BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menghidupkan Kembali Padewakang, Sang Legenda Laut

Sebelum kemunculan pinisi, selama hampir 200 tahun, padewakang menguasai perairan Nusantara. Kapal dengan dua layar berbentuk segi empat ini menjadi simbol kejayaan maritim dan ketangguhan pelaut-pelaut Sulawesi pada abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Padewakang juga menjadi simbol akulturasi budaya dan pembauran pelaut Makassar dengan suku Aborigin antara 1600 dan 1700-an.

Sabtu (9/11/2019) pagi, di pesisir pantai di Tanaberu, Bontobahari, Bukukumba, Sulawesi Selatan, ratusan lelaki bergotong royong menarik sebuah kapal padewakang yang baru selesai dibuat. Sebagian menarik haluan menggunakan tali yang terikat, sebagian lainnya mendorong dari bagian buritan. Warga setempat menamai proses ini, anyorong lopi atau mendorong kapal ke laut.

Sorak-sorai dan ucapan syukur seketika terdengar saat kapal menyentuh air. Satu tahapan selesai. Selanjutnya adalah melengkapi kapal dengan layar dan memasang perlengkapan lain. Kapal berukuran panjang 14 meter, lebar 4 meter, dan tinggi lebih 2 meter ini berkapasitas sekitar 40 gros ton.

Motivasi kami membuat ekspedisi ini agar dunia melihat sejarah ini dan merayakannya sebagai sebuah pengetahuan.
Menurut rencana, padewakang yang akan dibawa pelaut Makassar dalam ekspedisi menyusuri jejak pelayaran orang Makassar ke Australia pada era 1600-1700-an. Ekspedisi diprakarsai Abu Hanifa Institute, sebuah yayasan yang berpusat di Darwin, Australia. Ekspedisi ini dinamakan ”Before 1770”.

Jauh sebelum orang Eropa datang ke Australia, orang- orang Makassar telah datang mencari teripang. Di sana mereka juga bergaul dan berbaur, serta bertukar pengetahuan dengan penghuni asli benua Australia, suku Aborigin. Banyak di antara pelaut Bugis itu menikah dengan suku Aborigin.

”Motivasi kami membuat ekspedisi ini agar dunia melihat sejarah ini dan merayakannya sebagai sebuah pengetahuan,” kata Seikh Wasem Charkawi, Ketua Abu Hanifa Institute.

Memulai pelayaran dari Makassar, akhir November mendatang, direncanakan padewakang akan melalui rute dan singgah di beberapa tempat, seperti Selayar, Karompa, Larantuka, Alor, Wetar, Babar, Saumlaki, Darwin, Elcho Island, Yirkala, dan Bawaka. Kapal kemudian akan disimpan di Darwin. Waktu pelayaran diperkirakan sebulan.

 
Rekonstruksi padewakang

Ekspedisi padewakang bukan hanya merekonstruksi kapal yang digunakam pelaut Makassar saat tiba di Australia, sebagaimana bentuk aslinya. Pembuatan hingga pelayaran juga melibatkan pelaut-pelaut suku Bugis, Makassar, Mandar, tiga suku yang memiliki sejarah maritim cukup tua di Sulawesi. Sejumlah pegiat dan pemerhati maritim hingga peneliti turut serta dan terlibat sejak awal.

Horst H Liebner, antropolog maritim yang beberapa kali melakukan dan terlibat dalam ekspedisi maritim, menyebutkan, pemilihan bentuk padewakang yang dibuat mewakili padewakang paling tua. Horst adalah orang yang pertama kali dihubungi pihak Abu Hanifa Institute saat mereka berencana membuat ekspedisi.

”Kami menemukan banyak gambar padewakang dari catatan dan foto di museum termasuk peta pelayaran kuno. Intinya hampir semua memiliki bentuk sama, yakni perahu yang agak gemuk dengan dua layar segi empat. Kalau dulu orang juga menyebut padewakang dengan istilah bondeng atau gemuk berisi,” katanya.

Saat gambar sudah ditemukan, tim lalu membawa kepada pembuat perahu di Tanaberu, Bulukumba. Namun, tak banyak yang menyanggupi bisa membuat perahu ini. Salah satu yang kemudian bersedia adalah H Nasir. Pembuat perahu ini pernah membuat perahu sejenis yang dibawa ke museum di Belgia. Namun, saat itu perahu yang dibuat, bukan untuk berlayar, melainkan dipajang.

”Saya masih ingat saat bapak saya dulu bikin. Ingatan itu yang saya coba perkuat hingga akhirnya kapal bisa dibuat. Cukup sulit juga mencari kayu yang cocok. Butuh berbulan-bulan mencari. Alhamdulillah ketemu dan kapal bisa selesai,” kata Nasir.

Cukup sulit juga mencari kayu yang cocok. Butuh berbulan-bulan mencari.
Di pusat pembuatan perahu di Tanaberu, memang tak ada lagi yang membuat padewakang. Faktanya, kemunculan pinisi—yang layarnya mengadopsi layar kapal Eropa—pada abad ke-19, membuat padewakang akhirnya punah.

Layar padewakang dibuat sesuai bentuk asli dengan menggunakan bahan janur dari jenis tanaman palem yang banyak tumbuh di Kecamatan Campalagian, Polman, Sulawesi Barat. Pelaut-pelaut Mandar yang kemudian membuat layar ini dengan menjahitkan secara manual lembar demi lembar menggunakan bahan yang juga terbuat dari janur.

Tenunan yang menggunakan alat tradisional memang menghasilkan lembaran yang hanya selebar sekitar 70-80 sentimeter. Untuk membuat layar yang lebar, lembaran-lembaran ini harus dijahit.

Beruntung tim menemukan Asad Mana (82), pelaut tua yang masih ingat cara membuat layar berbahan janur. Lelaki tua ini datang ke Tanaberu membawa bahan layar dan menyelesaikan selama berhari-hari.

 

Pencari Teripang

Pelayaran padewakang ke Australia sesungguhnya bukan hanya soal melihat sejarah kejayaan maritim Indonesia pada masa lalu, melainkan juga sejarah pembauran dan akulturasi budaya Makassar-Aborigin.

Catatan yang ditemukan berbagai peneliti di museum di Belanda ataupun catatan tua suku Aborigin menyebutkan, pelaut-pelaut Makassar telah menjejakkan kaki pada 1600- an. Sebagian bahkan menyebut sejumlah pelaut Makassar diperkirakan sudah tiba sebelum 1600-an. Ini berarti lebih dahulu dibandingkan dengan James Cook, penjelajah samudra asal Inggris menginjakkan kaki pertama kali di Australia pada 1770.

Jejak lain kedatangan orang Makassar adalah ratusan kata yang hingga kini digunakan suku-suku Aborigin salah satunya yakni suku Yolngu. Kata rupiah yang berarti uang, prau yang berarti perahu, Balanda (Belanda) untuk menyebut orang berkulit putih, diyakini adalah peninggalan pelaut Makassar. Ada pula pantai Macassan Beach yang diambil dari kata Makassar untuk mengenang orang Makassar yang tiba di sana.

Marshall Clark and Sally K. May, dalam publikasi berjudul Macassan History and Heritage-Journeys, Encounters and Influences, yang diterbitkan Australian National University menyebut pelaut-pelaut Makassar tiba di pantai di Arnhem Land dan Kimberley, Pantai Utara Australia, sebelum orang Eropa bermukim di Austtaka hingga awal abad 20.

Para pelaut menunggu saat angin barat bertiup ke timur dan berlayar menuju Darwin, menapak jejak moyang mereka.
Ridwan Alimuddin, pemilik Perahu Pustaka dan pegiat maritim, menyebutkan, pelaut Makassar biasanya berlayar pada musim barat dan kembali pada musim timur. Saat tiba di Makassar, pelaut menjual teripang kepada orang Tiongkok.

Husain Deang Rangka atau Using Daeng Rangka tercatat sebagai orang Makassar terakhir yang masuk ke Australia, yakni tahun 1907. Ia meninggal pada 1927 di usia 82 tahun. Husain menjadi pelaut Makassar pertama yang memiliki lisensi pencarian teripang yang dikeluarkan pemerintah bagian Australia Selatan.

Kini, kapal usai dibuat dan layar siap dipasangkan. Para pelaut menunggu saat angin barat bertiup ke timur dan berlayar menuju Darwin, menapak jejak moyang mereka. Prosesi menyambut saudara tua dan padewakang, sang legenda laut, telah disiapkan di Darwin.

 

Sumber: https://kompas.id/baca/utama/2019/11/18/menghidupkan-kembali-padewakang-sang-legenda-laut/