BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Indahnya Kantor Eco Office PPE KLHK Makassar. Seperti Apa?

Halaman kantor itu cukup luas dan teduh. Begitu memasuki ruang parkir, suasana teduh mulai terasa. Tak perlu khawatir sepeda motor di parkiran akan kepanasan, karena bernaung di bawah kanopi dari tumbuhan merambat, bukan atap seng, asbes atau sejenisnya.

Sebuah bola dunia berdiameter sekitar 1 meter terdapat di bagian halaman depan dengan tulisan Love Our Earth. Pekarangan kantor itu selain hijau juga dipenuhi papan-papan bicara tentang lingkungan.

Kantor Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Sulawesi dan Maluku Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, memang agak unik dan beda dengan kantor-kantor lain yang pernah saya kunjungi. Tidak hanya di halamannya, di dalam kantor pun terlihat suasana yang berbeda. Tak ada penerangan yang berlebihan. Penggunaan AC pun dibatasi. Kebanyakan adalah lubang-lubang sirkulasi udara sehingga suasana di dalam kantor tetap terasa sejuk tanpa peralatan pendingin udara.

“Ini sudah dimuai sejak 2006 silam, lalu pada tahun 2010 kami memperoleh sertifikat ISO 14001:2004 untuk eco office, sebagai kantor yang berbudaya lingkungan. Intinya bagaimana menciptakan lingkungan kantor yang sehat aman dan nyaman untuk semua. Nantinya kami akan mengarah ke green building,” ungkap Darhamsyah, Kepala PPE Sulawesi dan Maluku, menjelaskan kondisi kantornya akhir Juli 2017 lalu.

Menurut Darhamsyah, sebagai komitmen dalam melakukan pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan, dalam kaitannya dengan eco office ini, terdapat enam aspek yang mereka lakukan.

Pertama adalah tepat guna lahan, yaitu bagaimana menata lahan yang ada di kantor tersebut sehingga sesuai tata ruang secara global dan secara ke dalam diatur sedemikian rupa agar tersedia ruang-ruang hijau dan ada tempat bermain anak.

“Jadi kami berupaya bagaimana kantor kami ini bisa menjadi kantor yang ramah anak,” tambahnya.

Selain itu dilakukan penataan lahan parkir yang memadai dan ramah lingkungan, pembangunan recycle center dan sebagainya.

Aspek kedua adalah efisiensi dan konservasi energi, berupa penerapan kantor yang hemat energi. Pengunaan AC diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu dingin, sekitar 27 derajat.

“Di semua hole–hole di ruangan ini kita tidak menggunakan AC. Sebagian besar ruangan tidak menggunakan AC tapi sirkulasi udara terbuka. Itulah usaha kami untuk efsien dan konservasi energi.”

Aspek ketiga adalah konservasi air, dimana dipraktekkan konsep rain water harvesting atau pemanenan air hujan. Air hujan ditampung dan disaring untuk penggunaan toilet dan wudhu. Penggunaan air dari PDAM dan air tanah dikurangi.

Aspek keempat adalah sirkulasi material, di mana semua peralatan yang digunakan di kantor harus berasal dari bahan yang dikelola secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.

“Semua kertas yang kami gunakan berasal dari legal wood, yang ada ecolabel-nya. Demikian pula semua peralatan elektronika itu harus bisa didaur ulang. Kita juga mencoba semua sampah di kantor ini dikelola sehingga zero waste. Sampah organik kita jadikan kompos. Sampah-sampah non-organik kita jual. Kami punya bank sampah, sampah-sampah bisa didaur ulang, baik dari kantor bahkan sudah meluas dari kantor-kantor lain.”

Aspek kelima adalah kualitas dan kenyamanan udara dalam ruang. Penggunaan AC dikurangi namun tidak membuat ruang terlalu panas. “Kenyamanan dikurangi tapi orang bisa bekerja dengan baik,” tambahnya.

Aspek keenam adalah adalah manajemen lingkungan bangunan. Kantor dilengkapi dengan taman ekologi atau eco educational park, dimana orang bisa belajar tentang berbagai hal terkait lingkungan hidup dan kehutanan.

“Kita punya empat zona. Pertama zona perubahan iklim di mana di dalamnya ada pembelajaran tentang perubahan iklim. Di situ banyak contoh-contoh dan penjelasan-penjelasan, ada bola dunia dan sebagainya yang kita bisa gunakan sebagai peraga untuk pengunjung. Ada anak sekolah, mahasiswa dan masyarakat yang biasa datang berkunjung.”

Ada juga zona konservasi energi yang dilengkapi dengan fasilitas kincir angin dan juga lampu surya. Kemudian zona kehidupan akuatik, yang menjelaskan bagaimana konservasi air dilakukan. Terakhir adalah zona daur ulang untuk mendaur ulang semua limbah-limbah.

“Jadi kantor ini selain untuk bekerja juga sebagai rumah belajar bagi masyarakat. Jadi ini kantor sekolah kehidupan. Siapapun bisa datang belajar ke kantor ini. Terbuka untuk publik.”

Untuk berkunjung dan belajar di kantor tersebut tidak diperlukan perizinan yang rumit, cukup menyampaikan keinginan kepada pihak PPE Sulawesi dan Maluku. Tujuannya untuk pengaturan waktu dan level apa yang tepat terkait pembelajaran yang akan diberikan.

“Kita hanya perlu tahu waktunya kapan dan siapa saja pesertanya agar kita bisa sesuaikan materinya. Kalau untuk anak sekolah kami berikan materi yang cocok untuk remaja dan anak-anak.”

Menurut Darhamsyah, agar informasi tentang lingkungan ini juga bisa sampai ke pejabat-pejabat di daerah, pihaknya melakukan kerjasama dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN), di mana setiap peserta Diklatpim diharuskan datang untuk belajar tentang lingkungan dan inovasi.

Pembelajaran lingkungan di eco educational park ini sendiri sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Sebagian besar pengunjung yang datang dari sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Bahkan ada juga dari DPRD dan karyawan swasta.

“Kalau awalnya kami sosialisasi, kita undang orang untuk datang. Tapi kemudian informasi tentang tempat ini tersebar luas dari mulut ke mulut. Akhirnya banyak yang datang sendiri tanpa kami undang secara khusus.”

Konsep eco office ini, lanjut Darhamsyah, sebenarnya sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, sementara di Sulsel masih terbatas di beberapa instansi di daerah. Dua daerah yang cukup intens mendorong hal ini adalah Kota Makassar dan Kabupaten Maros.

“Kalau di Makassar itu sudah ada instruksi dari Walikota ke instansi-instansi dan kantor kecamatan. Beberapa instansi provinsi Sulsel juga sudah menerapkannya.”

Menurutnya, idealnya konsep eco office dilakukan di seluruh kantor, tidak hanya di kantor-kantor pemerintah tapi juga swasta, bahkan di kampus-kampus, pesantren dan lain-lain. Untuk sekolah sendiri eco office ini termasuk dalam program Adiwiyata.

Untuk mendorong eco office ini, hal yang dilakukan PPE Sulawesi dan Maluku masih sebatas sosialisasi dan mendorong adanya kebijakan di daerah. Keberadaan eco office PPE Sulawesi dan Maluku diharapkan bisa menjadi pembelajaran bagi instansi atau kantor-kantor lain yang ingin melakukan hal yang sama.

“Sebenarnya kita ada rencana untuk memberi penghargaan, namun jenis penilaian dan indikator penilaiannya masih harus disusun. Sekarang kita lebih banyak sosialisasi bagaimana konsep eco office ini dipraktekkan.”

Tabungan Bank Sampah Rp19,2 juta

Selain mengajak saya berkeliling ke eco education park, Darhamsyah juga membawa saya ke Bank Sampah yang terletak di bagian belakang kantor.

Suardi, salah seorang pengelola Bank Sampah tersebut menjelaskan bahwa sejak didirikan Maret 2016 lalu pelanggannya mencapai 100-an orang, dimana 60 orang di antaranya adalah staf PPE Sulawesi dan Maluku. Jumlah tabungan yang tercatat selama periode tersebut sekitar Rp19,2 juta.

“Selebihnya ada dari luar, seperti dari Kantor Balai Litbang, Balai Diklat dan beberapa kantor UPT Kehutanan. Ada juga dari kelompok pengajian dan warga di sekitar kantor ini,” jelas Suardi.

Sampah-sampah yang masuk dipilah berdasarkan jenisnya. Seluruh sampah yang masuk kemudian dicatat dan ditimbang berdasarkan jenisnya. Hasilnya kemudian dicatat di buku tabungan.

“Biasanya hasil penjualan sampah ini tidak langsung diambil, tapi disimpan dulu sampai jumlahnya cukup banyak. Bisa dipakai bayar listrik, air dan sebagainya. Lumayan untuk mengurangi beban pembiayaan rumah tangga dan sekaligus mengurangi sampah yang akan dibawa ke TPA.”

 

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2017/08/17/indahnya-kantor-eco-office-ppe-klhk-makassar-seperti-apa/

Related-Area: