BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

3 sebab satgas pencegahan kekerasan seksual di universitas rentan derita eksploitasi kerja

Pada 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim, mengeluarkan regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Kalangan mahasiswa dan dosen menyambut hal ini dengan animo tinggi.

Bila dibandingkan dengan regulasi serupa terkait tindak pidana kekerasan seksual yang menghabiskan waktu 10 tahun hingga berhasil diundangkan, peraturan menteri ini jauh lebih berhasil dari segi waktu perumusan dan implementasiannya yang ‘hanya’ memakan waktu kurang dari 2 tahun.

Walaupun keberhasilan ini patut diapresiasi, regulasi ini tetap menghadapi masalah dalam proses implementasinya yang terlalu lambat.

Hingga awal tahun 2023, dari 4.475 perguruan tinggi di Indonesia hanya 202 perguruan tinggi, atau kurang dari 5%, yang berhasil memiliki panitia seleksi untuk membentuk satuan tugas Pencegahan dan Penganganan Kekerasan Seksual (satgas PPKS).

Padahal, regulasi tersebut mengatur bahwa seluruh perguruan tinggi di Indonesia harus telah membentuk satgas PPKS pada 3 September 2022, dengan komposisi satgas yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan staf pendukung atau tenaga kependidikan.

Selain lambatnya implementasi peraturan, terdapat permasalahan laten lainnya yaitu kerentanan satgas PPKS terhadap eksploitasi kerja. Dalam hal ini, eksploitasi kerja mengacu pada keberadaan pekerjaan yang dilakukan tanpa adanya kompensasi material yang pasti dari pemberi kerja.

Artikel ini membahas 3 alasan yang menyebabkan kerentanan tersebut.

1. Minim elaborasi hak dan kompensasi

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia nomor 30 tahun 2021 yang mendasari pembentukan satgas PPKS, mengatur otoritas dan tanggung jawab satgas PPKS dengan cukup rinci.

Tanggung jawab ini meliputi; menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, melakukan survei berkala, melakukan sosialisasi, menindaklanjuti laporan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, hingga mengkoordinasi proses pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban.

Peraturan menteri ini kemudian diturunkan ke dalam buku panduan yang secara eksplisit mengatur hak yang dimiliki oleh satgas PPKS. Hak tersebut mencakup pemulihan dari kelelahan emosional dan trauma lanjutan yang diderita satgas, perlindungan dalam aktivitas kerjanya, fasilitas sarana dan prasarana dari perguruan tinggi untuk mendukung aktivitas kerja, serta peningkatan kapasitas kerja sebagai satgas.

Dari penjabaran hak-hak tersebut, terlihat bahwa hak yang dimiliki oleh satgas PPKS terbatas pada perlindungan dari risiko kerja yang ditimbulkan, bukan kompensasi atas kerja yang dilakukan. Misalnya, pemulihan dari kelelahan emosional dan trauma lanjutan merupakan perlindungan yang sudah sepatutnya dimiliki untuk meminimalisir risiko kerja penerimaan laporan dan pendampingan korban. Dalam hal ini, pemberian hak atas keamanan kerja tidak dapat disetarakan dengan kompensasi yang patut diterima atas hasil kerja yang dilakukan.

Selain itu, hak yang diperoleh atas waktu dan energi yang dicurahkan untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai satgas PPKS tidak dielaborasi secara jelas. Buku panduan hanya menjelaskan bahwa satgas berhak atas angka kredit pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat, prestasi kerja, atau penulisan rekam jejak kerja dalam Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI).

Di satu sisi, elaborasi terkait hak yang sangat minim ini dapat menimbulkan interpretasi yang beragam. Di sisi lain, penjabaran hak yang sangat terbatas ini sangat timpang bila dibandingkan dengan penjabaran mekanisme pelaksanaan tugas yang begitu terperinci.

2. Ketiadaan mekanisme penegakan peraturan dan pengawasan

Hingga pertengahan 2023, belum semua perguruan tinggi mematuhi regulasi yang dikeluarkan untuk membentuk satgas PPKS di tahun 2022. Walaupun panduan PPKS telah menjabarkan adanya sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada perguruan tinggi yang tidak melaksanakan regulasi, keterlambatan dalam membentuk satgas ini tetap terjadi karena tidak adanya mekanisme penegakan peraturan yang tegas.

Lemahnya usaha penegakan peraturan ini terlihat dalam kasus penghentian penerimaan laporan oleh satgas PPKS di Universitas Indonesia akibat kelalaian pimpinan universitas dalam menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung kinerja PPKS yang telah berjalan selama lebih dari 6 bulan.

Meski tidak sesuai dengan regulasi yang ada, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas dari kementerian, pengabaian dari pimpinan universitas ini dapat berlangsung cukup lama tanpa terdeteksi.

Dengan ketiadaan mekanisme penegakan peraturan dan pengawasan yang baik, pimpinan perguruan tinggi dapat dengan leluasa mengalihkan seluruh tanggung jawab yang dibebankan oleh kementerian kepada satgas tanpa turut berkontribusi dalam kerja satgas seperti yang terjadi di Universitas Indonesia.

Dari kasus tersebut, respons Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi baru muncul setelah terjadi penghentian laporan.

Hal ini menunjukkan bahwa ketiadaan anggaran operasional untuk satgas PPKS yang berlangsung lebih dari 6 bulan tersebut luput dari pengawasan kementerian. Di samping itu, hal ini juga mengindikasikan adanya pengalihan tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi kepada satgas PPKS tanpa keinginan untuk memberikan dukungan yang serius.

3. Ketiadaan penghargaan yang cukup untuk emotional labor

Emotional labor adalah bentuk aktivitas bekerja yang membutuhkan pengaturan emosi tertentu dan umumnya banyak dilakukan oleh pekerja di industri jasa.

Secara khusus untuk pekerja di perguruan tingi, emotional labor dibutuhkan baik oleh dosen maupun tenaga kependidikan untuk melakukan transfer pengetahuan dengan baik, maupun untuk memberikan pelayanan yang menunjang transfer pengetahuan tersebut.

Sebagai contoh, dosen seringkali dituntut untuk tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan, namun juga menjadi teman diskusi bagi berbagai permasalahan yang dialami mahasiswa, baik personal maupun akademik, serta menjadi penasihat karir untuk mahasiswa yang akan segera menyelesaikan perkuliahan.

Di perguruan tinggi tempat saya bekerja, dosen-dosen baru diberikan pelatihan singkat terkait dasar-dasar konseling untuk mempersiapkan dosen dalam menghadapi sesi konsultasi dengan mahasiswa.

Namun demikian, perguruan tinggi di Indonesia tidak didorong untuk memprioritaskan penggunaan emotional labor dalam aktivitas kerjanya karena kualitas perguruan tinggi diukur dari produk-produk yang memiliki nilai jual nyata seperti kepemilikan dokumen administrasi yang lengkap, jumlah publikasi di tingkat nasional dan internasional, jumlah proyek dan kerjasama yang dihasilkan, serta lulusan yang siap untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja.

Artinya, emotional labor yang dilakukan oleh pekerja kampus seringkali menjadi kerja tambahan yang tidak mendapat kompensasi apapun dari perguruan tinggi dengan dalih bahwa pekerja kampus merupakan pengabdian diri yang dilakukan atas dasar kecintaan terhadap pendidikan.

Hal serupa rentan dialami oleh satgas PPKS yang lingkup kerjanya tidak terbatas pada pekerjaan administratif seperti membuat survei dan laporan, namun juga emotional labor seperti melakukan pendampingan dan perlindungan terhadap korban maupun saksi.

Dengan kata lain, eksploitasi kerja dapat terjadi karena kompensasi atas kinerja satgas PPKS hanya diukur dari pekerjaan administratif yang dihasilkan tanpa mempertimbangkan emotional labor yang dilakukan.


Sumber: https://theconversation.com/3-sebab-satgas-pencegahan-kekerasan-seksual-di-universitas-rentan-derita-eksploitasi-kerja-211446?utm_medium=email&utm_cam...