BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menyelisik Kisah Pangan yang Tak Ringan di Pulau Timor

Anak-anak di Pulau Timor banyak yang tidak mengenal lagi pangan lokal, lebih sering makan mi instan, nasi, dan biskuit. Kami menyusuri kota-kota di sana untuk memetakan akar masalahnya.


Oleh AHMAD ARIF, Frans Pati Herin

Masalah pangan di Indonesia lebih sering diwartakan dari perspektif ketersediaan pasokan beras hingga naik turun harga komoditas di pasaran. Kami melakukan perjalanan ke pulau-pulau kecil di Nusantara untuk menyelami interseksionalitas pangan dengan masalah kesehatan, budaya, serta tantangan perubahan iklim.

Perjalanan kami mulai dari Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (5/8/2023), sebagai bagian dari upaya memetakan sistem pangan di pulau-pulau kecil. Peliputan ini merupakan rangkaian dari upaya kami sebelumnya dalam meliput masalah pangan di Kalimantan Tengah dan Merauke.

Sebagaimana di kedua daerah itu, perjalanan ke Pulau Timor ini juga didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center. Sebelumnya, di Kalimantan Tengah, kami menemukan telah robohnya lumbung pangan Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah akibat pelarangan praktik berladang tradisional sejak 2015.

Proyek food estate atau lumbung pangan dengan mencetak sawah baru di lahan gambut Kapuas dan Pulang Pisau tidak bisa menggantikan praktik perladangan tradisional. Pemenuhan pangan para petani Dayak Ngaju menjadi terganggu, yang berakibat anak-anak petani putus sekolah dan menikah dini.

Para petani yang tak bisa lagi menanam kemudian menjadi petambang emas secara ilegal di sepanjang Sungai Kahayan, sementara perempuan menjadi buruh di perkebunan sawit. Kualitas pangan merosot dan gizi anak-anak memburuk.

Sementara itu, food estate di Gunung Mas yang dilakukan dengan membuka hutan hanya meninggalkan kehancuran dan singkong-singkong kerdil, gagal panen.

Di Merauke, proyek lumbung pangan sejak 2010 dengan nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang dilanjutkan pada 2018, menjadi sumber masalah lingkungan dan sosial.

Proyek lumbung pangan itu memicu limbung pangan masyarakat lokal Marind Anim.Kasus stunting dan gizi buruk pada anak-anak Marind Anim memburuk seiring dengan dihancurkannya hutan yang menjadi sumber hidup warga oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI).

Kematian anak-anak di perkampungan Marind Anim menjadi banal, sementara yang bertahan hidup harus bekerja leles, membantu orangtua mengumpulkan sisa kayu tebangan untuk dijual ke perusahaan HTI yang menghancurkan hutan mereka.

Uang itu kemudian dibelikan beras, mi instan, minuman berpemanis, rokok, dan aneka pangan industri yang membuat mereka dijerat gastrokolonialisme.

Kemerosotan pangan di pulau-pulau besar itu membuat kami bertanya-tanya, bagaimana dengan masalah pangan di pulau-pulau kecil yang daya dukung lingkungannya lebih rentan? Bagaimana dampak pemenuhan pangan ini terhadap lingkungan?

Laporan lengkap mengenai sistem pangan di kepulauan ini akan kami terbitkan dalam beberapa waktu ke depan. Kali ini, kami akan mengisahkan perjalanan dan perjumpaan selama menyusuri jejak rasa di kepulauan.

 

Transisi pangan
Menggunakan penerbangan dini hari, kami mendarat di Bandara El Tari, Kupang, sekitar pukul 06.00. Segera kami bersiap memulai perjalanan menuju Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Perjalanan sejauh 126 kilometer ini membutuhkan waktu tiga hingga empat jam. Karena itu, kami mencari sarapan dulu. Sebelum berangkat ke NTT, sebenarnya kami sudah bertekad hanya akan mengonsumsi pangan lokal. Namun apa daya, tak mudah mencari warung makan yang menjual menu lokal.

”Tak ada warung yang jual jagung bose atau pangan lokal lain khas daerah kami di Kupang,” kata Beby Liunome, anggota staf Yayasan Tanpa Batas, Kupang, yang menemani perjalanan kami.

Kami pun mampir ke warung nasi kuning yang kesohor di kalangan penduduk lokal. Sepagi itu, orang-orang telah sesak antre memesan nasi kuning dengan aneka lauk, mulai dari ikan, telur, hingga ayam.

Kami memesan nasi kuning setengah porsi saja. Sekalipun demikian, sulit untuk menghabiskannya karena porsi separuh pun masih terlalu banyak untuk perut kami. Porsi nasi di warung-warung makan di NTT memang luar biasa banyak untuk kapasitas perut kebanyakan orang di Jawa.

 

Sekalipun NTT bukan penghasil utama beras, tetapi tingkat konsumsi beras per kapita penduduk di provinsi ini sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik tahun 2022, misalnya, menunjukkan, konsumsi beras per kapita di NTT per bulan mencapai 8,68 kilogram (kg). Angka ini jauh lebih tinggi dari konsumsi beras rata-rata per kapita di Indonesia sebesar 6,7 kg per bulan.

Beras untuk nasi kuning ini bisa dipastikan bukan ditanam di Pulau Timor. Sebagaimana pulau-pulau lain di NTT, sebagian besar beras ini didatangkan dari luar daerah, khususnya dari Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.

Di pelabuhan, kita bisa melihat kapal-kapal ekspedisi yang mengangkut berton-ton beras, mi instan, dan aneka pangan industri lain, bahkan air dalam kemasan yang mesti didatangkan dari luar pulau.

Ketergantungan pangan, khususnya beras dan mi instan, dari luar daerah semakin sering kami dengar selama perjalanan di Pulau Timor. Di sepanjang jalan, kami tidak menjumpai warung makan yang menjual menu pangan lokal. Hanya ada warung Padang dan warung dari Jawa yang menjual menu-menu dari luar daerah ini.


Krisis beras
Pagi itu, kendaraan yang kami tumpangi melaju keluar dari Kota Kupang. Suhu udara saat itu sudah terasa cukup panas, sekitar 30 derajat celsius. Timor yang setiap tahun menjadi langganan kekeringan tahun ini diprediksi mengalami tingkat kekeringan lebih parah dengan datangnya El Nino.

Tanah Timor yang tersusun dari batuan kapur dengan cepat menyerap sisa-sisa air. Jangankan untuk mengairi persawahan, sumber air minum pun terbatas.

Di perkampungan Oesao, sekitar 10 kilometer dari pinggiran Kota Kupang, sudah terlihat tanda-tanda kekeringan itu. Berhektar-hektar sawah yang membentang dari sisi jalan Timor Raya berubah menjadi tempat penggembalaan sapi, ditumbuhi rumput yang mulai mengering. Saluran irigasi di dekatnya kering tanpa air.

Untuk sementara, petani meninggalkan sawah lantaran ketiadaan air. ”Nanti musim hujan baru petani kembali lagi,” ujar Beby.

Sawah Oesao merupakan salah satu sentra produksi beras di NTT yang dicetak pada tahun 1970-an. Pencetakan sawah ini merupakan bagian dari kebijakan penyeragaman pangan harus beras yang telah dirintis Belanda dan kemudian dilanjutkan Orde Baru, serta masih berlanjut hingga saat ini.

Dimulai dari Oesao, cetak sawah kemudian berlanjut ke wilayah lain di Timor, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Malaka.


Secara perlahan, sistem pertanian di lahan kering yang menjadi sumber keberagaman sumber pangan diubah menjadi sawah, dengan komoditas utama berupa beras.

Situasi ini juga mendorong pergeseran pola konsumsi masyarakat dari sebelumnya sangat beragam, dari utamanya jagung dan umbi-umbian, berubah menjadi beras dan beras.

Namun, produktivitas sawah di NTT relatif terbatas karena kondisi alam dan iklim yang kering. Di Timor tidak ada sungai yang mengalir sepanjang tahun, yang debitnya cukup untuk menjamin pengairan. Bendungan yang dibangun pun minim air lantaran kurangnya hari hujan di daerah itu. Di tengah dampak perubahan iklim, kondisi itu kian parah.

Di sisi lain, kehadiran beras sudah telanjur mengubah pola makan sebagian besar masyarakat Timor. Mereka meninggalkan makanan pokok seperti jagung dan umbi-umbian.

Sisi jalan Timor Raya cukup menggambarkan hal itu. Hampir semua tempat jualan, mulai dari warung kecil hingga supermarket, menawarkan beras. Sementara jagung dan umbi-umbian nyaris tidak terlihat.

Ketergantungan pangan pada beras ternyata menjadi dilema. Kondisi alam di NTT yang tidak mendukung untuk memproduksi padi sawah secara optimal membuat provinsi ini defisit beras.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada tahun 2022 hanya sebesar 442.842 ton. Padahal, tingkat konsumsi berasnya mendekati 1 juta ton per tahun.

Situasi ini menyebabkan NTT rentan mengalami guncangan pangan. Pada April-Mei 2023 lalu, misalnya, harga beras melonjak di NTT karena keterbatasan pasokan. Di Kota Kupang, harga beras medium mencapai Rp 14.000 per kg Terjadi kenaikan harga Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kg.

Dibayangi kisah tentang krisis beras yang berulang kali melanda NTT, kami menyusuri sepanjang jalan semakin dalam ke Pulau Timor hingga Atambua, di perbatasan Timor Leste, untuk menyimak suara warga.

Di perjalanan itu, kami banyak mendengar cerita yang terdengar anekdotal tapi nyata, tentang para petani yang menjual jagung dan aneka pangan lokal dengan harga murah untuk dibelikan beras dan mi instan serta biskuit.

Jagung putih yang ditanam para petani secara organik, tanpa pupuk dan pestisida, biasa dijual sekitar Rp 4.000 per kg untuk kemudian dibelikan beras putih seharga Rp 12.000 per kg.

”Anak-anak banyak yang tidak mengenal lagi pangan lokal, lebih sering makan mi instan, beras, dan biskuit,” kata Marlinda Nau atau biasa dipanggil Mama Fun (40) dari komunitas Lakoat Kujawas di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan....

Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/di-balik-berita/2023/08/17/menyusuri-kisah-pangan-di-pulau-timor?open_from=Section_Favorit_Pembaca