BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

REALITA SAGU SEBAGAI MAKANAN POKOK MASYARAKAT MALUKU

Oleh: Isye J Liur

Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

 

Provinsi Maluku memiliki penduduk sebanyak 1.531.402 jiwa (Sensus Penduduk 2010, BPS). Pada tahun 2014 perubahan pola konsumsi masyarakat Maluku meningkat sebesar 35 persen, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dimana pada masa-masa sebelumnya kebutuhan konsumsi beras hanya 80 kilogram per kapita per tahun, namun sekarang telah meningkat menjadi 108 kilogram per kapita (infobarumaluku.com, 2014). Namun sangat mengkhawatirkan karena produksi beras di Maluku hanya mampu memenuhi 40% kebutuhan beras, sedangkan sisanya harus didatangkan dari luar. Sebuah ironi yang dapat dilihat pada provinsi ini, mengingat bahwa selama ini makanan pokok Maluku bukanlah beras melainkan sagu. Sagu merupakan pangan lokal yang sudah lama dikonsumsi bahkan telah manjadi bagian filosofis orang Maluku. Gubernur Maluku, Said Assagaff sendiri mengatakan, masyarakat Maluku saat ini lebih memilih mengkomsumsi beras ketimbang mengkomsumsi sagu yang merupakan makanan pokok orang Maluku (infobarumaluku.com, 2014).

Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu sumber pangan tradisional potensial yang dapat dikembangkan dalam diversifikasi pangan mendukung ketahanan pangan lokal dan nasional. Bahan pangan tradisional ini memiliki nilai gizi tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras, jagung, ubikayu, dan kentang. Tepung sagu dan produk olahannya dapat dikelompokkan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan karbohidrat (84,7%) dan serat pangan (3,69-5,96%) yang cukup tinggi, indeks glikemik (28) rendah, dan mengandung pati resisten, polisakarida bukan pati, dan karbohidrat rantai pendek yang sangat berguna bagi kesehatan. Proses budidaya sagu (pra-panen) sampai pengolahan tepung sagu basah (pasca panen) dilakukan secara alami, sehingga tepung sagu dapat dikategorikan sebagai pangan organik 100%. Potensi lahan sagu di Maluku cukup luas, demikian pula dengan potensi produksinya cukup tinggi (30 ton/ha/th), jauh melebihi sumber pangan lainnya (padi, jagung, dan kentang).

Masyarakat Maluku mengonsumsi sagu sebagai bahan pangan tradisional dalam bentuk makanan pokok (papeda, sinoli, tutupola, sagu lempeng, dan buburne) maupun camilan (sarut, bagea, sagu tumbu, dan sagu gula). Di daerah lain seperti Riau sagu sudah diolah menjadi sagu gabah, sagu rendang, sagu embel, laksa sagu, mie sagu, kue bangkit, sagu opor, kerupuk sagu, dan lain-lain (Hutapea et al., 2003). Namun demikian produk-produk olahan sagu masih harus dilakukan diversifikasi agar beragam, bergizi dan berimbang.

Pemanfaatan sagu sebagai pangan sumber karbohidrat ternyata secara nasional juga paling rendah dibandingkan komoditas pangan non beras lainnya seperti singkong, ubi jalar, kentang dan jagung. Kadar karbohidrat sagu setara dengan karbohidrat yang terdapat pada tepung beras, singkong dan kentang, bahkan dibandingkan dengan tepung jagung dan terigu kandungan karbohidrat tepung sagu relatif lebih tinggi. Kandungan energi dalam tepung sagu, hampir setara dengan bahan pangan pokok lain berbentuk tepung seperti beras, jagung, singkong, kentang dan terigu.

Pengolahan sagu yang paling sering dilakukan ialah pengolahan sagu menjadi pati yang nantinya akan dijadikan tepung untuk kembali diolah menjadi bahan panganan yang siap dimakan seperti mie sagu, sagu lempeng, kue-kue olahan dari bahan tepung sagu, biscuit sagu dan yang lainya. Funsi lain dari sagu misalnya tali sebagai pengikat pengganti paku, pelepah/gaba sebagai dinding rumah pengganti kayu dan tripleks, daun sebagai atap rumah pengganti seng kulit pohon sagu sebagai lantai pengganti kayu atau papan, ampas ela sebagai penghasil jamur, jamur dimakan lebih banyak oleh ibu yang baru bersalin sebagi obat, akar pohon sagu juga sebagai obat.

Di Maluku sendiri yang dikenal sebagai pengonsumsi sagu sebagai makanan pokok , pengolahan sagu menjadi bahan pangan pengganti beras pun masih terbatas, hanya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Itupun tidak dikonsumsi sebagai makan pokok harian, hanya saat-saat tertentu saja. Saat ini masyarakat yang mengolah sagu itu sendiri sangat sedikit jumlahnya dan sudah sangat jarang ditemui. Hanya segelintir orang saja yang masih mempertahankan tradisi mengolah sagu dari mulai memotong batang pohon sagu sampai mengolah sagu menjadi bahan pangan. Hal ini sedikit banyak dikarenakan program pemerintah untuk mengatasi krisis pangan tahun 2008 dengan tujuan subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah atau lebih dikenal dengan nama Program Raskin. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat lebih memilih konsumsi beras dibandingkan makan tradisional seperti sagu. Solusinya adalah Untuk daerah-daerah dengan potensi pangan lokal (sagu) yang tinggi diharapkan Kebijakan beras raskin dihentikan.agar masyarakat kembali mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok dan makanan olahan sagu semakin beragam lagi karena semakin meningkatnya konsumsi sagu masyarakat.

 

REFERENSI

Anonim. 2008. Metroxylon sago. Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sago.

Harian Pagi Info Baru. 2014. Gubernur: Masyarakat Maluku Lebih Memilih Beras Ketimbang Sagu.http://www.infobarumaluku.com/2014/06/gubernur-masyarakat-maluku-lebih.html

Hutapea, R.T.P., P.M. Pasang, D.J. Torar, dan A. Lay. 2003. Keragaan sagu menunjang diversifikasi pangan. Dalam R.H. Akuba, Z. Mahmud, E. Karmawati, A.A. Lolong, dan A. Lay (Eds.). Prosiding Seminar Nasional, Sagu Untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Litbang Pertanian, hlm. 173-184.

J. E. Louhenapessy. 2013. SAGU PANGAN LOKAL DI MALUKU PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL (STUDI KASUS SAGU). http://jikti.bakti.or.id/maluku/sagu-pangan-lokal-di-maluku-pendukung-ketahanan-pangan-nasional-s