BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Penataan Ruang Butuh Pendekatan Budaya

PEmbangunan DESa
Penataan Ruang Butuh Pendekatan Budaya
Ikon konten premium Cetak | 25 Februari 2016 Ikon jumlah hit 29 dibaca Ikon komentar 0 komentar

YOGYAKARTA, KOMPAS — Penataan ruang di kawasan pedesaan butuh pendekatan budaya dan pemetaan partisipatif. Itu diharapkan mengatasi konflik kepentingan di masyarakat, mempercepat pembangunan di desa, dan mendorong pertumbuhan ekonomi warga.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional bertema "Peta Desa untuk Percepatan Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan" di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (24/2).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan, desa jadi subyek pembangunan agar bisa mengatur diri sendiri. Karena itu, butuh pendekatan partisipatif. "Pembangunan desa selama ini teknokratik dan birokratik. Padahal, yang diperlukan, pembangunan dirasakan warga desa," ujarnya.

Terkait hal itu, peta diharapkan bisa membuat kebijakan yang bermanfaat bagi warga desa. Informasi geospasial bisa dipakai setiap desa dan lintas desa di antaranya untuk pengembangan badan usaha milik desa, revitalisasi pasar, pendirian sentra pertanian, dan peternakan.

Pemetaan partisipatif

Selain itu, butuh pendekatan partisipatif pemetaan skala desa. Menurut Priyadi, Badan Informasi Geospasial (BIG) bekerja sama dengan 13 perguruan tinggi membangun Pusat Penelitian Informasi Data Spasial (PPIDS). Jadi, pihaknya membina sumber daya manusia serta memberi bantuan alat survei dan pemetaan.

Selanjutnya, peneliti di PPIDS bisa melatih tenaga dan pemerintah daerah untuk menyusun peta tematik desa. Itu butuh 83.000 personel guna menghimpun informasi tema peta itu.

Untuk mendukung peta partisipatif, BIG membuat Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa terkait standar, pedoman, dan kriteria. Itu jadi panduan pemda agar mandiri membuat peta. Dari peta desa terstandar, terbangun peta kabupaten atau kota hingga provinsi dan nasional.

BIG juga bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional demi menghasilkan citra satelit resolusi tinggi 92.000 kilometer persegi untuk pemetaan desa. Data geospasial itu sekitar 50 persen total wilayah Indonesia. Adapun peta citra yang terverifikasi 1.600 desa. Tahun ini, 3.600 peta desa ditargetkan rampung.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X berharap peta desa mengakomodasi wilayah dan hak warga adat. Menurut Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro selaku Pengageng Parentah Hageng Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, pemetaan lewat pendekatan budaya dirintis bersama BIG bagi daerah gumuk pasir Parangtritis, Bantul.

Untuk itu, penanda daerah gumuk dengan mematok wilayah seluas 110 hektar ditetapkan. Penetapan batas wilayah milik Keraton Yogyakarta itu, kata Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial BIG Suprajaka, dilakukan sejak September 2015.

Penetapan batas desa dengan patok berdasarkan budaya merupakan yang pertama di Indonesia. "Pendekatan budaya lebih cepat mengatasi konflik batas wilayah ketimbang pendekatan hukum negara," ujarnya.

KPH Wironegoro, Ketua Asosiasi Petambak Udang DIY, menambahkan, dengan pendekatan adat, petambak daerah gumuk mau dipindah ke daerah dekat Kali Opak untuk mengembalikan ekosistem gumuk. (YUN)

Sumber : http://print.kompas.com/baca/2016/02/25/Penataan-Ruang-Butuh-Pendekatan-Budaya

Related-Area: