BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

MENJELAJAH ANTARA BARAT DAN TIMUR ROTE

Catatan Perjalanan ke Rote, 22 – 24 Sept 2014

 

Hari pertama.

              Jarum jam menunjuk 08.30, dengan semangat kuayunkan langkahku menuju dermaga Tenau.  Sudah banyak penumpang yang hilir mudik naik ke atas fery Express Bahary. Sambil menenteng ranselku, camerakupun dengan gesitnya tak mau ketinggalan memamerkan aksinya. Pret...pret..pret...., setelah puas dengan cameraku, akupun bergegas naik ke atas fery cepat menuju Rote sambil menunjukkan karcis pada petugas namun aku tak langsung menuju ke kursiku tapi masih asyik di anjungan fery.  Kembali lagi cameraku mengabadikan pemandangan detik-detik terakhir bila fery cepat akan take off.  Penjual makanan, loper koran, portir dan anak-anak kecil penyedia layanan angkut barang mulai berlarian turun.

           Mesin kapal mulai berbunyi menandakan fery cepat pun permisi meninggalkan dermaga Tenau. Pecahan ombak  yang diterjang oleh body fery cepat ditemani kencangnya angin menjadi keasyikan tersendiri bagiku. Namun, keasyikanku tak berlangsung lama karena selain aku sendirian yang paling cantik diantara begitu banyak kaum adam di anjungan selain mereka lebih enjoy dengan udara yang segar ternyata mereka dapat menarik rokok sepuasnya (padahal cover rokok yang menakutkan saja, tidak diindahkan......sebuah ironi )

           Dari anjungan, kulangkahkan kakiku sambil menunjukkan tiket kepada petugas untuk membantuku menemukan kursiku dan betapa kagetnya aku karena hampir setengah dari penumpang fery cepat di ruangan VIP hari itu setengahnya adalah orang bule.  Berbekal dengan naluri guideku, mulai satu demi satu pertanyaan keluar dari mulutku ingin tahu. Mereka datang dari berbagai negara tapi satu tujuan ke rote yaitu Nembrala.  Dari obrolanku itu ternyata ada yang sudah 5 bulan di Nembrala, ada yang membawa keluarga dan anak-anak mereka dan menurut mereka selain holiday mereka juga suka surving karena bulan agustus, september dan oktober, laut nembrala sangat bagus untuk surving.  Tak terasa 1,30 menit berlalu dan fery cepat pun sudah mencium bibir dermaga Baa.

           Belum ada perubahan yang dirasakan saat team kami menyusuri kota Baa-Rote.  Masih sama dan seperti setahun yang lalu kami datang dengan team University of Nation. Kitapun melanjutkan dengan hunting kuliner dan Kelapa Satu Restaurant mendapat penghargaan pertama.  Yang paling khas dari Kelapa Satu, yaitu: ikan kuah asam dan cah kangkung (fresh by oven ) karena setelah makanan dipesan baru dimasak.

           “ JI... bole ko sonde besok kita mulai dari barat dulu, beta mau liat Nembrala,” kataku pada Jhon Inabuy ketua team kita.

“ ok ... tapi ketong cek dulu homestay dekat-dekat sini, karena beta su pesan dari seminggu ketong sonde dapat karena full dan di Nembrala sudah dibooking dari januari,” jelas JI.

           “ Nembrala is my second home “.... pernyataan dari Mr. Robin dari Australia mengganggu perhatianku sampai-sampai ikan kuah asam yang sudah ditunggu-tunggupun tidaklah mendapat perhatianku dan berlanjut sampai tidur malamku.

.......................................................................................

Hari ke-2

 

           “ tok..tok...tok..., selamat pagi maaf bu, ibu mau teh atau kopi? Pertanyaan pak Malelak pemilik Homestay, menyadarkankan ku dari tidur malamku.

Secangkir kopi Nescape dan 2 potong pisang goreng menemani ceritaku dengan bapak Malelak.

           “ ini hari ibu dong mau pi mana,?, tanyanya dengan dialek rote.

           “ saya mau ke Nembrala, bapak,”balasku.

           “ aiih ibu e, ada ketong pung tamu dari jakarta kemarin dulu ajak saya dengan dong pung kawan dong pi Nembrala, ketong dapa marah dari itu bule, hanya karena ketong injak dia pung pasir depan dia pung rumah tu, bahkan bukan ketong sa, su banyak yang dong bikin begitu,“ curhat bapak Malelak

Ups!!! Ampun sudah segitunya yang terjadi di Nembrala??batinku berteriak.

Setelah semua team makan siang maka perjalanan ke Nembralapun dimulai. Yang sangat mencengangkan bahwa 8 bulan lalu jalan menuju Nembrala masih lubang-lubang dan kurang bagus tapi yang didepan mata, jalan menuju Nembrala berubah drastis. Luas dan mulus sehingga tidak sampai sejam kami sudah sampai Nembrala. Apakah ini berarti bahwa Pemda Rote sudah merasakan adanya pemasukan PAB dari pariwisata khususnya Nembrala???

           Sunset di Nembrala. Begitu status bbm dari Aletha temanku. Sambil menanti sunset saya pun berjalan-jalan mengelilingi “ my second home milik bule“ yang berdiri megah menantang ombak dan desiran angin di pantai Nembral. Villa- villa dan hotel milik “bule” yang berarsitektur desa dengan fasilitas modern terhampar dengan angkuhnya di kiri dan kanan jalan dengan tembok-tembok dengan batu-batu karang yang ditata alami dan apik menjadi bagian unik di ujung Nembrala. Menurut informasi dari begitu banyaknya villa dan hotel tersebut hanya 1% saja yang pemiliknya orang Indonesia.  Kepemilikan tanahpun ada yang berstatus sewa dengan jangka waktu yang cukup lama (25-30 tahun) bahkan ada yang sudah jadi hak milik.  Bagaimana bisa? Ternyata ada yang jadi pahlawan bagi para bule dan pengkhianat bagi negeri sendiri. Kenapa saya bisa bilang seperti itu karena merekalah yang menjadi pengganti dalam pembelian sewa tanah ( sangat miris ).

           Pemandangan yang kontras terjadi di sekitar pantai Nembrala. Sepanjang pantai banyak petani rumput laut yang sementara memanen hasil mereka, menyangkutnya dalam keranjang jaring.  Sebagian ada yang memikulnya dan menjemur di halaman rumahnya di belakang dari villa-villa tersebut dan sebagian lagi menjemurnya di para-para di depan dan samping villa-villa tersebut.  Sedangkan ada beberapa orang bule yang duduk berkelompok sambil minum bir Bintang dan ada yang cuma berpasangan, mereka masing-masing dengan dunia mereka tanpa risih dengan kotornya pantai dan babi kampung yang berseliweran bersama anak-anaknya.

           Villa-villa tersebut sangat asri dan tertata apik dengan tembok yang tinggi seolah-olah tidak peduli dengan keadaan diluar villa yang sangat kontras. Oh...Nembrala, bagaimana nasibmu kini??

Sunset yang dinantikan tidaklah menggembirakan karena sore itu awan kelabu memeluk matahari yang permisi ke peraduannya yang sepertinya memaklumi kegelisahan dan kekuatiranku, sehingga kamipun berlalu meninggalkan Nembrala.

................................................................................

Hari ke-3

 

           Perjalanan hari ini dilanjutkan ke sebelah timur rote. Kering,panas, berdebu dan jalan yang masih berbatu dan belum mulus seperti bagian barat rote menjadi pemandangan kiri dan kanan jalan.

           Ada yang menarik waktu di tengah jalan, melihat banyaknya anak-anak SD dan SMP yang pulang sekolah dengan menjinjing jerigen bekas minyak goreng 5 liter. Walau cuaca saat itu panas menyengat tapi keceriaan dan kepolosan mereka seakan lupa dengan keadaan mereka. Cepat-cepat ku abadikan gambar unik itu.

“ Tha, kenapa mereka membawa jerigen,” tanya Aletha

“ Ditempat yang sulit air bersih, mereka biasa lakukan seperti itu untuk dibawa ke sekolah untuk KM/WC juga untuk menyiram tanaman di sekolah mereka “, jelasku.

“ waah...teryata daerah ini susah air dong, beda ya sama yang dibarat sana “, banding bang Yos.

Ternyata bukan di Rote saja, selalu bagian barat mendapat perhatian pertama dan lebih.

           Akhirnya kamipun sampai pada timur rote setelah menempuh ± 42 km dari Baa. Ada kumpulan rumah penduduk yang sederhana, gereja yang baru direnovasi dan riuhnya anak-anak yang asyik bermain bola di gelanggang kreasi mereka.

15 menit kemudian kami pun memasuki daerah pantai.

Aku terpana...

Aku terngaga...

Mataku tak berkedip sedikitpun.

Hampir-hampir bola mataku ingin keluar seiring dengan mulutku yang terbuka lebar.

Tiba-tiba.....

Airmataku meleleh tak putus-putusnya seperti gulungan ombak yang tak henti-hentinya ke bibir pantai.

AMAZING.....

           Suatu perbedaan yang sangat kontras antara barat dan timur rote. Di barat rote dengan sentuhan modernisasi sampai-sampai merubah wajah dan pemilik negeri sedangkan di bagian timur rote dengan kurang fasilitas sarana dan prasarana tapi menampilkan jati diri negeri orang Rote yakni bermartabat.

 

 

           .......................... end.....................

Related-Area: 
field_vote: 
No votes yet