BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Tegakkan Kedaulatan Pangan

Tegakkan Kedaulatan Pangan

    Jumat, Agu 22 2014
    Ditulis oleh  amex

Catatan Dari Lenteng Agung

OLEH : Rudy Rahabeat, (Pendeta Gereja Protestan Maluku)

Seorang Dr Vandana Shiva, aktivitas ekofeminis cum pemikir dari India mampir di Universitas Indonesia memberikan kuliah publik bertajuk: Our Seeds Our Future.

Strengthening Indonesia’s Food Sovereignity (18/8/14). Dengan gaya bicara yang provokatif dan cerdas Dr Shiva menantang para peserta (juga seluruh warga bangsa) untuk serius mengantisipasi masa depan dengan memperkuat kedaulatan pangan Indonesia yang baru saja merayakan 69 tahun kemerdekaan.

Peringatan Dr Shiva ini sangat beralasan di tengah kondisi pangan dunia yang kian terancam, baik oleh perubahan iklim maupun terlebih dominasi perusahaan-perusahan multinasional dalam menguasai pangan dunia.

Penetrasi industri pertanian berbasis teknologi canggih (yang kadang tidak ramah lingkungan) seringkali menyisahkan persoalan yang menyedihkan, khususnya bagi rakyat kecil.

Cerita tentang sukses gagalnya Revolusi Hijau (green revolution) menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Kenyataan ini lebih diperparah.

Lagi dengan gaya hidup sebagian anak bangsa yang doyan produk asing, instan dan cenderung menyepelehkan produk dalam negeri.

Sebuah brosur kecil di luar arena kuliah yang berasal dari Yayasan Bina Desa menuliskan kalimat-kalimat begini: “Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam menghasilkan beras nasional atau sering disebut dengan Swasemba beras yakni pada tahun 1989.

Namun pada sisi lain dalam waktu yang sama terjadi puncak penjualan produk pupuk dan pestisida kimia pabrikan.

Artinya produksi yang dihasilkan para petani disokong oleh pemakaian pupuk dan pestisida kimia pabrikan secara nyata.

Dari waktu ke waktu para petani penghasil beras dan pangan lainnya sangat tergantung dengan input luar berupa benih, pupuk dan pestisia buatan pabrik dengan alasan untuk meningkatkan.

Dengan nada kritis dan lugas diwartakan lebih lanjut: “Residu pemakaian pupuk dan pestida kimia yang dilakukan secara terus menerus dalam memproduksi beras dan pangan akhirnya.

Justru menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan manusia, serta ketergantungan petani pada industri pertanian.

Masalah lain yang ditimbulkan adalah terjadinya peminggiran perempuan petani dalam usaha tani sehingga tidak bisa mengambil peran dalam proses produksi pertanian”.

Realitas ini bukanlah hal  yang sepele. Realitas ini mestinya menggugah dan menggugat kesadaran kita semua untuk berbenah dan serius memikirkan masa depan bangsa, salah satunya dengan memperkuat ketahanan pangan.

Salah satu upaya menuju ketahanan pangan, antara lain melalui kuliah Dr Shiva pagi itu adalah memperkuat ketahanan rakyat atas penguasaan benih.

Data menunjukan bahwa ada 10 perusahan benih dunia yang mendominasi pasar benih yakni Monsanto AS (23%), DuPont AS (15%), Syngenta (Swiss) 9%, Groupe Limagrain Prancis (6%), Land O’Lakes AS (4%), KWS AG Jerman (3 %), Bayer Corp Science Jerman (2%), Sakata Jepang ( < 2%), DLF-Trifolium Denmark (< 2%), dan Takii Jepang (< 2%).

Pertanyaannya dimana petani kecil?

Bagaimana nasib mereka ketika berhadapan dengan raksasa-raksasa di atas.

Tentu saja mereka akan tetap menjadi orang-orang kalah jika pemerintah dan segenap komponen bangsa tidak segera mengambil sikap politik yang tegas.

Pemerintah tidak boleh.

“Main mata” dengan perusahan-perusahaan multinasional sehingga mengorbankan rakyat kecil.

Pemerintah di sini bukan hanya pemerintah pusat tetapi terlebih pula pemerintah daerah.

Tentu saja ini bukan perkara mudah.

Pemerintah siapa yang mau bersusah-susah melewati jalan panjang jika ada jalan pintas untuk memperoleh “keuntungan” sesaat?.

Benarlah apa yang disinyalir oleh sosiolog Peter Berger tentang piramida kurban manusia, dimana seringkali demi membangun sebuah piramida yang menjulang tinggi, maka rakyat kecil yang akan menjadi tumbal/korban.

Apakah kita tega membiarkan sejarah buruk ini akan terulang lagi di panggung Indonesia yang telah memasuki era reformasi dan demokratisasi?

Kepada siapa keberpihakan kita nyatakan, apakah kepada pemilik modal, penguasa atau rakyat biasa? Jawabannya adalah tegakkan kedaulatan dan jati diri sebagai bangsa yang bermartabat.

Tumbuhkan rasa cinta kepada bangsa dan kemanusiaan sehingga dari rasa cinta itu.Melahirkan sikap rela berkorban dan belarasa dengan sesama warga bangsa.

Dari imperatif etis kebangsaan ini maka beberapa agenda dapat pertimbangkan.

Pertama, bagi para sarjana pertanian agar lebih sungguh-sungguh menstudikan problematik dan prospek pangan dalam negeri.

Persoalan benih milik bangsa mesti dikaji secara berkelanjutan dan juga diupayakan agar petani berdaulat atas benih yang ada mereka.

Bagi para legislator, agar memperjuangkan regulasi yang melindungi para petani dari dominasi pengusaha bermodal besar.

Bagi pemerintah agar menerapkan kebijakan-kebijakan yang pro petani dan terus mensosialisasikan kecintaan  terhadap produk dalam negeri.

Bagi para akvitis LSM agar terus konsisten dan militan dalam mendampingi dan mengadvokasi para petani demi masa depan mereka dan demi hidup yang bermartabat.

Kepada para seniman dan budayawan agar terus mengkampanyekan kekayaan khas Indonesia, termasuk keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia.

Kepada para agamawan agar terus membina dan membangun kesadaran kritis.

Umat agar tidak larut dalam gaya hidup instan melainkan senantiasa ramah lingkungan dan kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa.

Peran agamawan ini penting, supaya umat makin dewasa, bukan saja dalam soal-soal ritual tetapi juga persoalan-persoalan sosial dan ekologi yang membutuhkan kepekaan dan keperpihakan yang jelas.

Apa yang dikemukan ini merupakan sebuah ajakan sekaligus harapan agar bersama-sama seluruh komponen bangsa, kita tegakkan kedaulatan bangsa di bidang pangan.

Dengan berdaulat di bidang pangan Indonesia akan menjadi bangsa yang bermartabat, tidak mudah “dibeli” oleh kekuatan-kekuatan asing.

Masih dalam semangat peringatan 69 tahun kemerdekaan bangsa, dan menyongsong datangnya pemimpin baru, ada secercah harapan, bahwa Indonesia pasti lebih baik.

Benih yang kecil itu jangan ditabur di tanah yang berbatu atau di semak duri, taburlah di tanah yang subur, maka ia akan bertumbuh dan berbuah yang lebat dan manis, demi Indonesia yang sejahtera. Semoga. (*)

Sumber: http://www.ambonekspres.com/index.php/aeberita/aeopini/item/2993-tegakkan-kedaulatan-pangan