BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Melihat Dunia Lewat Dokumenter

Film
Melihat Dunia Lewat Dokumenter

JAKARTA, KOMPAS — Film dokumenter merupakan media kuat untuk menuturkan realitas. Lewat dokumenter, penonton diajak melihat dunia dan memahami kebudayaan suatu bangsa secara jujur.

Kekuatan film dokumenter itulah yang diangkat dalam ChopShots Festival Film Dokumenter Asia Tenggara 2014 yang berlangsung pada 22-27 April 2014. Sebanyak 57 film dokumenter dari sejumlah negara, seperti Asia Tenggara, Inggris, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, bakal diputar di GoetheHaus, Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Salihara, SAE Institute, dan Binus International FX campus. Dari 57 film itu, dipilih 12 film dari Asia Tenggara yang berlomba dalam kategori film internasional dan enam di antaranya asal Indonesia.

Direktur Pelaksana Festival Amelia Hapsari mengatakan, tema-tema film dokumenter semakin beragam. ”Dulu, temanya lebih banyak tentang kemiskinan. Sekarang, tema makin bervariasi. Film dokumenter bisa mewakili kondisi suatu bangsa. Nilai-nilai, norma, dan kearifan lokal bisa ditampilkan,” ujar Amelia, di GoetheHaus Jakarta, Rabu (16/4).
Tema khas

Amelia lalu mencontohkan sejumlah film bertema khas, seperti film mengenai penduduk di Merapi yang suka mengumpulkan tumbuh-tumbuhan sebagai obat. Lainnya, film mengenai persoalan anak remaja dengan kehidupan keagamaan yang rumit di sekolah di tengah situasi menjelang ujian nasional.

”Film dokumenter Indonesia sangat maju. Beberapa tahun belakangan ini, makin banyak pembuat film dokumenter, meski masih kurang yang bersuara di tingkat internasional,” papar Amelia. Contoh film yang menginternasional, antara lain Masked Monkey (sutradara Ismail Fahmi Lubish) yang diputar di Festival Rotterdam serta Another Colour TV yang diputar di Berlin (sutradara Yovista Ahtajida dan Dyantini Adeline).

Direktur Artistik festival itu, Marc Eberle, gembira dengan kemunculan banyak sutradara film dokumenter berbakat di Asia Tenggara. Kata Eberle, film dokumenter menampilkan budaya unik dan memaparkan dunia. Banyak kisah menarik. Bagi Eberle, manusia adalah murid alam semesta dan dunia. ”Kita belajar dari alam. Film dokumenter alat untuk mengetahui kompleksitas dunia,” ungkapnya.

Kepala Bagian Program Budaya Goethe Institut wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, Katrin Sohns, mendukung festival itu. Apalagi, Jerman memiliki sejarah panjang dengan film dokumenter.

”Festival ini menghubungkan para sineas di Asia Tenggara serta bisa dibawa ke level dunia,” ujarnya. (A07/IVV)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006117477