BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menafkahi Keluarga dengan Koran Bekas

Clemens Korohama
Menafkahi Keluarga dengan Koran Bekas

Oleh: FRANS SARONG 

LAMALERA  merupakan sebuah kampung pesisir yang terkenal karena tradisi menangkap ikan raksasa secara ”kuno” oleh para nelayan setempat. Tradisi itu sudah mereka jalankan secara turun-temurun. Namun, salah seorang warganya, Clemens Korohama, malah memilih jalan lain. Sejak berusia 19 tahun, dia justru merantau ke Kupang dan belakangan menafkahi keluarga dengan kerajinan berbahan kertas koran bekas.

Secara administratif, Kampung Lamalera yang juga menjadi nama desanya masuk dalam wilayah Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung tua itu tumbuh di pesisir selatan, berjarak sekitar 70 kilometer dari Lewoleba, kota kabupaten.

Bagi kebanyakan orang, koran bekas adalah sampah yang harus dilenyapkan. Namun, sebaliknya bagi Clemens, benda itu merupakan harta berharga karena menjadi bahan baku utama kerajinan tangan yang dia tekuni sejak sekitar lima tahun lalu.

”Kerajinan ini awalnya hanya coba-coba. Ternyata dalam perjalanannya justru membangkitkan kebanggaan luar biasa karena hasilnya bisa mendatangkan uang. Kerajinan ini juga mendapat apresiasi dan penghargaan dari pemerintah serta berbagai pihak lain,” tutur Clemens (67) di rumahnya di Jalan P Da Cunha, Kelurahan Naikoten II, Kota Kupang, NTT, akhir Mei lalu.

Proses membuat kerajinan itu lazimnya dalam dua bentuk. Pertama, lembaran kertas koran dia gunting-gunting secara memanjang selebar sekitar 5 sentimeter. Selanjutnya, guntingan itu dipilin-pilin hingga berbentuk tali.

Setelah direndam dalam air bercampur zat perekat, hasil pilinan itu pun siap dirakit menjadi produk kerajinan sesuai bentuk yang diinginkan pembuatnya, seperti piring makan, stoples, wadah kertas, saputangan, pot bunga, dan hiasan gelas.

Sementara proses lain, lembaran koran bekas langsung direndam dalam air, lalu diremas-remas dan dihancurkan hingga mirip bubur kertas. Setelah dicampur zat perekat secukupnya, bubur kertas itu kemudian dirangkai menjadi kap lampu dan berbagai hiasan ruangan lain.

Setelah melalui beberapa kali uji coba, kualitas hasil kerajinan Clemens semakin baik. Seperti gayung bersambut, Lurah Naikoten II ketika itu, tahun 2009, Ricky Terik, langsung mendukung kerajinan yang dia buat. Clemens pun mendapat bantuan dana Rp 500.000 lewat Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan.
Percaya diri

Clemens mencatat sejumlah peristiwa serta dukungan yang membangkitkan kepercayaan diri sehingga dia makin serius menekuni kerajinan ini. Salah satunya adalah tamu asal Pulau Jawa yang datang ke rumah sekaligus tempat usaha kerajinannya. Saat itu menjelang hari Natal 2009.

”Ketika itu, di ruang depan sedang dipajang hasil kerajinan berupa dua stoples lengkap dengan dulangnya,” cerita dia. Clemens bersama istrinya, Rosalina Nepasari, dengan enteng menyebut harga hasil kerajinan itu sekitar Rp 600.000.

Dia kaget bercampur terharu karena sang tamu tanpa menawar sedikit pun langsung membayar lunas produk kerajinannya. Padahal, sepasang stoples beserta dulangnya itu dijual seharga Rp 300.000 sekalipun sudah menghasilkan keuntungan baginya.

Lewat kerajinan berbahan koran bekas pula, beberapa kali dia dilibatkan dalam kegiatan pameran hasil kerajinan yang diselenggarakan Pemerintah Kota Kupang. Hal itu seperti pada tahun 2010 saat salah seorang wali kota asal Belanda berkunjung ke Kota Kupang.

”Saya bangga luar biasa karena beliau sempat berbelanja lebih dari Rp 1 juta hanya untuk membeli hasil kerajinan saya,” cerita dia.

Namanya sebagai penghasil kerajinan tangan berbahan koran bekas juga semakin dikenal. Maka, pesanan pun datang dari berbagai pihak, baik swasta maupun instansi pemerintah. Mereka biasanya meminta Clemens menyediakan produk kerajinan tertentu.

Seperti siang itu, dia tengah merampungkan tiga hiasan bonsai seharga sekitar Rp 500.000. Dia mengerjakan kerajinan itu dibantu tiga anggota keluarga di rumahnya, ”Saya perlu waktu sekitar seminggu untuk merampungkan ketiga hiasan ini,” kata dia.

Selain itu, belakangan ini, Clemens juga sering diundang sebagai tutor untuk pelatihan kerajinan serupa yang digelar berbagai lembaga, semisal Forum Pemberdayaan Perempuan dan Anak NTT, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Kupang, dan sejumlah sekolah menengah kejuruan di Kupang dan sekitarnya.

Ayah empat anak dan kakek seorang cucu ini tak bersedia menyebutkan total penghasilannya dari usaha kerajinan itu. ”Cukup saja untuk biaya hidup dan sekolah anak hingga tamat SMA,” jawab dia.
Berhenti dari PNS

Clemens adalah sosok pekerja keras, ulet, jujur, dan menyukai tantangan. Setelah tamat sekolah menengah ekonomi pertama di Lewoleba tahun 1964, dia langsung diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) karena dinilai cerdas. Dia bekerja di Kantor Statistik Kabupaten Flores Timor (kabupaten induk Lembata) dan ditugaskan di pedesaan Lembata.

Setelah dua tahun menjadi PNS, dia memutuskan berhenti karena pembayaran gaji macet. Sekitar tahun 1968, dia merantau ke Kupang. Tanpa dukungan biaya orangtua di Lamalera, dia melanjutkan belajar di SMEA Nasional Kupang.

”Biaya sekolah saya bayar sendiri dari penghasilan bekerja sebagai buruh pemikul beras Dolog di Tenau (Kupang),” ujar dia.

Sebelum menekuni kerajinan berbahan koran bekas, selama sekitar 26 tahun Clemens menjadi karyawan PT Titipan Kilat cabang Kupang. Menjelang pensiun 10 tahun lalu, dia berniat membangun rumah sederhana. Namun, perusahaan tempatnya bekerja justru menyanggupi pembangunan rumah permanen.

Ini, antara lain, karena Clemens termasuk karyawan yang ulet dan tak pernah mengambil sejenis tip. Itulah bangunan yang dia tempati hingga kini.

Sampai usia senja pun, Clemens tetap berusaha sebagai perajin berbagai suvenir berbahan baku koran bekas. Bahan baku koran bekas itu biasanya dia peroleh secara gratis. Bahkan ada sejumlah orang yang kemudian bersimpati pada kemauan dia bekerja keras dan mengantarkan koran bekas gratis itu ke rumahnya.

”Bagi saya, kerajinan berbahan baku koran bekas ini sekadar contoh bahwa setiap upaya akan mendatangkan manfaat asalkan kita mau menekuninya dengan sungguh-sungguh,” kata Clemens.

 
—————————————————————————
Clemens Korohama
♦ Lahir: Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), 22 September 1947
♦ Istri: Rosalina Nepasari
♦ Anak:
- Mecky
- Inche
- Iwan
-  Ayub
♦ Pendidikan:
- Sekolah menengah ekonomi pertama  di Lewoleba, NTT
- SMEA Nasional Kupang, NTT
♦ Penghargaan: Penghargaan sebagai Penggagas Rumah Tangga Ramah Anak dari Wali Kota Kupang, 2010

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006849220