BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

SUPRATMAN Sang ”Intelijen” Sampah

Demi menjaga kebersihan dusunnya, Lalu Supratman bergerak bak intelijen sampah. Setiap hari, ia ”blusukan” ke penjuru dusun untuk mencari sampah yang berserakan dan segera membersihkannya saat itu juga. Dengan cara tersebut, ia mengajari warga agar tidak membuang sampah seenaknya.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR
Supratman sebenarnya bukan petugas pembersih sampah. Ia adalah seorang bangsawan Lombok bergelar Lalu yang menjabat sebagai Kepala Dusun Pedalaman Lauk, Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Namun, ia tidak pernah gengsi untuk turun tangan membersihkan sampah yang mengotori dusunnya.
Kegiatan itu ia lakukan sejak pertengahan 2008 ketika ia diangkat sebagai kepala dusun. Saat itu, Dusun Pedalaman Lauk yang luasnya 10 hektar merupakan dusun paling kotor dan kumuh dibandingkan dengan 12 dusun di Desa Lendang Nangka. Ketika hujan turun, sampah berceceran di sudut-sudut dusun dan mengeluarkan bau tak sedap. Got atau saluran air juga sering tersumbat sehingga airnya tumpah dan menggenangi perkampungan.
Supratman merasa jengah menyaksikan betapa joroknya warga dusun yang ia pimpin. Karena itulah, ia bergerak membereskan persoalan sampah di dusunnya. Ia terjun langsung membersihkan sampah bersama Nasri (40).
Setiap pagi, Supratman berkeliling kampung untuk menemukan sampah. Ia menyapu gang-gang yang ada di dusun dan mengangkut sampah yang bertumpuk serta membawanya ke tempat pembuangan akhir (TPA).
”Pagi ini saya tidak bisa menyapu gang-gang kampung karena ada kepaten (kematian) tetangga kami. Tetapi, kegiatan mengambil dan membuang sampah ke TPA tetap dilakukan,” ujar Supratman saat ditemui suatu pagi di akhir Juni lalu.
Kegiatan Supratman tidak hanya dilakukan siang hari. Ia juga blusukan di malam hari untuk memantau warga yang membuang sampah sembarangan ke pekarangan rumah atau got. Dalam gelap, ia kemudian membersihkan sampah yang dibuang warganya yang jorok itu.
Esoknya, warga tersebut kaget melihat pekarangan dan gotnya bersih dari sampah. Dengan cara halus seperti itulah Supratman menegur warga tersebut sekaligus mengajari mereka agar tidak membuang sampah sembarangan.
Supratman juga rajin menemui warga dan memberi mereka karung untuk menempatkan sampah. Setiap Jumat, ia bersama Nasri mengambil karung berisi sampah yang diletakkan warga di depan rumahnya. Dengan sepeda motor roda tiga, Supratman mengangkut aneka sampah yang dihasilkan warga ke TPA.
Direspons warga
Awalnya, banyak warga memandang sinis kegiatan Supratman. Mereka menilai tak elok buat seorang bangsawan Lombok mengurusi sampah. ”Mbe jangke entah lemak (sampai di mana, sih, nanti),” begitu komentar warga dalam bahasa Sasak, mempertanyakan kesungguhan Supratman.
LALU SUPRATMAN
LAHIR:
28 Februari 1966 di Dusun Pedalaman Lauk, Desa Sukadana
ANAK:
Baiq Pritasari Wulandasih (22)
Baiq Triya Maulidasih (18)
Baiq Zahira Sofa (13)
Baiq Nina Malulu (8)
PENDIDIKAN:
SDN 2 Lendang Nangka, tamat 1975
SMPN Masbagik, tamat 1982
SMAN Selong, ibu kota Lombok Timur, tamat 1985
 
Namun, Supratman tidak ambil pusing dengan komentar seperti itu. ”Yang penting buat saya, dusun kami harus bersih dari sampah.”
Melihat kesungguhan Supratman mengurusi sampah selama enam bulan, warga akhirnya memberikan dukungan. Mereka menyepakati untuk membuang sampah di karung-karung sampah yang telah dibagikan. Karung-karung tersebut kemudian diletakkan di depan rumah pukul 08.30 setiap Jumat. Lewat dari waktu itu, sampah tidak diangkut.
”Ini handphone berdering terus kalau saya telat ngambil sampah,” kata Supratman yang memutus perbincangan untuk menerima telepon dari warga.
Warga juga bersedia menyumbang dua cangkir beras (jimpitan) setiap bulan. Total setiap bulan beras yang terkumpul dari 378 keluarga berjumlah 75 kilogram. Beras itu dijual Rp 5.000 per kilogram. Uang hasil penjualan digunakan untuk biaya operasional pembersihan sampah, termasuk upah pengangkut sampah.
Saat itu, dusun mulai mempekerjakan seorang pengangkut sampah yang diupah Rp 35.000 dalam satu sesi pengangkutan sampah. Warga juga memberikan dana Rp 15.000 untuk membeli bahan bakar sepeda motor pengangkut sampah.
Belakangan, pekerja pengangkut sampah itu berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKI. Supratman dan Nasri kembali turun tangan menjemput sampah dari rumah warga.
Tumpukan sampah yang tadinya langsung dibuang ke TPA, belakangan dikelola. Sampah dedaunan dijadikan kompos. Setiap bulan, dusun tersebut bisa memproduksi 5-6 kuintal kompos. Sebagian kompos dijual dengan harga Rp 20.000 per karung berisi 25 kilogram. Sebagian lagi dibagikan secara gratis kepada warga yang membutuhkan.
Sementara itu, sampah plastik dan kaleng dijual Rp 1.200-Rp 1.500 per kilogram. Bekas plastik kemasan sebagian dijadikannya media tanaman sawi, sirih, kemangi, tomat, melon, beragam jenis bunga, dan tanaman obat-obatan.
Dengan cara itu, dusun yang tadinya kotor menjadi bersih. Selain itu, dusun juga bisa menghasilkan kompos dan produk lain berbasis sampah. Kini, Supratman memetik buah dari keuletannya memerangi sampah di dusunnya. Itulah yang membuat Supratman amat bangga.
Dia juga menjadi inspirasi bagi banyak orang di luar dusun, bahkan luar NTB, yang kewalahan menangani sampah di wilayahnya masing-masing. Mereka mengundang Supratman ke beberapa kota untuk menceritakan kegiatannya sebagai ”intelijen” sampah.

 

Demi menjaga kebersihan dusunnya, Lalu Supratman bergerak bak intelijen sampah. Setiap hari, ia ”blusukan” ke penjuru dusun untuk mencari sampah yang berserakan dan segera membersihkannya saat itu juga. Dengan cara tersebut, ia mengajari warga agar tidak membuang sampah seenaknya.

KOMPAS/KHAERUL ANWARSupratman sebenarnya bukan petugas pembersih sampah. Ia adalah seorang bangsawan Lombok bergelar Lalu yang menjabat sebagai Kepala Dusun Pedalaman Lauk, Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Namun, ia tidak pernah gengsi untuk turun tangan membersihkan sampah yang mengotori dusunnya.

Kegiatan itu ia lakukan sejak pertengahan 2008 ketika ia diangkat sebagai kepala dusun. Saat itu, Dusun Pedalaman Lauk yang luasnya 10 hektar merupakan dusun paling kotor dan kumuh dibandingkan dengan 12 dusun di Desa Lendang Nangka. Ketika hujan turun, sampah berceceran di sudut-sudut dusun dan mengeluarkan bau tak sedap. Got atau saluran air juga sering tersumbat sehingga airnya tumpah dan menggenangi perkampungan.
Supratman merasa jengah menyaksikan betapa joroknya warga dusun yang ia pimpin. Karena itulah, ia bergerak membereskan persoalan sampah di dusunnya. Ia terjun langsung membersihkan sampah bersama Nasri (40).
Setiap pagi, Supratman berkeliling kampung untuk menemukan sampah. Ia menyapu gang-gang yang ada di dusun dan mengangkut sampah yang bertumpuk serta membawanya ke tempat pembuangan akhir (TPA).
”Pagi ini saya tidak bisa menyapu gang-gang kampung karena ada kepaten (kematian) tetangga kami. Tetapi, kegiatan mengambil dan membuang sampah ke TPA tetap dilakukan,” ujar Supratman saat ditemui suatu pagi di akhir Juni lalu.

Kegiatan Supratman tidak hanya dilakukan siang hari. Ia juga blusukan di malam hari untuk memantau warga yang membuang sampah sembarangan ke pekarangan rumah atau got. Dalam gelap, ia kemudian membersihkan sampah yang dibuang warganya yang jorok itu.

Esoknya, warga tersebut kaget melihat pekarangan dan gotnya bersih dari sampah. Dengan cara halus seperti itulah Supratman menegur warga tersebut sekaligus mengajari mereka agar tidak membuang sampah sembarangan.
Supratman juga rajin menemui warga dan memberi mereka karung untuk menempatkan sampah. Setiap Jumat, ia bersama Nasri mengambil karung berisi sampah yang diletakkan warga di depan rumahnya. Dengan sepeda motor roda tiga, Supratman mengangkut aneka sampah yang dihasilkan warga ke TPA.
Direspons warga

Awalnya, banyak warga memandang sinis kegiatan Supratman. Mereka menilai tak elok buat seorang bangsawan Lombok mengurusi sampah. ”Mbe jangke entah lemak (sampai di mana, sih, nanti),” begitu komentar warga dalam bahasa Sasak, mempertanyakan kesungguhan Supratman. Namun, Supratman tidak ambil pusing dengan komentar seperti itu. ”Yang penting buat saya, dusun kami harus bersih dari sampah.”

Melihat kesungguhan Supratman mengurusi sampah selama enam bulan, warga akhirnya memberikan dukungan. Mereka menyepakati untuk membuang sampah di karung-karung sampah yang telah dibagikan. Karung-karung tersebut kemudian diletakkan di depan rumah pukul 08.30 setiap Jumat. Lewat dari waktu itu, sampah tidak diangkut.

”Ini handphone berdering terus kalau saya telat ngambil sampah,” kata Supratman yang memutus perbincangan untuk menerima telepon dari warga.
Warga juga bersedia menyumbang dua cangkir beras (jimpitan) setiap bulan. Total setiap bulan beras yang terkumpul dari 378 keluarga berjumlah 75 kilogram. Beras itu dijual Rp 5.000 per kilogram. Uang hasil penjualan digunakan untuk biaya operasional pembersihan sampah, termasuk upah pengangkut sampah.

Saat itu, dusun mulai mempekerjakan seorang pengangkut sampah yang diupah Rp 35.000 dalam satu sesi pengangkutan sampah. Warga juga memberikan dana Rp 15.000 untuk membeli bahan bakar sepeda motor pengangkut sampah.

Belakangan, pekerja pengangkut sampah itu berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKI. Supratman dan Nasri kembali turun tangan menjemput sampah dari rumah warga.
Tumpukan sampah yang tadinya langsung dibuang ke TPA, belakangan dikelola. Sampah dedaunan dijadikan kompos. Setiap bulan, dusun tersebut bisa memproduksi 5-6 kuintal kompos. Sebagian kompos dijual dengan harga Rp 20.000 per karung berisi 25 kilogram. Sebagian lagi dibagikan secara gratis kepada warga yang membutuhkan.

Sementara itu, sampah plastik dan kaleng dijual Rp 1.200-Rp 1.500 per kilogram. Bekas plastik kemasan sebagian dijadikannya media tanaman sawi, sirih, kemangi, tomat, melon, beragam jenis bunga, dan tanaman obat-obatan.
Dengan cara itu, dusun yang tadinya kotor menjadi bersih. Selain itu, dusun juga bisa menghasilkan kompos dan produk lain berbasis sampah. Kini, Supratman memetik buah dari keuletannya memerangi sampah di dusunnya. Itulah yang membuat Supratman amat bangga.

Dia juga menjadi inspirasi bagi banyak orang di luar dusun, bahkan luar NTB, yang kewalahan menangani sampah di wilayahnya masing-masing. Mereka mengundang Supratman ke beberapa kota untuk menceritakan kegiatannya sebagai ”intelijen” sampah.

 

LALU SUPRATMAN
LAHIR:28 Februari 1966 di Dusun Pedalaman Lauk, Desa SukadanaANAK:Baiq Pritasari Wulandasih (22)Baiq Triya Maulidasih (18)Baiq Zahira Sofa (13)Baiq Nina Malulu (8)PENDIDIKAN:SDN 2 Lendang Nangka, tamat 1975SMPN Masbagik, tamat 1982SMAN Selong, ibu kota Lombok Timur, tamat 1985

 

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/07/21/Sang-Intelijen-Sampah

Related-Area: