibukanya jalan-jalan desa, hubungan dan komunikasi itu menjadi luas dan menyabebakan diberlakukannya sistim perkawinan yang eksogamus. Pada satu sisi sistim perkawinan yang demikian memperkecil ruang permusuhan antar kelompok masyarakat yang mempunyai leluhur penurun yang berbeda tetapi pada sisi lain secara ekonomis membuat sistim belis itu menjadi sistim yang merugikan perempuan.[5] Di Sumba misalnya seorang perempuan yang telah dibelis diputuskan secara sosial dan emotional dari kelompoknya dan pada waktu diperlakukan tidak  adil oleh suami atau keluarga suami tidak dapat mengeluhkan kesedihannya pada saudaranya atau pada orang tuanya. Bahkan pada pada waktu orang tuanya meninggal pun hanya dapat menangis dari kejauhan.

Dampak dari ekonomisasi sistim belis itu adalah tekanan terlalu berlebihan terhadap perempuan. Pembagian kerja yang lebih besar pada perempuan pada masyarakat yang masih mempraktekkan sistim belis dalam perkawianan eksogamus dianggap wajar dan merupakan bayaran terhadap nilai ekonomis belisnya.

IV

Dewasa ini, sistem perkawinan seperti yang dijelaskan di atas perlahan-lahan mulai ditinggalkan. In terjadi karena makin banyak Banyak pasangan muda yang memutuskan untuk berumah tangga memilih untuk mempersiapkan bersama perkawinan mereka.  Pihak keluarga hanya berpartisipasi saja dalam proses pengurusannya. Diskusi-diskusi  kesetaraan gender tidak boleh dilakukan di atas dasar asumsi bahwa perangkat-perangkat nilai budaya mengenai gender yang telah ada dan melekat pada budaya setempat-setempat tidak berkeadilan gender tetapi diarahkan kepada upaya untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan praktek-praktek yang meniadakan nilai mengenai kesetaraan gender yang telah ada pada masyarakat-masyarakat  di NTT. Memang dalam hal pekerjaan karena tingkat pendidikan dan pengalaman kerja hampir semua jenis pekerjaan dapat dilakukan oleh baik laki-laki maupun perempuan, karena itu mereka harus mendapat perlakuan yang sama dalam hal hak dan kewajiban di dalam pekerjaan.

Dalam perkawinan, segala sesuatu mengenai kerja idealnya di putuskan bersama oleh laki-laki dan perempuan. Karena pekerjaan adalah hal yang penting untuk memenuhi ego dan ambisi pribadi dari setiap orang, tetapi pekerjaan bukanlah hal yang paling penting. Keluarga juga penting tetapi bukanlah satu-satunya yang penting. Kerena ada banyak hal yang penting, maka hal-hal yang penting itu mesti dikomunikasikan di antara laki-laki dan perempuan supaya kesetaraan gender itu dapat dicapai. Kesetaraan gender itu akomodatif dan berbeda dari satu keluarga ke keluarga lainnya.

Diskusi mengenai kesetaraan gender dalam dunia kerja di NTT, tidak boleh  dilakukan dengan asumsi bahwa yang telah dipraktekkan di dunia Barat adalah model yang memadai untuk menilai yang ada di NTT.  Kerena di antara NTT dan kebudayaan Eropa terdapat jurang waktu perkembangan yang dalam.  Kemajuan pemikiran mengenai kesataraan gender yang beratus-ratus tahun lamanya, tidak dapat di alihkan ke NTT dan Indonesia yang sebagian besar penduduknya masih berada dalam sistem kebudayaan yang mungkin sama dengan Eropa beratus-ratus tahun yang lalu. [*S*]


[1] Menurut A.C. Kryut, dalam Van Wouden 1985, hal 57 kebudayaan di Timor pada umumnya adalah  percampuran antara matrilineal dan patrilineal (semi-matrilineal/patrilinieal)

[2] Michel Foucault, 1992. “The History of sexuality 2: The use of pleasure” (hal 215 – 225).

[3] Penagamatan dan refleksi pribadi

[4] Pohon membutuhkan batang dan akar untuk bertunus. Begitu pula seorang laki-laki (untuk mengeluarkan tunus/berkembang) untuk menjalankan usaha ekonomis – ia membutuhkan ketrampilan. Padahal ekonomi rumah tangga tidak jatuh dalam peranan traditional lakii-laki.  Sebab itu tanpa persiapan/pelatihan dasar keuangan, memberikan uang untuk diusahakan laki-laki dianalogikan seperti mengharapkan pohon bertunas tanpa taruknya.

[5] Penindasan kepada perempuan sebagai akibat ekonomisasi sistim mahar/belis/dowry banyak ditemukan di India, Pakastan, Bangladesh, Nepal, Afganistan.  Akar dari kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan pada wilayah-wilayah ini adalah Mahar/belis/dowry.