BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Peran Sekolah Memutus Mata Rantai Perokok Anak

Perilaku merokok anak tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sekitarnya. Terdapat korelasi yang kuat antara perilaku merokok anak dan perokok dewasa. Institusi pendidikan bisa menjadi garda terdepan melindungi anak.

YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
3 Juli 2023 07:30 WIB


Anak-anak di Indonesia masih berada dalam bahaya asap rokok. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, tingkat prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini jelas merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang hendak menurunkan prevalensi merokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024.

Target penurunan prevalensi tersebut akan sulit tercapai jika lingkungan sekitar anak tidak ikut mendukung. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2019-2022 dapat memberikan petunjuk mengenai hal ini.

Hasil analisis Pearson terhadap rata-rata tingkat merokok antara anak usia 5-17 tahun dan penduduk merokok di atas 15 tahun dari 34 provinsi selama kurun waktu tersebut memberikan nilai sebesar 0,596. Adapun nilai probabilitas dengan tingkat signifikansi 0,05 dari koefisien tersebut adalah 0,00019.

Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara tingkat merokok anak dan tingkat merokok orang dewasa di sebuah provinsi. Artinya, apabila perokok dewasa di suatu provinsi tinggi, maka tingkat perokok anak di provinsi tersebut juga akan relatif tinggi.

Hubungan tersebut tampak semakin tegas ketika didapati enam dari 10 besar provinsi dengan rata-rata perokok anak tertinggi masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan rata-rata perokok dewasa tertinggi. Nusa Tenggara Barat, misalnya, tidak hanya merupakan provinsi dengan tingkat perokok anak paling tinggi, tetapi juga menempati peringkat keempat terbesar dalam hal perokok dewasa. Provinsi-provinsi lain yang memiliki situasi serupa adalah Jawa Barat, Gorontalo, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan.

Sebaliknya, Bali sebagai provinsi dengan persentase perokok dewasa paling rendah menempati peringkat terendah ke-6 perokok anak. Serupa dengan itu, Kalimantan Timur sebagai peringkat pertama tingkat perokok anak terendah dan peringkat ke-4 perokok dewasa terendah.

Di luar itu, ada beberapa provinsi yang memperlihatkan kasus khusus dengan temuan sebaliknya, contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta dan Maluku. Walau ada beberapa situasi yang berbeda, temuan ini tetap menunjukkan bahwa perilaku merokok orang dewasa mendatangkan konsekuensi langsung terhadap perilaku merokok anak. Namun, masih ada harapan untuk dapat membentengi anak-anak dari bahaya asap rokok sebagai perokok aktif.

Benteng perlindungan

Benteng tersebut datang dalam wujud institusi pendidikan. Melalui analisis bivariat terhadap data Susenas pada kurun waktu yang sama, ditemukan bahwa terdapat korelasi kuat antara rata-rata lama sekolah penduduk usia di atas 15 tahun dan persentase merokok pada anak umur 5-17 tahun.

Hasil analisis tersebut memberikan nilai Pearson sebesar -0,538 dengan nilai p pada signifikansi 5 persen sebesar 0,001. Nilai korelasi yang negatif menunjukkan bahwa semakin lama masa sekolah penduduk, maka semakin rendah persentase merokok pada anak.

Sebagai contoh, Maluku adalah provinsi yang rata-rata lama sekolah penduduknya tertinggi ke-3, yakni 10,2 tahun. Hal ini memberikan dampak positif terhadap persentase merokok anak di provinsi tersebut, yaitu sebesar 0,57 persen atau terendah ke-2. Hal yang lebih kurang serupa terjadi di provinsi dengan lama sekolah penduduk yang cukup tinggi, seperti DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur.

Sebagai pembanding, Provinsi Jawa Tengah, sebagai provinsi dengan tingkat perokok anak tertinggi ke-3, berada di urutan terendah ke-5 rata-rata lama sekolah penduduknya (8,22 tahun). Tepat di bawahnya, Gorontalo merupakan provinsi dengan lama sekolah penduduk terendah ke-6 dan tingkat perokok anak tertinggi ke-4 secara nasional. Pola yang sama terjadi di provinsi lain yang memiliki tingkat lama sekolah yang rendah, yakni Jawa Timur, Sulawesi Barat, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat.

Dua temuan ini seakan menegaskan hasil penelitian lain bahwa institusi pendidikan menjadi garda terdepan dalam melindungi anak-anak dari paparan rokok, baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Data dari Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 menunjukkan bahwa sekolah menjadi tempat anak terpapar asap rokok sebesar 29,8 persen. Jumlah ini terpaut cukup jauh dengan lokasi-lokasi lainnya, seperti angkutan umum sebesar 53,65 persen, tempat bermain 54,98 persen, dan bahkan rumah sebesar 49,33 persen.

Masih menggunakan data yang sama, jumlah pelajar yang pernah merokok di sekolah sejumlah 32,3 persen, sedangkan 67,7 persen sisanya mengaku tidak pernah. Hal ini selaras dengan hasil jajak pendapat Kompas pada 19-21 Juni, di mana 67,23 persen responden menyatakan bahwa ada anak merokok di lingkungan RT/RW mereka. Hal ini menandakan bahwa para pelajar memilih merokok di luar lingkungan sekolah.

Selain itu, berdasarkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS), jumlah anak yang melihat orang merokok di lingkungan sekolah menurun secara drastis, yakni dari 69 persen pada 2014 menjadi 56 persen pada tahun 2019. Sebaliknya, di kurun waktu yang sama keterpaparan anak terhadap asap rokok di ruang publik malah meningkat, yakni sebesar 6,1 persen di ruang tertutup dan 3,3 persen di ruang terbuka.

Peran pemerintah

Hal ini menunjukkan bahwa aturan pelarangan merokok di lingkungan sekolah cenderung lebih dipatuhi baik oleh siswa maupun tenaga pendidik. Sebagaimana diketahui, sekolah sebagai tempat proses belajar-mengajar telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 sebagai kawasan tanpa rokok.

Namun, sekolah tidak dapat berdiri sendiri dalam melawan bahaya rokok terhadap anak. Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia memperlihatkan bahwa tidak kurang dari 45,7 persen pelajar mengaku sering terpapar iklan rokok. Iklan rokok juga menyumbang 11,03 persen terhadap pengenalan anak pada rokok.

Lain daripada itu, berdasarkan kajian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia tahun 2021, terdapat 859 atau 20,6 persen sekolah di DKI Jakarta yang di dekatnya terdapat warung rokok eceran. Adapun mengutip GYTS 2019, sebanyak 71,3 persen siswa usia 13-15 tahun membeli rokok secara ketengan. Hal ini seakan menegaskan diperlukannya peran pemerintah untuk menertibkan aturan pengiklanan dan penjualan rokok.

Institusi pendidikan sudah membuktikan mampu menjadi oasis bagi anak-anak di tengah kepungan asap rokok. Dibarengi dengan ketegasan pemerintah dan kepedulian warga masyarakat, diharapkan Indonesia dapat memutus mata rantai regenerasi perokok di Indonesia pada waktu mendatang. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
MB DEWI PANCAWATI

Sumber: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/07/02/peran-sekolah-memutus-mata-rantai-perokok-anak

Related-Area: