BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

RELOKASI; Menanti Terang di Timur Indonesia

MEREKA rentan dilupakan. Butuh kepedulian agar membuat mereka tetap menjadi bagian berharga dari Republik Indonesia ini.

Hari mulai gelap di permukiman pengungsi letusan Gunung Rokatenda di Kampung Boja, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa saat lalu saat Elizabeth Godelina Putri da Santo, biasa dipanggil Olive (12), memperlihatkan kertas penuh tabel kepada kakeknya. Untuk pertama kalinya, Olive diberi tanggung jawab yang menurut dia sangat besar.

”Tadi saya melihat pertunjukan boneka. Saya juga diminta urus raket dan boneka oleh kakak-kakak di Rumah Pandai,” ujar Olive bangga. ”Bagus. Kamu harus tanggung jawab,” sahut Petrus Rugu (62), kakek Olive.

Senyuman di wajah Petrus berubah masam saat menceritakan pilihan Gilbert da Santo, ayah Olive, yang terpaksa merantau ke Papua, semenjak Gunung Rokatenda meletus tiga kali periode 2012-2014. Sekitar 1.000 orang mengungsi ke Ende dan Maumere.

Setahun terakhir, Gilbert banting setir dari petani menjadi pengemudi truk di Papua. Istrinya juga mengadu nasib menjadi asisten rumah tangga di Sikka. Dua bulan sekali, keduanya mengirimkan Rp 1,5 juta untuk anak-anaknya.

”Setelah Rokatenda meletus dua tahun lalu, banyak warga merantau ke luar NTT. Hidup di pengungsian berat karena tidak punya pekerjaan. Akibatnya, banyak anak hidup tanpa perhatian orangtuanya. Semoga Rumah Pandai bisa memberi perhatian,” katanya.

Pendiri Rumah Pandai, Kanaya Tabitha, mengatakan, harapan warga itulah yang ingin diwujudkan. Di tengah impitan ekonomi dan ketidakpastian, Rumah Pandai menawarkan pilihan. Hal yang sama juga dilakukan di Gunung Sinabung dan Gunung Kelud.

”Kami mendampingi peningkatan karakter anak, pemberdayaan ekonomi, hingga promosi kesehatan sanitasi,” kata Kanaya. Yayasan itu didirikan awal tahun 2014.

Bekal mandiri
Terpisah 447 kilometer (km), harapan Kanaya muncul lebih dahulu di Desa Tuapukan, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, NTT. Di tempat ini ratusan eks pengungsi Timor Timur tinggal sejak 15 tahun lalu.

Rosia Isabel Saores (14) menyerahkan daftar 40 anak yang ingin bergabung dengan Rumah Pandai. Bukan perkara mudah. Bersama rekannya, Marcelina Soares (13), mereka pernah ditolak orangtua anak-anak setempat. Namun, mereka tidak menyerah. Bujuk rayu dilontarkan sampai pandangan itu berubah.

”Rumah Pandai banyak kegiatan. Bunda Kanaya akan mengajarkan bahasa Inggris hingga menyanyi,” ujar Marcelina, mencontohkan siasat andalannya.

Usaha mereka tidak sia-sia. Saat pembagian buku dan tas baru, 40 anak bersama orangtuanya datang. Beberapa orangtua yang sempat menolak ikut hadir. ”Ini membuat kami dan Sahabat Rumah Pandai (SRP) ingin terus hadir. Permulaan yang baik untuk terus mewujudkan harapan bersama mereka,” kata Kanaya.

Bersama
Raut wajah penyanyi Angel Pieters mulai lelah. Suaranya parau. Namun, semangatnya muncul kembali saat menyanyikan lagu ”You Rise Me Up” milik Josh Groban di depan warga Tuapukan. Warga lebih banyak diam dan mulai bersuara saat Angel dan SRP lain berbagi pengalaman.

Salah satunya ketika model profesional dan anggota SRP, Patricia Gunawan, menceritakan pengalaman hampir jatuh di panggung. Ia harus tetap tersenyum. ”Kalau dia jatuh di panggung, saya jatuh bangun jalankan sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD),” ungkap Rita de Jesus (34), pendamping PAUD di Tuapukan.

Rita mengatakan, mengajar di tengah masyarakat belum sejahtera tidak mudah. Tanpa upah, tidak ada guru yang tertarik mengajar di PAUD berdinding bambu itu. Akibatnya fatal. Ia banyak menyaksikan anak putus sekolah. Ia mencontohkan pengalaman lima tahun lalu. Dari 100 anak baru, hanya delapan yang lulus.

”PAUD bukan sekadar tempat persiapan belajar. Di sini juga dilakukan pemeriksaan gizi. Beberapa anak gizi buruk pernah ditolong,” katanya.

Ketika anggota SRP lainnya, mantan penyanyi Vita Datau berbicara tentang pemberdayaan masyarakat lewat tenun, giliran Elsiana Soares (25), semringah. Ia semakin bersemangat saat diputarkan video peragaan busana karya Kanaya bertajuk ”Suara dari Timur: Persembahan untuk Rumah Pandai di Tuapukan”. Elsiana paham pemberdayaan lebih berguna ketimbang dibagikan sejumlah rupiah ketika melihat busana dari tenun dipamerkan.

”Sekarang tenun jadi sumber pencarian utama. Namun, karena alat dan tekniknya masih sederhana, hanya bisa buat 2-3 helai per bulan. Harganya Rp 250.000 per helai,” kata Elsiana.

Jose Martin Lopes (32), suami Elsiana, mengatakan, tenun ikut menyelamatkan keluarga mereka. Tidak punya lahan garapan sendiri, ia menjadi buruh tani dengan penghasilan Rp 500.000 per bulan. Ada tujuh anggota keluarga yang harus ia hidupi.

Di pengujung hari, delapan anak Desa Tuapukan mulai unjuk gigi di depan rumah salah seorang warga. Memainkan untaian tali rafia, mereka saling menjalin dan mengikat membentuk bintang. Di kalangan warga eks pengungsi, tarian itu dinamakan Suruboek yang artinya kurang lebih bintang persatuan.

Dari ujung timur Indonesia, harapan muncul dalam keterbatasan. (Cornelius Helmy)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011526504

Related-Area: