BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik

Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik
oleh M. Fauzi Sukri * di 16 July 2020

Pada 2004, Profesor Jared M. Diamond memberikan kuliah umum (public lecture) atas undangan National Council for Science and the Environment, Amerika Serikat. Judul pidato yang dibawakannya sangat menarik bahkan penting dibaca saat ini: Lessons from Environmental Collapses of Past Societies (Pelajaran dari Keruntuhan-keruntuhan Masyarakat Masa Lalu).

Judul pidato ini bukan hanya semacam ringkasan penyederhanaan atas sekian buku ilmiah karya Jared Diamond yang sudah menjadi bacaan publik dunia termasuk di Indonesia, seperti: The Third Chimpanzee: The Evolution and Future of the Human Animal (1991); Guns, Germs, and Steel: The Fate of Human Societies (1997); Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), The World Until Yesterday (2012), dan Upheaval (2019).

Tapi juga refleksi Jared Diamond atas perjalanan karier keilmuannya dalam meneliti dan menyaksikan kebangkitan dan keruntuhan suatu masyarakat dari masa-masa yang berbeda di berbagai sudut bumi.

Pidato Jared Diamond memang lebih spesifik menyoroti penghancuran hutan, khususnya di Easter Island yang punya peninggalan batu-batu raksasa untuk peribadatan. Di luar fokus kasus pidato Jared Diamond, ada satu masalah penting yang diajukannya: mengapa ada masyarakat yang runtuh, tapi ada yang bisa bertahan terutama saat menghadapi krisis alam seperti wabah virus atau kehancuran lingkungan?

Masalah ini, kata Jared Diamond, bukan saja menjadi kasus romantik secara intelektual dan ilmiah saintifik, tapi tentu saja terutama sangat penting bagi para pengambil kebijakan publik, juga masyarakat.

Jared Diamond memberikan sketsa penting pola pikir dan perilaku pembuatan keputusan publik saat menghadapi krisis lingkungan atau wabah. Ada tiga hal penting kenapa kelompok masyarakat bisa gagal bahkan hancur kehidupannya dan kenapa ada yang berhasil mengatasinya.

Tiga hal ini juga penting sebagai introspeksi kolektif dalam menghadapi wabah COVID-19.

Tiga Penyebab Kegagalan

Yang pertama, apakah masyarakat itu sudah mengantisipasi masalah yang akan dihadapi. Suatu masyarakat gagal mengantisipasi masalah sebelum masalah tersebut datang, khususnya jika mereka belum pernah punya pengalaman menghadapi masalah tersebut sebelumnya.

Antisipasi adalah penyelamat yang paling pertama. Tapi, antisipasi adalah yang sering paling diabaikan bahkan diremehkan oleh masyarakat khususnya pengambil kebijakan publik.

Warga dunia, khususnya Indonesia, tidak pernah menghadapi COVID-19. Tapi, bukan berarti orang Indonesia atau warga dunia belum pernah menghadapi wabah virus. Catatan sejarah kedokteran dari kurun modern, selama 100 tahun terakhir, seharusnya sudah cukup menjadi pengalaman kolektif warga dunia.

Penduduk Indonesia (Hindia Belanda dulu) sudah pernah mengalami wabah influenza, wabah kolera, wabah cacar, juga wabah beriberi yang penyebab utama dan obatnya ditemukan dokter Christiaan Eijkman. Apakah itu cukup dipahami sebagai pengetahuan-peringatan kolektif?

Yang kedua, kegagalan memahami pokok masalah ketika masalah itu sudah tiba. Ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat (dalam format apa pun) tidak mampu memberi petunjuk yang benar dan tidak sesuai dengan pokok masalah yang dihadapi.

Kesiapan ilmu pengetahuan, infrastruktur lembaga penelitian ilmiah, atau rumah sakit dengan fasilitas infrastrukturnya, adalah faktor yang sangat penting keberhasilan atau kegagalan masyarakat menghadapi krisis dan wabah.

Peringatannya sangat jelas: kebodohan menghancurkan masyarakat.

Sejak zaman dahulu kala, ilmu menjadi faktor penting dalam memahami atau gagalpaham terhadap suatu krisis atau wabah penyakit. Sejarah rumah sakit dan ilmu pengetahuan kedokteran yang hadir di sisi para penguasa, baik melalui ahli nujum, para agamawan yang religius, sampai ahli kedokteran dengan basis ilmu sains modern, adalah bagian penting apakah suatu masyarakat bisa gagal bahkan hancur saat menghadapi krisis kesehatan.

Yang ketiga adalah perilaku rasional (rational behaviors) yang mengatakan kepada mereka bahwa, meskipun mempunyai ilmu penangkal kehancuran tata masyarakat dan sangat paham dampak krisis atau wabah yang menerjang mereka, tapi mereka sama sekali tidak mengantisipasi bahkan tidak berusaha menghalaunya.

Perilaku ini adalah apa yang bisa disebut sebagai tragedi kolektif atau bahkan bunuh diri berjemaah. Perilaku yang mengherankan tak mengindahkan peringatan ilmu ini biasanya karena sebagian dari kelompok masyarakat itu, khususnya elite politik pengambil kebijakan publik, akan segera terkena dampak langsung jika segera dilakukan antisipasi, pencegahan, atau pengobatan-penghalauan krisis atau wabah.

Ada benturan dan pertarungan kepentingan antarkelompok (ekonomi, politik, agama) yang menghalangi antisipasi, penanggulangan, dan penghalauan.

Para elite pengambil kebijakan ini, yang paling mungkin mengetahui pokok masalahnya tapi memilih berpikir rasional untuk jangka pendek, hanya membuat kebijakan jangka pendek untuk menyelamatkan kepentingan mereka saja.

Mereka tidak melihat jauh ke masa depan. Ironisnya, seiring berkembangnya krisis atau wabah, justru kebijakan itulah yang semakin memperparah krisis. Inilah yang terjadi dengan masyarakat Easter Island yang akhirnya hancur.

Selain benturan kepentingan sosial-ekonomi, benturan antarkelompok itu biasanya juga diikuti oleh benturan kepentingan nilai religius. Dalam kasus masyarakat Easter Island, para elite agamawan sangat membutuhkan kayu besar untuk mendirikan-menegakkan batu-batu besar sebagai bentuk kejayaan dan kebesaran mereka sebagai penguasa.

Untuk itu, pohon-pohon besar di hutan harus ditebang, padahal kebutuhan pokok ekonomi sangat membutuhkan keberadaan hutan. Di sini, agama hanya menjadi penguat penghancuran masyarakat.

Koreksi dan Introspeksi

Jika tiga hal itu dijadikan sebagai instrumen untuk mengetahui apakah Indonesia bakal berhasil atau justru gagal menghadapi COVID-19, maka, pertama, kita bertanya membuat pertanyaan sederhana kepada pemerintah dan rakyat Indonesia: apakah sejak awal sudah mengantisipasi penyebaran COVID-19 yang hampir pasti masuk ke Indonesia?

Apakah ada tim ilmuwan/dokter khusus untuk mempelajari, mengamati, dan membuat rekomendasi tegas kepada pemerintah pusat dan daerah bagaimana COVID-19 itu bekerja, menyebar, dan menular, apa obatnya, bagaimana mengatasinya secara bertahap.

Lalu sebagai kebijakan: apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum dan sesudah COVID-19 masuk ke Indonesia pertama kali.

Apakah sudah ada persiapan rumah sakit khusus untuk menangani COVID-19 jika sudah masuk ke Indonesia, dan apakah ada tim pelacak khusus yang bertugas melacak jejak perjalanan perderita (carier) COVID-19?

Secara kasar, jika kita ikuti jejak ucapan para pengambil kebijakan tertinggi Indonesia, kita bisa sepakat: tak ada kebijakan antisipasi sama sekali saat kita mendengar beritanya dari Wuhan, Tiongkok.

Pertanyaan yang sangat penting adalah: apakah masyarakat Indonesia sudah membuat kebijakan antisipasi atau justru tidak sama sekali? Silakan Anda menilai ucapan para pejabat atau tokoh masyarakat kita termasuk orang-orang di sekitar Anda dengan tajam dan keras, mulai dari sejak berita COVID-19 di Tiongkok, hari-hari ini, sampai akhir tahun 2020 nanti.

Kedua, kita bisa bertanya: apakah elite pengambil keputusan publik sudah mempunyai atau menggunakan ilmu yang bisa dipercaya kebenaran kehandalannya untuk mengatasi krisis atau wabah yang sedang dihadapinya?

Apakah yang dikatakan oleh para pemegang otoritas kebijakan publik (pejabat pemerintah, agamawan, ilmuwan sekular/religius, atau bahkan pengusaha) kepada masyarakat sudah berbasis ilmu yang bisa dipercaya teruji kebenarannya?

Keputusan publik seharusnya berbasis ilmu yang terbukti empiris, bukan sentimen rasial atau keyakinan tak teruji objektif-ilmiah. Maka, perhatikanlah ucapan orang-orang di sekitar Anda katakan dan siapa yang secara tidak langsung telah merevisi ucapannya sendiri tentang COVID-19.

Nilai mereka dengan keras dan tegas! Ingat: kebodohan adalah pangkal kehancuran masyarakat.

Ketiga, setelah Indonesia akhirnya juga terjangkiti COVID-19, setelah para elite pengambil kebijakan saling lempar ucapan, setelah korban pertama dan berikutnya terus dan terus berjatuhan, setelah masyarakat mulai resah tapi juga tak acuh, apakah mereka dan kita semua membuat kebijakan hanya yang terkait dengan kepentingan kita masing-masing tanpa ada prioritas bagi kebaikan-kemaslahatan bersama di masa depan?

Apakah sudah tampak kebijakan yang sistematis dan bertahap yang diketahui bersama dari kebijakan yang kecil sampai yang tingkat ekstrem dalam menghadapi krisis atau wabah dan apakah kebijakan ini bisa dipatuhi masyarakat Indonesia?

Kekonyolan yang Berbahaya

Perilaku masyarakat dahulu kala dengan sekarang, dalam banyak hal tidak begitu berbeda saat menghadapi krisis kesehatan atau wabah. Benturan kepentingan antarkelompok, hanya fokus kebijakan jangka pendek demi menyelamatkan kepentingan (ekonomi) kelompok tertentu.

Juga pengabaian terhadap ilmu yang jelas mangkus alih-alih berdelusi dengan mitos bohong atau omongan tak berdasarkan data empiris, dan termasuk tak ada permohonan maaf atas ucapan ngawur bahkan bohong dari elite penguasa politik budaya.

Yang perlu diperhatikan, kemajuan ilmu pengetahuan seperti sains kedokteran di zaman kita belum tentu dijadikan basis kebijakan publik.

Orang Easter Island bukan tidak paham bahaya penebangan pohon hutan yang telah melindungi kehidupannya. Mereka sangat sadar dan paham tapi tak bisa berbuat banyak. Kekonyolan adu kepentingan dan kebijakan jangka pendek justru yang sering menjadi kendala utama bahkan jadi penguat krisis kesehatan atau ekologi.

Yang di atas sibuk menghimbau, membuat kebijakan hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, tak berani membuat kebijakan mangkus yang tegas adil; sedangkan yang di bawah tak bisa berbuat banyak atas nama desakan kebutuhan real sehari-hari.

Sayup-sayup, mungkin sebagian dari kita mendengar arwah orang-orang Easter Island yang akhirnya hancur secara kolektif. Semoga apa yang dialami oleh orang-orang Easter Island tidak melanda warga dunia.

 

* M. Fauzi Sukri, penulis buku Guru dan Berguru (2015), Pembaca Serakah (2018), dan Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018), peminat filsafat pendidikan, ekonomi politik, dan filsafat agama. Artikel ini adalah opini penulis.

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2020/07/16/krisis-kesehatan-pengetahuan-ekologis-dan-kebijakan-publik/