BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menghirup Kedamaian di Pulau Osi

Menghirup Kedamaian di Pulau Osi
Frans Pati Herin
9 Februari 2017

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERINJembatan panjang menuju Pulau Osi, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Minggu (15/1). Pulau Osi kini menjadi obyek wisata yang digemari para pemburu pesona Nusantara. Namun, akses jalan menuju tempat itu belum diperhatikan pemerintah.

Namun, untuk menikmati keindahan dan kedamaian itu perlu lewat jalan panjang dengan moda kendaraan bersambung.

Bagian barat Pulau Seram, Maluku, Januari lalu terasa panas. Suhunya sekitar 32 derajat celsius. Tak banyak pohon rimbun berdiri di sisi jalan perbukitan selepas dari Piru, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Barat. Lebih banyak dominasi pohon kayu putih setinggi kurang dari 2 meter yang mulai menghijau setelah hangus dilahap api tahun lalu.

Kayu putih menggoda menghentikan langka untuk sekadar memetik pucuknya, meremas, dan menghirup aromanya. Tercium bau minyak kayu putih, oleh-oleh khas Maluku yang banyak dicari para pengunjung. Tak perlu berlama-lama, dari atas bukit telah tampak pulau-pulau kecil menggoda. Ingin secepatnya menjejakkan kaki menikmati keindahan yang banyak dikisahkan orang.

Sekitar 9 kilometer kemudian, jalanan aspal berakhir disambut jalanan tanah berdebu dengan taburan kerikil sejauh hampir 4 kilometer. Genangan air di jalanan itu mengurangi laju pejalan kaki dan kendaraan roda dua untuk tiba di pesisir Pulau Seram. Sebuah gerbang besar berdiri di ujung jembatan kayu. Selamat datang di Pulau Osi, hanya pejalan kaki dan kendaraan roda dua yang diperbolehkan masuk.

Hawa sejuk menerpa saat menapaki jembatan kayu itu. Rimbunan mangrove setinggi 4 meter lebih berbaris rapat di sisi jembatan. Sesekali terdengar riak air laut yang membentur akar mangrove dan tiang jembatan setinggi sekitar 2 meter itu. Jangan khawatir, jembatan sepanjang 1.273 meter itu tak mudah roboh. Hampir setiap hari ada warga yang ditugaskan memeriksa kondisi jembatan agar aman dilalui.

Beberapa remaja dari Kota Ambon berboncengan dengan sepeda motor berhenti di ujung jembatan. Mereka pasang gaya dan berswafoto.

Perjalanan ke Pulau Osi dari Kota Ambon mereka lakukan dengan mengendarai sepeda motor sekitar 1 jam ke Pelabuhan Hunimua. Selanjutnya, menyeberang dengan feri ke Pelabuhan Waipirit selama hampir 2 jam. Dari Waipirit ke Pulau Osi dilanjutkan dengan sepeda motor sekitar 1,5 jam.

"Capek langsung hilang kalau sudah sampai di sini. Ini wisata pulau yang mudah dijangkau dan murah. Bawa motor langsung dari Ambon. Hari ini juga kami langsung pulang ke Ambon," kata Gilbert (16), salah satu dari rombongan remaja itu.

Keramahan warga

Tanpa terasa perjalanan sudah sampai di ujung jembatan dan kaki mulai menyentuh pulau karang bernama Tatobo Surati. Samadu, pria setengah baya, menyapa dengan senyum ramah dari dalam pos. Di situ tertulis biaya karcis masuk. Untuk pejalan kaki dikenai Rp 2.000, sedangkan kendaraan roda dua Rp 5.000. Biaya masuk itu tergolong sangat murah jika dibandingkan suasana dan pemandangan yang tengah dan akan dirasakan di tempat itu.

Selepas mangrove, rimbunan kelapa menyambut. Siang hari, pemilik tanaman itu menanti pengunjung yang ingin menikmati air dan daging kelapa muda. Harganya tak dipatok. Bahkan, kadang diberikan gratis jika mereka sedang panen. "Sejak Pulau Osi didatangi wisatawan, warga di sini sudah diingatkan untuk menghargai tamu yang datang," kata Samadu.

Usai melewati Tatobo Surati, tampak dua resor dengan sejumlah kamar terapung. Pemilik resor membangun jembatan lebih dari 30 meter dari daratan ke resor yang berada di tengah laut itu. Dua resor itu adalah Indago Resort and Restaurant, serta My Moon Daud Resort, milik warga setempat.

Pulau Osi merupakan pulau terbesar di antara lima pulau yang berjejer di tepi Pulau Seram, tepatnya Desa Eti, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat. Luas Pulau Osi sekitar 9 hektar. Empat pulau lain, yakni Tatobo Lasungke, Tatobo Besar, Tatobo Buntal, dan Tatobo Surati, luasnya masing-masing kurang dari 2 hektar. Kebanyakan orang menyebut lima pulau yang dirangkai jembatan itu dengan satu nama, yakni Pulau Osi. Barangkali karena hanya Pulau Osi yang ada pemukimnya, yakni sekitar 300 keluarga.

Tak hanya keindahan mangrove atau kesunyian di kala malam atau langit biru berpadu laut yang disajikan di tempat itu, Pulau Osi juga menawarkan keindahan bawah laut lewat terumbu karang. Itu yang membuat wisatawan tergila-gila datang ke tempat itu. Dari Pulau Osi, wisatawan bisa menjelajah pulau-pulau terdekat, seperti Pulau Marsegu (pulau habitat kelelawar) dan Pulau Buano yang tak kalah indahnya.

Bangun pariwisata

Pariwisata di Pulau Osi mulai terkenal sejak masyarakat membangun jembatan panjang itu sekitar 2007. Setiap keluarga menyumbang kayu dan tenaga. Pembangunan dilakukan bertahap. Uang karcis yang dibayar pengunjung dipakai untuk perawatan jembatan. "Kalau untuk hari biasa pendapatan dari karcis masuk sekitar Rp 100.000, sedangkan hari libur sekitar Rp 300.000," ujar Samadu.

Abidin Siompo (59), pensiun pegawai salah satu badan usaha milik negara, kini pulang kampung untuk menghidupkan pariwisata Pulau Osi. Dialah pemilik My Moon Daud Resort. Selain menyediakan penginapan seharga Rp 400.000 per malam, juga ada keramba ikan. Tamu bisa memancing sendiri ikan. "Saya yang pertama kali membangun resor di Pulau Osi. Orang asli daerah harus memanfaatkan peluang ini. Jangan sampai kami jadi penonton," katanya.

Indago Resort and Restaurant yang baru dibuka tahun lalu juga menawarkan harga penginapan yang sama. Kini Pulau Osi semakin ramai atas partisipasi masyarakat membangun pariwisata. Yang perlu diperhatikan pemerintah adalah akses jalan menuju Pulau Osi sejauh 4 kilometer yang sampai saat ini masih berupa jalan tanah.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/nusantara/2017/02/09/Menghirup-Kedamaian-di-Pulau-Osi

Related-Area: