BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Desa Wisata Alam Bongo, Negeri dari Serpihan Mimpi

Desa Wisata Alam Bongo, Negeri dari Serpihan Mimpi
Rabu, 3 Februari 2016

GORONTALO, KOMPAS.com – Bongo adalah keajaiban perubahan sebuah desa terpencil, wilayah miskin terisolir menjadi desa mandiri yang mempesona. Desa ini diapit sebuah bukit karst besar yang biasa disebut gunung tidur dan hamparan Teluk Tomini yang membiru.

Akses ke Desa Bongo tidak sulit semenjak ada perbaikan jalan beraspal yang meliuk-liuk di antara punggung perbukitan kapur dan liukan pantai.

Bisa ditempuh dalam waktu 20 menit dari pusat Kota Gorontalo dengan berbagai sarana kendaraan, atau yang suka tantangan bisa menggunakan perahu masyarakat sambil memandang tubuh molek Gorontalo dari arah laut Tomini.

Bongo adalah desa yang genit, yang selalu bersolek untuk mempercantik dirinya.

Selain alam yang indah, di sini masyarakat menawarkan keindahan tradisi tua dalam bentuk upacara Walima yang dilaksanakan setiap Maulid Nabi Muhammad SAW.

Seluruh masyarakat mengarak kue kolombengi ke masjid dan dibagi kepada yang hadir. Ini peristiwa unik yang selalu dinanti ribuan pengunjung setiap tahunnya.

Kesehariannya, Bongo adalah desa kecil yang selalu ditimbang angin laut. Memiliki udara segar sepanjang tahun tanpa ada hiruk pikuk kehidupan kota. Pesona perbukitannya berpayung langit biru dengan pohon-pohon kelapa yang menjulang.

“Di sini juga ada wombohe (pondok) khas Bongo dengan kolam renang yang jernih, masyarakat bisa bersenang-senang tanpa dipungut biaya,” kata Hasan Rahim, warga Bongo yang ramah.

Wombohe ini menjadi tempat berteduh wisatawan. Bentuknya unik dan fungsinya maksimal, di bagian bawah memiliki ruang terbuka yang digunakan untuk bercengkerama sambil menikmati udara segar, sementara bagian atasnya dapat digunakan untuk beristirahat.

KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR Kolam jernih yang mengelilingi Masjid Walima Emas di Gorontalo, tepat di atas puncak bukit kapur. Laut di belakang adalah Teluk Tomini yang biru
Fosil-fosil kayu berusia jutaan tahun juga bisa disaksikan di Bongo. Fosil ini adalah guratan perjalanan alam Gorontalo. Pengunjung bisa melihat langsung ribuan fosil dan menyerap informasi tentang benda ini. Sebab ada papan penjelasan yang menerangkan proses terjadinya fosil di Gorontalo.

“Awalnya desa kami gersang, masyarakatnya hanya bermata pencarian sebagai nelayan, kalau ada kebun biasanya ditanami kelapa. Sisanya perbukitan kapur yang ditumbuhi semak,” kata Hasan Rahim.

Kini Bongo memiliki daya tarik sendiri. Sumur tua dibersihkan kembali, di sini setiap kelahiran calon Olongia dimandikan, tradisi ratusan tahun yang silam. Pada sumur ini juga diketahui posisi permukaan air laut.

Pada bagian lain, bekas pertahanan bawah tanah masa lalu telah disulap menjadi musholla yang dindingnya digantungi informasi kekayaan budaya tanah Gorontalo.

Äda 2 kamar dengan udara berpendingin yang disediakan bagi tamu yang menginap.

“Kami berupaya semaksimal mungkin menyambut tamu dengan keramahan khas Bongo  dan ucapan salam,” jelas Hasan.

Pria ramah ini bersedia mengantarkan pengunjung ke bagian lain desa Bongo. Bahkan ia dapat mengantar ke puncak bukit yang terdapat masjid Walima Emas.

Di masjid ini pandangan mata bisa menyapu ke segala penjuru mata angin, ada birunya Teluk Tomini, punggung bukit yang berjejer, perkampungan warga yang damai dan kelokan jalan kecil meliuk di punggung bukit.

Uniknya, di puncak bukit kapur ini air berlimpah, meluberi kolam yang bisa digunakan siapa saja tanpa dipungut biaya. Bahkan Masjid Walima Emas pun sekelilingnya adalah kolam yang sejuk!

KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR Air mengalir sepanjang tahun memenuhi kolam yang berada di punggung bukit kapur yang gersang di Gorontalo. Tanaman tumbuh subur hanya di sekitar kolam.
Sungguh aneh pada puncak bukit kapur yang gersang terdapat kolam yang airnya mengalir sepanjang tahun. Inilah berkat Tuhan bagi Bongo yang ramah dan taat.

Jauh sebelum Indonesia ada, di Bongo inilah pusat Linula Bubohu. Linula adalah kawasan otonom berdasar ikatan klan.

Bubohu adalah salah satu nama Linula di antara seratusan Linula di Kerajaan Hulondalo (Gorontalo) yang mulai sejak 1750 dengan Olongia (pemimpin) pertama Hilalumo Amay.

Pada 17 April 1889, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Beslit tentang penghapusan kekuasaan raja dan membagi Bubohu dalam beberapa kampung. Raja terakhir yang memimpin Bubohu adalah Botutihe yang memerintah antara tahun 1884-1902. Selamat berlibur!
Penulis 1     : Kontributor Gorontalo, Rosyid A Azhar
Editor     : I Made Asdhiana

Sumber: http://travel.kompas.com/read/2016/02/03/152300827/Desa.Wisata.Alam.Bongo.Negeri.dari.Serpihan.Mimpi?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Related-Area: