BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Perempuan di Antara Dilema Bekerja Kantoran atau Menjadi Ibu Rumah Tangga

Tantangan perempuan, khususnya perempuan urban, bukan lagi sekadar memperjuangakan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Kesempatan perempuan di dunia kerja sudah semakin terbuka. Semakin banyak perusahaan atau industri yang memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berkarya di perusahaan.

Hal itu setidaknya disampaikan oleh Theresia Christianti (31). Pekerja swasta di Jakarta Utara tersebut mengatakan tidak ada perbedaan kesempatan bagi perempuan dan laki-laki dalam berkarier di tempatnya bekerja. Tugas-tugas yang diberikan pun tidak melihat gender.
 
”Asal kerja bagus semua punya kesempatan sama untuk naik jenjang karier,” katanya.

Itu juga yang disampaikan oleh Meiske (36), pekerja swasta di Jakarta Pusat. Selama sekitar lima tahun ia bekerja di tempat kerjanya saat ini, tidak ada perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Dalam pemilihan karyawan pun tidak menjadikan jender sebagai pertimbangan.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan telah meningkat. Pada 2022, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 58,84 persen. Jumlah tersebut meningkat menjadi 60,18 persen pada 2023. Meski begitu, kesenjangan antara angkatan kerja perempuan dan laki-laki masih terjadi. Pada 2023, angkatan kerja laki-laki sebesar 86,97 persen.

Menurut Meiskhe, tantangan sebagai pekerja perempuan saat ini lebih dari itu. Meiskhe yang bekerja untuk penyelenggaraan acara sering kali diharuskan untuk pulang larut malam. ”Sebagai perempuan, pulang malam itu tidak aman. Risikonya lebih besar,” katanya.

Baca juga: Masih Ada Kesenjangan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan dengan Laki-laki

Posisi perempuan di masyarakat masih rentan. Selain itu, perempuan masih terjebak dalam tuntutan ganda. Perempuan yang berkeluarga sering kali dihadapkan dengan dilema tuntutan pekerjaan dan rumah tangga. Sering kali akhirnya perempuan pun harus memilih di antara keduanya.

Yuliana Putri (31), warga Tangerang yang kini menjadi ibu rumah tangga, memilih untuk berhenti dari pekerjaannya untuk lebih fokus dalam mendampingi tumbuh kembang anaknya. Sebagai perempuan pekerja kantoran, yang ketika itu dalam kondisi hamil, bukan hal yang mudah bagi Yuliana.

Apalagi sekitar tiga tahun lalu masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Kantor tempat ia bekerja tidak memberlakukan sistem bekerja dari rumah (WFH) sehingga ia masih harus berangkat dari rumah ke tempat kerjanya yang jaraknya sekitar 23 kilometer. Dalam kondisi pandemi dan hamil besar, bekerja dengan menggunakan angkutan umum tidak aman baginya.

Tidak ada paksaan dari suaminya. Namun, sebagai perempuan sekaligus sebagai ibu, akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. ”Dulu waktu sebelum punya anak tidak terbayang harus ada pertimbangan seperti itu. Dulu sepertinya gampang, kalau punya anak nanti bisa dititipkan dan saya bisa tetap bisa bekerja. Ternyata setelah merasakannya tidak semudah itu,” katanya.

Ketika menjadi ibu, ia pun harus bisa memosisikan kapan harus memikirkan diri sendiri, kapan harus memikirkan perannya ketika menjadi ibu, menjadi istri, juga ketika ada di lingkungan.

”Resign dari kantor memang pengorbanan buat saya. Namun, ini pengorbanan yang menyenangkan karena saya bisa selalu bersama anak saya. Akhirnya saya harus bisa menempatkan diri sesuai dengan kondisi. Kalau tidak mungkin akan stres,” tutur Yuliana.

Dengan tuntutan sebagai ibu tetapi juga masih punya keinginan untuk berkarya, Yuliana pun akhirnya memutuskan untuk bekerja di sektor informal. Dengan bekerja di sektor informal, ia merasa lebih bisa mengatur waktu untuk pekerjaannya juga tuntutan domestik sebagai ibu rumah tangga.

 

Akses kerja
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, UN Woman, dalam laman web-nya menyatakan, kesenjangan jender dalam lapangan kerja dapat diatasi, salah satunya melalui penambahan dana. Setidaknya penambahan dana 360 miliar dollar AS dapat menutup kesenjangan jender tidak hanya di bidang pendidikan tetapi juga penambahan lapangan kerja. Setidaknya 300 juta pekerjaan baru bisa tercipta pada 2035.

Akses perempuan di dunia kerja diharapkan bisa semakin berkembang, sebab saat ini hampir 60 persen pekerjaan perempuan berada di sektor informal. Hal lainnya juga bagaimana menyediakan dukungan bagi perempuan di tempat kerja, seperti dukungan cuti hamil, adanya fasilitas penitipan anak, serta fasilitas menyusui yang layak.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, Minggu (21/4/2024), mengatakan, upaya untuk menutup kesenjangan jender di dunia kerja memang masih menjadi pekerjaan rumah. Mengutip data Global Gender Gap Report 2023, Indonesia menempati posisi ke-87 dari 146 negara dalam upaya menutup kesenjangan jender. Skor yang dimiliki Indonesia 0,697 yang hanya meningkat 0,001 poin dibandingkan tahun 2022.

”Kita masih punya pekerjaan rumah untuk memastikan perempuan memperoleh kesempatan dan mampu berperan secara setara dalam ekonomi,” ucapnya.

Karena itu, berbagai upaya terus didorong oleh Apindo untuk meningkatkan inklusivitas dan pemberdayaan perempuan di dunia kerja. Sejumlah upaya yang dijalankan, antara lain melakukan advokasi untuk mempromosikan pengarusutamaan jender. Advokasi itu dilakukan dengan adanya bentuk pekerjaan nonstandar, seperti pekerja rumah tangga dan pekerjaan dengan sistem jam kerja yang fleksibel.

Panduan kesetaraan dan inklusivitas di tempat kerja juga sudah disusun. Panduan yang disusun bersama Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dapat menjadi panduan untuk mendukung inklusivitas tenaga kerja di sektor swasta.

Selain itu, pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan pelecehan seksual di tempat kerja bagi pengusaha telah diterbitkan. ”Deklarasi tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja juga kami lakukan sebagai bentuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja, sebagai wujud komitmen pelaku usaha Indonesia,” kata Shinta.

Dalam momentum perayaan Hari Kartini, perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan perlu dilihat secara keseluruhan, beserta dengan kompleksitas dan dilema-dilema yang dihadapi. Kesetaraan tidak sekadar mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi bagaimana tujuan bisa didapatkan dengan sama. Itu termasuk dengan memastikan adanya dukungan penuh di dunia kerja sehingga perempuan tidak perlu lagi dihadapkan dengan dilema.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/04/21/perempuan-dilema-ibu-bekerja-atau-ibu-rumah-tangga?open_from=Humaniora_Page