BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

”The Dead Internet Theory”: Saat Ruang Siber Tak Lagi Bernyawa

Saat melihat foto-foto indah di Instagram dan kita kemudian tertarik serta mengaguminya, kita mulai tak sadar bahwa beberapa konten itu dibuat oleh teknologi kecerdasan. Teks, suara, dan video sekarang juga sudah bisa dikreasi dengan teknologi kecerdasan buatan. Semua bisa menjadi konten di internet. Layakkah semua konten itu disebut tidak lagi memiliki nyawa? Dari sinilah teori kematian internet atau the dead internet theory muncul.

Daftar penggunaan kecerdasan buatan makin panjang sehingga peran manusia makin berkurang. Kita bisa mencoba fasilitas layanan konsumen yang sudah menggunakan bot sehingga mesin yang menjawab. Beberapa konsultasi dan obrolan berbasis suara juga sudah menggunakan kecerdasan buatan. Sesungguhnya teman bicara kita adalah mesin.
 
Sekitar tahun 2010 fenomena ini sudah dibahas dan disimpulkan, jika demikian, kematian internet mulai terjadi. Laman Forbes menyebutkan, teori kematian internet adalah pandangan yang berkeyakinan bahwa sebagian besar lalu lintas, postingan, dan pengguna internet telah digantikan oleh bot dan konten yang dihasilkan kecerdasan buatan, dan bahwa manusia tidak lagi menentukan arah internet.

Teori ini beredar di platform untuk berbagi gambar 4Chan pada akhir tahun 2010-an, tetapi diperkuat dalam sebuah obrolan pada tahun 2021 setelah unggahan panjang yang menjelaskan teori tersebut dalam sebuah tulisan berjudul ”Dead Internet Theory: Most of the Internet is Fake” (Teori Internet Mati: Sebagian Besar Internet Itu Palsu) di sebuah forum Agora Road's Kafe Macintosh. Awal tahun ini pembahasan teori kematian internet kembali ramai.

Menurut teori kematian internet, konten organik buatan manusia yang mendukung kemunculan laman internet awal pada tahun 1990-an dan 2000-an telah digantikan oleh konten artifisial. Kadang kita tak sadar, konten ini mulai mendominasi dan dikonsumsi secara daring. Oleh karena itu, internet ”mati” karena konten yang kita konsumsi tidak lagi dibuat oleh makhluk hidup alias manusia.

Laman Fast Company mengingatkan berbagai kemungkinan ketika teori kematian internet itu benar-benar terjadi. Internet akan diisi oleh konten-konten yang dikreasi untuk kepentingan tertentu. Peralihan dari konten buatan manusia ke konten buatan sangat mungkin memiliki tujuan. Kalau saja dipelopori oleh pemerintah dan perusahaan, ruang internet digunakan mereka untuk mengeksploitasi kontrol atas persepsi publik.

Kita benar-benar akan berada di rimba konten yang didesain untuk berbagai kepentingan hingga kita dibingungkan dengan narasi-narasi yang ada. Kita bingung mencari kebenaran, kita bingung mencari sejarah yang benar, kita bingung mencari fakta sebuah kejadian yang benar. Semua dikontrol dan dikendalikan oleh mesin yang mudah sekali mendesain konten sehingga kita tak sadar bahwa konten tersebut tidak asli.

Beberapa orang mulai menyebut jenis konten ini sebagai AI slime alias lumpur konten berbasis AI (kecerdasan buatan). Sesuatu yang lebih buruk dari banjir lumpur konten buatan AI, yang mengambil alih unggahan konten di media sosial kita, adalah ketika banyak orang, terutama generasi tua, tampaknya tidak menyadari bahwa gambar atau potongan konten tersebut dibuat oleh kecerdasan buatan. Berdasarkan komentar yang diunggah, banyak yang percaya bahwa gambar tersebut adalah foto asli atau karya seni yang dibuat oleh manusia sungguhan.

Pemengaruh virtual
Kematian peran manusia sebenarnya sudah muncul sejak beberapa waktu lalu ketika pemengaruh (influencer) virtual muncul. Beberapa merek sudah menggantikan peran manusia untuk kepentingan pemasaran. Perusahaan tak lagi butuh pemengaruh yang kadang rewel dan banyak permintaan. Pemengaruh virtual bisa bekerja maksimal dan tak banyak cakap.

Seperti dilansir The Intercept, Tiktok—salah satu gudang terbesar lumpur konten berbasis AI—sedang menjajaki kemungkinan merilis pemengaruh virtual untuk bersaing mendapatkan kesepakatan merek melawan pemengaruh manusia. Alih-alih sebuah merek membayar lima atau enam digit angka kepada pemengaruh untuk mengerek penjualan pakaian atau mobil, platform tersebut malah menawarkan kepada merek opsi untuk menggunakan pemengaruh berbasis kecerdasan buatan miliknya sendiri.

Tentu saja teori kematian internet masih menjadi perdebatan. Ada yang mengaitkan teori ini sebagai teori konspirasi. Menurut teori ini, semua yang ada di internet adalah palsu. Kepalsuan muncul karena dikreasi oleh kekuatan-kekuatan yang ada. Merekalah yang mengendalikan konten sesungguhnya. Meski demikian, tak sedikit yang belakangan mengatakan, keyakinan para pendukung teori konspirasi ini mulai ada benarnya.

Beberapa kalangan juga mengakui bahwa bot dan algoritma telah menghasilkan sebagian besar konten di internet sehingga meminggirkan keterlibatan dan komunikasi manusia yang sebenarnya. Percakapan dengan mudah digantikan oleh mesin.

Menurut teori ini, dalam sebuah tulisan di Yahoo!Tech, kurasi algoritmik telah mendominasi lanskap digital sehingga memaksa aktivitas organik manusia di ruang siber dikesampingkan. Semua ini disebabkan ketergantungan kita terhadap produk-produk kecerdasan buatan.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/04/17/the-dead-internet-theory-saat-ruang-siber-tak-lagi-bernyawa?open_from=Opini_Page