BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Diplomasi ala Kawasan Timur Indonesia

Transportasi
Diplomasi ala Kawasan Timur Indonesia

BERI kami tiga bus Damri. Soalnya bantuan bus Damri yang kami terima 15 tahun lalu sudah rusak. Kalau tidak bisa, satu bus juga tidak apa-apa. Satu tidak bisa, setengah bus juga kami terima. Kalau tidak, ya, diberi ban saja juga boleh,” kata Bupati Alor Amon Djobo, Sabtu (30/8).

Hadirin dan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono beserta rombongan yang siang itu tiba di Bandara Mali, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, tertawa mendengar sambutan Amon tersebut.

Tawa belum reda ketika Amon melanjutkan pidatonya. ”Diberi sepeda juga tidak apa-apa,” katanya pelan dengan nada pasrah. Tawa pun kembali meninggi. Hal serupa juga terjadi ketika Bambang Susantono pada sore harinya tiba di Bandara H Hasan Aroeboesman, Ende, NTT, dan disambut Bupati Ende Marselinus YW Petu.

Marselinus awalnya mengenalkan kepada hadirin bahwa pada 2013 Bambang Susantono datang ke Ende bersama rombongan ekspedisi Kompas Sabang-Merauke: Jejak Kota dan Peradaban.

Kala itu Bambang bersama rombongan lewat jalan darat dan mengemudikan mobil. Pada kunjungan kedua ini, Bambang datang menggunakan pesawat kalibrasi berukuran kecil berpenumpang enam orang dan tiga awak.

”Saya tadi mengira pesawatnya itu besar. Jadi, lewat darat sudah dan lewat udara juga sudah. Besok, kalau datang lagi ke Ende, lewat laut, ya, Pak, naik kapal besar. Kapalnya lalu ditinggal di sini saja biar bisa dioperasikan di Flores,” kata Marselinus. Hadirin kembali diajak tertawa.

Meski terdengar jenaka, pidato dua bupati di NTT itu pada hakikatnya menggambarkan betapa masyarakat di daerah mendambakan perhatian pemerintah pusat. Dukungan yang dimaksud terutama pada ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang transportasi warga.

Sesuatu yang tidak berlebihan ketika faktanya warga di pulau-pulau wilayah timur Indonesia masih mengalami kendala keterbatasan transportasi. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi di Jawa yang ketersediaan jaringan infrastruktur dan sarana transportasinya lebih memadai.

Bambang Susantono menguraikan bahwa problem konektivitas merupakan masalah utama di wilayah timur Indonesia. Salah satu tujuan ia mengunjungi Alor dan Ende adalah untuk melihat secara nyata permasalahan itu.

Nantinya, daftar masalah itu akan disampaikan kepada pemerintahan baru. ”Ini, kan, (program) kejar tayang sebelum akhir masa jabatan saya,” kata Bambang berdiplomasi.
Masalah musim

Meski jalur laut telah tersedia, tidak selamanya lancar. Di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, misalnya, penumpang kerap menumpuk dan tidak dapat bepergian meski tersedia kapal laut. Cuaca buruk tidak memungkinkan kapal kecil membawa penumpang.

Ratusan warga dan nakhoda yang telah menunggu hingga belasan hari itu biasanya berunjuk rasa di kantor Syahbandar Saumlaki. Kepala Syahbandar Saumlaki Jece Julita Piris lalu mengumpulkan warga dan memanggil nakhoda kapal.

”Kalau Bapak memaksa berangkat dan terjadi apa-apa, Bapak yang dipenjara. Kalau saya memberikan izin, saya yang dipenjara. Bapak mau kita dipenjara?” kata Jece kepada para nakhoda.

Setelah itu, warga dan para nakhoda membubarkan diri. Kapal-kapal itu tidak dapat berlayar pada bulan Januari-Mei ketika gelombang laut tinggi.

Kapal besar relatif dapat mengatasi ombak tinggi dibandingkan kapal kecil. Inilah jenis kapal yang juga diinginkan Bupati Marselinus.

Sinergi konektivitas jalur darat, laut, dan udara menumbuhkan geliat ekonomi secara signifikan. Kota Saumlaki dan Larantuka hidup karena ditopang oleh sarana transportasi memadai.

Pelabuhan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, tak pernah sepi, baik pada siang maupun malam hari. Warga dari Pulau Solor dan Adonara mengangkut sepeda motor, kasur, dan bahan kebutuhan sehari-hari dengan kapal laut.

Barang-barang kebutuhan sehari-hari dan bahan bangunan datang ke Larantuka dari Surabaya dan Makassar dengan kapal laut. Ini masih disokong dengan penerbangan.

Larantuka mempunyai 6 pelabuhan laut, 3 pelabuhan penyeberangan, dan 1 bandara.

Perekonomian di Saumlaki juga begitu hidup. Toko bangunan banyak berserak, hotel selalu ramai, dan pasar-pasar tak pernah sepi. Sulit juga dibayangkan di pulau yang masih dikesankan sebagai daerah terpencil itu banyak terdapat mobil bermerek.

Sebut, misalnya, mobil bermerek dari Amerika Serikat berkapasitas mesin besar milik seorang pengusaha kapal di Saumlaki. Mobil yang diimpor dari Thailand tersebut dia impor melalui Surabaya sebelum dibawa dengan kapal ke Saumlaki.

Lebih membesarkan hati ketika pembangunan jalan darat akses ke bandara dari arah kota dan pelabuhan terus digenjot di Saumlaki.

Bandingkan dengan Bandaneira, Maluku Tengah, yang namanya jauh lebih besar daripada pertumbuhan ekonominya. Bandaneira kondang sebagai daerah tujuan wisata karena memiliki alam nan cantik dan warisan sejarah nan memukau.

Akan tetapi, kondisi kotanya sepi. Saat kami ke sana, Bandaneira sesepi kota Barus di pedalaman Sumatera atau kota kecil di Kalimantan. Problem utamanya adalah konektivitas.

Kota ini hanya tiga kali sepekan disinggahi pesawat terbang. Itu pun jika cuaca bagus. Kapal perintis dari Ambon hanya sebulan sekali dengan waktu tempuh 15 sampai 16 jam. Di sinilah terlihat arti pentingnya konektivitas, baik dari sisi udara, darat, maupun laut. (C Anto Saptowalyono/Mohammad Hilmi Faiq)




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008624853

Related-Area: