BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Studi Visit GENOIL ke UK mewakili Social Enterprise di Indonesia

-Social entreprise in a global context-

  

Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi ke Eropa khususnya Inggris. Mimpi saya adalah berkeliling lebih banyak lagi ke daerah di Indonesia untuk beberapa tahun kedepan. Agar lebih mengenal negeri ini dan mengeksplorasi potensi keragamannya. Namun kemarin setelah iseng mengikuti Ideas for Indonesia 2016, sebuah kompetisi bagi anak muda yang memiliki usaha  minimal 2 tahun dan memiliki manfaat sosial di masyarakat. Setelah mengikuti proses seleksi yang panjang, Alhamdulillah kami menang sebagai juara 1 dari 500 perusahaan anak muda se Indonesia. Merupakan kejutan karena selain mendapatkan hadiah uang tunai, GEN Oil juga mendapatkan kehormatan dari British Council (pemerintah Inggris) mewakili Social Entreprise Indonesia untuk study trip di UK. Kesempatan tersebut baru kami tahu di babak final 5 besar Ideas for Indonesia 2016. Jadi cukup surprise bagi kami.

 

(Bersama duta besar kerajaan inggris utk Indonesia. Mr. Moazzam Malik sebelum keberangkatan Genoil ke Inggris)

Kegiatan studi visit dilaksanakan pada tanggal 6 sampai dengan 11 November 2016. Di hari pertama (6/11) setiba di Manchester setelah perjalanan selama 14 jam dari Jakarta-Doha-Manchester, kami disambut cuaca yang cukup dingin, 3 derajat celcius. Meski belum turun salju tapi dinginnya cukup menusuk di tangan. Dengan jaket tebal kami berkeliling kota untuk mengisi spasi waktu sebelum mengikuti agenda yang padat besoknya. Dihari pertama, delegasi Indonesia mengunjungi Old Trafford stadium, sebuah kebanggaan buat saya sebagai penggemar MU sejak SD, meski sejak SMP sudah jarang nonton dan main bola. Hehe

(Social Entreprise - Genoil & Higher Education delegate of Indonesia)

Setelah seharian di Manchester, kami melanjutkan perjalanan menuju Liverpool untuk mengikuti serangkaian kunjungan studi. Kurang lebih 2 jam perjalanan kami tiba Liverpool, beristirahat di Hotel Novotel sebelum memulai agenda studi visit disana pada hari esoknya 7 November.

Hmmm…. Jika berbicara Liverpool, maka mungkin fokus sebagian besar orang hanya terpaku kepada 3 hal, Liverpool Football Club, kota pelabuhan terkemuka di penjuru utara Inggris, dan tentunya The Beatles, sang grup musik legendaris. Diluar hal tersebut, banyak orang cenderung mengabaikannya.  Namun, pengalaman hari pertama kami dalam Social Enterprise dan Higher Education Visit 2016 yang diselenggarakan oleh British Council ini mengubah pandangan kami, terutama saya, mengenai Liverpool sebenarnya.

Acara  hari pertama (7/11) dalam rangkaian kegiatan ini dibuka dengan sambutan oleh Juliet Cornford, perwakilan dari British Council United Kingdom sebagai tuan rumah. Penjelasan awal dimulai tentang peran British Council dalam mendukung pengembangan kewirausahaan sosial yang dijelaskan dalam kerangka Global Social Enterprise Progam (GSEP). Program ini telah berjalan di berbagai belahan dunia dengan berpedoman pada 4 rangkaian prinsip kegiatan yaitu pengembangan kapasitas, pengembangan internasional, sistem pendidikan, dan kebijakan serta hubungan dengan pemerintah. Melalui kerangka GSEP ini diharapkan dapat muncul bibit-bibit baru pengembangan kewirausahaan sosial di berbagai belahan dunia.

Penjelasan selanjutnya kemudian disampaikan oleh Rosie Jolly, pemimpin eksekutif pada Liverpool Social Enterprise Network (SEN), sebuah badan yang memiliki perhatian untuk mempromosikan peran kewirausahaan dalam pengembangan dan pertumbuhan wilayah Liverpool. Aktivitas yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan jejaring, keterampilan, maupun kelekatan dari para wirausaha di Liverpool untuk memperkuat potensi ekonomis, keberlanjutan, serta dampak sosial dan lingkungan yang akan dihasilkan oleh bisnis mereka di Liverpool. Peran SEN cukup sentral dalam hal menghubungkan antar wirausaha sosial yang berada di Liverpool. SEN juga memiliki peran untuk melakukan advokasi serta pemberi masukan bagi Liverpool City Council.

Setelah penjelasan dari Liverpool SEN -yang juga akan menjadi tuan rumah bagi kami selama melakukan kunjungan wirausaha sosial di Liverpool-, British Council juga mendatangkan Paul Martin, CEO dari Progressive Lifestyle Solution (PLS). Dengan penuh semangat, Paul menjelaskan peran PLS sebagai salah satu social enterprise yang berada di dalam kerangka Liverpool SEN. Dengan nama perusahaan yang cukup unik, kegiatan bisnis yang dilakukan oleh Paul Martin pun cukup unik juga menurut kami. Mulanya, PLS menjelaskan bahwa salah satu kegiatannya adalah membantu menyediakan akomodasi bagi penduduk Liverpool yang kesulitan mengakses pendanaan rumah. Namun, pelayanan yang diberikan ternyata tidak sampai disitu. Paul dkk di PLS juga memberikan nilai tambah berupa meningkatkan keterampilan dari pengguna layanannya untuk dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Selain itu juga, terdapat banyak kegiatan yang dilakukan untuk mendukung para konsumennya, mulai dari pendidikan, kesehatan, kebugaran, pengelolaan pangan dan lainnya agar para penduduk Liverpool dapat lebih mandiri.

Pelajaran yang dapat diperoleh dari aktivitas pertama ini adalah pemahaman bahwa pada kota sepopuler dan sebesar Liverpool, peran kewirausahaan sosial masih sangat dibutuhkan. Isu-isu kota besar seperti tempat tinggal juga menjadi masalah yang cukup serius di kota pelabuhan ini. Isu menarik mengenai dampak mundurnya Inggris Raya dari Organisasi Uni Eropa pun turut mewarnai perubahan iklim ekonomi di Liverpool. Kesempatan kerja menjadi lebih menantang, pendanaan anggaran kota juga lebih ketat karena beberapa dana hibah yang ditarik karena mundurnya Inggris Raya dari Uni Eropa.

Pengalaman perdana ini menunjukkan bahwa social enterprise dapat hadir di berbagai belahan dunia, tidak harus dengan negara yang selalu berada di dalam kondisi marjinal. Hal ini tentunya karena semangat dari kewirausahaan sosial salah satunya adalah untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan (addresing inequality).

Setelah berdiskusi dengan british council, social entreprise network dan juga Progressive Lifestyle Solution, kami mengunjungi The Brink di Parr Street – Liverpool di sesi kedua. The Brink adalah salah satu tempat yang menawarkan kafe tanpa alkohol di Liverpool. Ide The Brink bertujuan untuk membantu banyak pecandu minuman beralkohol yang bermasalah dengan hidupnya. Melalui The Brink dan program di dalamnya, The Brink membantu mereka untuk melakukan rehabilitasi dan mengembalikan dirinya dengan lebih baik ke komunitas. The Brink memiliki alternatif pendapatan dari penjualan makanan di dalam kafe serta penyelenggaraan event-event khusus di aula kafe. The Brink juga mempekerjakan teman-teman pecandu yang sedang dalam masa rehabilitasi di kafe dengan gaji yang sesuai standar minimum upah Liverpool. The Brink juga menjadikan tempatnya sebagai tempat untuk mengembangkan diri sehingga sering juga diselenggarakan acara yang sifatnya komunitas, baik yang berbayar maupun tidak. Yang kami pelajari dari kunjungan tersebut bahwa, konsep strategi pemasaran the Brink ini menurut saya cukup berani melawan arus di karenakan café-café yang berada di Liverpool pada umumnya menyediakan alcohol pada menunya. Apresiasi pada komitmen the Brink café yang tetap pada core valuenya selama 5 tahun.

 

Genoil bersama Carl - the Brink

Sesi ke-3 (7/11) dilanjutkan dengan kunjungan ke First Ark yang berlokasi di Limeville, Liverpool.  Sebuah perusahaan grup yang bergerak dengan mengembangkan nilai sosial di berbagai aspek, mulai dari layanan publik, swasta, hingga menjadi bagian dari pihak ketiga. Basis dari bisnis yang dibangun adalah wilayah yang mampu mendukung perubahaan pada orang lain. FirstArk memiliki beberapa anak perusahaan. FirstArk sendiri sebagai induk perusahaan hanya bertugas untuk untuk membuat strategi bisnis dan korporat secara lebih integratif. FirstArk memiliki KHT (Knowsly Housing Track) uang yang menawarkan sewa hunian berkualitas ditambaha dengan layanan dan lingkungan hunian yang kondusif. FirstArk memiliki Oriel untuk menjual rumah dengan kualitas baik serta juga menawarkan konsep kepemilikan berbagi yang kemudian pemiliknya dapat mencicil. FirstArk memiliki OneArk yang berperan sebagai impact investment untuk memberikan pendanaan bagi social enterprise yang ingin berkembang dengan tetap menonjolkan financial dan social value. FirstArk juga memiiki VivArk yang meyediakan solusi untuk bisnis dan pengembangan properti. First Ark melakukan banyak aktivitas terutama untuk mendanai kegiatannya, salah satunya dengan mengikuti berbagai aktivitas pendanaan.

 

Pelajaran yang kami peroleh, FirstArk adalah salah satu contoh Social Entrepeneur (SE) dengan model enabler, yaitu SE yang memampukan SE lain untuk tumbuh. Di Indonesia, SE model ini belum banyak. Jikapun menjadi Enabler, namun lebih kepada sisi komersial. FirstArk mampu merekrut orang-orang profesional di kelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk bisa bersaing, kita perlu sumber daya manusia berkualitas di kelasnya dan FirstArk mampu mengintegrasikan model bisnisnya dengan baik dengan konsep perusahaan grup. Jika ini mampu direplikasikan, kemungkinan Indonesia juga dapat memberikan dampak yang lebih besar bagi pengembangan SE-nya.

 

Hannah Jones – Investment Manager FirstArk (keempat dari kiri) bersama delegasi Indonesia dan beberapa delegasi Negara Eropa yakni Polandia,Estonia,lituania dan Latvia

Sesi ke-4 (7/11) kami mengunjungi Women Organization (WO) di St James Street, Liverpool. WO didirikan pada tahun 1996 dengan tujuan untuk memberikan layanan berkualitas yang akan mendukung bisnis-bisnis yang dijalankan oleh para wanita. Dasar awalnya adalah karena layanan yang sudah ada tidak mampu mengembangkan dan mendampingi perempuan yang ingin mandiri melalui suatu usaha. Layanan yang diberikan cukup komprehensif mulai dari community engagement, pengembangan persona wanita seperti self-esteem dan self-confidence, layanan kesehatan, hingga dukungan bisnis meliputi advice, training, dan networking. Di gedung yang saat ini dipergunakan, WO juga menawarkan inkubasi, ruang pertemuan, dan tempat konferensi.

Pelajaran yang kami dapatkan, Organisasi seperti WO sangat dibutuhkan untuk mendukung bisnis-bisnis sosial lebih maju. Sama seperti FirstArk, WO sepertinya juga berperan seperti enabler. Dengan fokus kepada wanita, WO dapat lebih meningkatkan layanannya dan mempercepat kinerja yang akan diperoleh oleh binaannya.