BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Terjadi Ketimpangan Bidang Pendidikan

Kinerja pemerintah
Terjadi Ketimpangan Bidang Pendidikan
Ikon konten premium Cetak | 30 April 2015

JAKARTA, KOMPAS — Persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama enam bulan pertama dalam bidang kesejahteraan sosial, terutama pendidikan, jauh lebih positif dibandingkan dengan bidang lain, seperti ekonomi dan politik. Hal itu terungkap dalam survei tatap muka dengan 1.200 responden di Indonesia oleh Litbang Kompas, awal April 2015.

Kepuasan masyarakat itu merupakan modal besar bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memelihara dukungan masyarakat. Namun, agar dukungan langgeng, program nyata pendidikan mesti ditingkatkan dan dinikmati merata oleh masyarakat dari Sabang hingga Merauke.

Apabila data survei dipilah berdasarkan daerah, masyarakat di Indonesia timur tidak puas dengan peningkatan pendidikan yang dalam survei itu indikatornya ialah "wajib" belajar 12 tahun dan peningkatan kualitas pendidikan. Masyarakat di Maluku-Papua yang puas terhadap pelaksanaan "wajib" belajar 12 tahun hanya 33,3 persen, sedangkan di Sumatera 70,7 persen dan Jawa 61,5 persen.

Untuk peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat yang puas di Sumatera 66 persen, Jawa 68 persen, dan Sulawesi 75 persen. Sebaliknya sikap puas masyarakat di Maluku-Papua terhadap isu serupa (29,2 persen).

Masyarakat juga puas dengan pengembangan budaya gotong royong. Namun, pembangunan pendidikan-lah yang jauh lebih peka terhadap kebijakan publik yang diambil pemimpin.

Pembangunan pendidikan di Jawa memang mulai dirasakan masyarakat, terlepas kinerja Jokowi yang baru menjabat enam bulan. Di Surabaya, Jawa Timur, biaya sekolah mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK gratis sejak 2010. Bahkan, baju seragam dan buku siswa miskin dibiayai Pemerintah Kota Surabaya.

"Tak ada lagi sekolah yang hanya untuk anak orang mampu," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Selasa (28/4).

Di Kota Malang, Jawa Timur, angka putus sekolah hanya 0,05-0,68 persen (SD-SMA). Hasan Aji (43), warga Kelurahan Bareng, mengatakan, mengakses pendidikan dasar cukup mudah. "Sekarang tak banyak tarikan memberatkan," ujar wali murid siswa SMAN 9 Malang.

Perubahan UN

Perubahan ujian nasional (UN) yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan juga diapresiasi. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta Baskara Aji, misalnya, berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menindaklanjuti kebijakan itu dengan peningkatan kualitas guru. Di daerah itu, lama belajar 12 tahun juga tak terkendala. Persentase warga DI Yogyakarta yang menjalani pendidikan hingga jenjang SMA/SMK mencapai 96 persen.
Baca Juga
Kebijakan Populis Menjadi Penopang [Konten premium] Cetak | 30 April 2015

Sedikit tersentuh

Sebaliknya, di kawasan Indonesia timur, seperti Maluku dan Papua, masyarakat masih merindukan perbaikan. Di sanalah Jokowi-Kalla dapat meningkatkan dukungan sekaligus memenuhi hak pendidikan masyarakat. Indeks pembangunan manusia di Provinsi Papua, misalnya, menempati peringkat terakhir dari 33 provinsi selama satu dekade. Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Protasius Lobya menuturkan telah menetapkan program wajib belajar 12 tahun. Namun, angka buta huruf di Papua masih 600.000 jiwa. Pemprov Papua mengucurkan dana otonomi khusus sekitar Rp 30 miliar ke setiap kabupaten untuk sektor pendidikan sejak 2014. "Kami harap pemda konsisten menggunakan dana itu untuk pendidikan," katanya.

Di Papua, sentuhan kebijakan lamban. Protasius menyatakan, terkait Kurikulum 2013, hanya 6.000 dari target 16.094 tenaga guru yang dilatih. Hingga saat ini, dia juga belum mendapatkan sosialisasi program Kartu Indonesia Pintar, andalan Jokowi.

Di Maluku, guru dan masyarakat di Negeri (Desa) Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, kecewa dengan pemerintah yang belum juga membangun gedung untuk SDN 1 Negeri Lima, SDN 2 Negeri Lima, dan SD Inpres Negeri Lima. Ketiga SD itu terkena banjir bandang Juli 2013. Sebanyak 400 siswa telantar.

Siti Sarah Suneth, guru kelas I SDN 1 Negeri Lima, mengatakan, kondisi tenda darurat tak layak lagi. Ketika hujan, kegiatan belajar dihentikan.

Pengamat

Terlepas dari hasil survei, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Mohammad Abduhzen menilai, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih fokus pada "pemulihan" bagian-bagian dari sistem pendidikan, seperti Kurikulum 2013, UN, dan sertifikasi guru. "Pemulihan itu lebih bersifat simptomatik dan tidak mengatasi sumber penyakitnya. Belum terlihat 'narasi besar' masa depan pendidikan," katanya.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Febri Hendri mengatakan, kepuasan masyarakat pada wajib belajar disebabkan, dengan bantuan pemerintah, sekolah tidak mengandalkan pembiayaan masyarakat. Namun, biaya operasional sekolah (BOS) belum optimal menutupi keseluruhan biaya. Sebagian sekolah masih menarik iuran. Wajar jika masih ada orangtua tidak puas.

Ketua Gerakan Indonesia Pintar Yanti Sriyulianti mengatakan, bisa dipahami jika masyarakat optimistis. UN yang tak lagi penentu kelulusan menunjukkan perbaikan sistem pendidikan. Namun, tetap perlu pemenuhan hak pendidikan dan perlindungan anak dalam semua aspek.

(HRS/DIA/FLO/FRN/

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/04/30/Terjadi-Ketimpangan-Bidang-Pendidikan

Related-Area: