BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PERNYATAAN SIKAP LBH-NTB DALAM PERINGATAN HARI HAM SE-DUNIA

 

“Konflik Kekerasan di NTB Harus  Segera Dihentikan”

 

Potret Konflik Kekerasan di NTB Tahun 2014

Sepanjang tahun 2014 konflik dan kekerasan masih mewarnai perjalanan pembangunan di NTB. Konflik antar warga yang cukup dominan berlangsung di  Kabupaten Bima, Kota Bima dan Dompu. LBH NTB mencatat sebanyak kurang lebih 6 orang warga telah meninggal dunia akibat konflik kekerasan yang berlangsung selama 1 tahun, puluhan warga mengalami luka berat, ratusan mengalami luka ringan, 5 rumah warga hangus terbakar, beberapa unit kendaraan roda empat mengalami kerusakan, termasuk kendaraan umum (bus) yang rusak akibat konflik antar  warga bahkan konflik kekerasan juga mulai merambah dan mengancam dunia pendidikan seperti yang terjadi di SMAN 2 Dompu. Pihak Sekolah terpaksa harus meliburkan sekolahnya karena adanya aksi sweeping terhadap para pelajar, dan kondisi ini tentu akan mengancam proses dunia pendidikan NTB.

Sementara itu, di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat konflik kekerasan l didominasi dengan konflik antara masyarakat dengan pihak investor/pengusaha, seperti di KSB kasus Hak Ulayat Tanah Talonang yang dikuasai oleh Pemkab KSB bekerjasama dengan Pengusaha yang saat ini mulai disorot oleh Komnas HAM RI. Di Pulau Lombok (KLU, Lobar, Lotim, Loteng dan Kota Mataram) sepanjang tahun 2014, konflik lebih banyak bercorak konflik kekerasan struktural (Negara) dan kasus konflik warga dengan pihak swasta (perusahaan), seperti pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, pariwisata, dan sejumlah kasus lainnya. Termasuk konflik sumber daya alam dan tata ruang wilayah.  

 

Trend Konflik Kekerasan di Tahun 2015

Trend konflik di NTB pada tahun 2015 akan cenderung meningkat, karena  pada tahun 2015 akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah, baik melalui Pemilihan secara langsung maupun Pemilihan melalui DPRD potensi konflik kekerasan tetap terbuka lebar. Meningkatnya trend konflik politik ini seiring dengan meningkatnya eskalasi konflik politik yang berlangsung di tingkat pusat, antara kelompok KIH dan KMP—konflik di tingkat pusat ini akan mengalir ke tingkat daerah, karena koalisi yang dibangun di tingkat pusat juga akan diberlakukan pula ke tingkat daerah. Sementara itu, disisilain, pada level masyarakat, mulai muncul kekecewaan masyarakat terhadap para wakil rakyat, karena berlarut-larutnya konflik politik. Kinerja dan janji para wakil rakyat pada Pemilu 2014, dan harapan masyarakat akan adanya perubahan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat, ternyata  tidak jua kunjung tiba bahkan justeru masyarakat dihadapkan dengan kenyataan kenaikan harga BBM dan kubutuhan barang pokok. Akibatnya, jumlah potensi angka kemiskinan akan meningkat dan beban ekonomi yang harus dipikul oleh masyarakat semakin berat. Kondisi diatas diperparah dengan ketiadaan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada dan ketidakpastian arah konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Terbelahnya dua kekuatan politik secara nasional yang berimbas ke daerah ini, ternyata tidak dibarengi dengan upaya penguatan pendidikan politik yang dilakukan secara massif oleh partai politik dan perbaikan ekonomi masyarakat. Tarik menarik kepentingan politik yang dipertontonkan para elite politik secara terbuka, semakin mendorong terjadinya fragmentasi pada tingkat bawah. Bahkan, disejumlah daerah kasus Pilpres maupun Pileg 2014, masih menyisakan bola api permusuhan yang sewaktu-waktu dapat meledak atau dengan kata lain, sisa-sisa konflik Pilpres dan Pileg 2014 tersebut belum selesai, namun masyarakat NTB telah dihdapkan kembali dengan agenda Pilkada pada 7 Kabupaten/Kota ditambah dengan Pilkades di sejumlah desa. Dan penyelenggaraan Pilkada 2015 masih simpang siur, bahkan dapat dikatakan sebagai “pilot project” baru (trail and error).  Ditengah situasi yang serba sulit dan ketidakpastian politik, hukum dan ekonomi itulah—masyarakat akan lebih mudah tersulut dan potensi konflik kekerasan akan sangat potensial terjadi jika tidak ada upaya dari pemerintah baik pusat, provinsi maupun daerah untuk mengantisipasi secara dini permasalahan yang dihadapi masyarakat NTB.  

Sebab, berdasarkan hasil kajian dan pemantauan yang dilakukan oleh LBH-NTB selama kurun waktu 1 (satu) 2014, akar persoalan konflik yang dihadapi di NTB memiliki banyak factor disamping factor perbedaan politik, sosial dan budaya/istiadat juga disebabkan kesenjangan ekonomi, termasuk belakangan juga memberikan konstribusi terhadap meningkatnya konflik kekerasan adalah kekecewaan masyarakat terhadap buruknya penyediaan dan layanan fasilitas public dan issue korupsi. Sehingga jika merujuk pada beberpa kejadian kasus konflik kekerasan yang berlangsung pemicunya sangat mudah dan sederhana. Seperti yang terjadi dalam kasus konflik kekerasan antar warga O’oo dengan warga Kota Baru, misalnya hanya dipicu karena “perkelahian” pertandingan sepak bola mini. Namun, konflik ini meluas menjadi konflik kekerasan menyeluruh. Begitupun halnya dalam  kasus konflik kekerasan antara Warga desa Dusun Daru dengan Dusun Sumbawa, Desa Bontokape, Kecamatan Bolo Bima yang dipicu karena Pertikaian/ perkelahian antara pelajar SMP namun meluas menjadi konflik antar warga.

Konflik antar warga/kampung atau desa ini lebih dominan berlangsung pada tahun 2014 dibandingkan dengan konflik kekerasan structural, Negara versus masyarakat. Namun demikian, secara umum, lokasi jumlah dan jenis konflik kekerasan yang terjadi di NTB cenderung mengalami peningkatan baik dari sisi lokasi/cakupan wilayah, jumlah pelaku maupun korban maupun pemicu konflik. Dan  dampak konflik yang dirasakan pada tahun 2014, lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, konflik antar warga menjadi seakan hal yang biasa.

Oleh karena konflik kekerasan antar warga yang semakin massif, tersetuktur dan sistematis maka dalam rangka pencegahan dan penanganan konflik kekerasan tersebut, dibutuhkan pula cara-cara yang sama. Dan dibutuhkan adanya keterlibatan stakeholders secara luas agar konflik kekerasan dapat dicegah dan ditangani segera.

 

Berdasarkan uraian tersebut diatas, LBH-NTB merekomendasikan :

  1. Meminta Gubernur NTB dan Kapolda NTB untuk menyikapi permasalahan penegakkan hukum, HAM dan demokrasi khususnya terkait dengan pencegahan dan penanganan konflik kekerasan antar warga dengan membangun early warning system dan early respons system di NTB:
  2. Mendesak Bupati dan DPRD Kab/Kota di NTB untuk melakukan evaluasi dan perubahan kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik kekerasan dan mulai memasukkan indikator HAM dan Demokrasi dalam produk hukum daerah;
  3. Mendorong seluruh stakeholders di daerah (provinsi, kabupaten/kota) untuk secara bersama-sama melakukan pencegahan dan penanganan konflik kekerasan di NTB dengan mendorong seluruh lapisan warga NTB untuk membangun solidaritas dan soliditas sosial untuk menjaga dan melindungi HAM dan demokrasi serta tidak mudah untuk terprovokasi;
  4. Mendesak kepada Gubernur, Bupati dan DPRD Kab/Kota se-NTB untuk segera melakukan proses pendidikan hukum, HAM dan demokrasi ketingkat akar rumput;
  5. LBH NTB memberikan apresiasi kepada Bupati Lombok Tengah yang telah meraih penghargaan atas kepedulian dan kinerjanya dalam penegakkan HAM di Loteng sehingga meraih Penghargaan HAM dari Kementerian Hukum dan HAM RI tahun 2014.

 

Demikian Pernyataan sikap ini kami sampaikan dalam menyikapi hari HAM sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2014. Mudah-mudahan NTB  demokrasi

  Mataram 10 Desember 2014

Hormat Kami,

Koordinator LBH-NTB

Syahrul Mustofa, SH.MH

Kontak : 085253830001

AttachmentSize
File Pers Release hari HAM.docx34.5 KB
Related-Area: