BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Bara di Balik Kemitraan

Bara di Balik Kemitraan
SEBAGAI wilayah pemekaran yang hampir berusia satu dasawarsa, laju pembangunan di Sulawesi Barat terbilang lamban. Indeks pembangunan manusia berada di bawah rata-rata nasional. Laju ekspansi perkebunan sawit dan eksplorasi tambang belum berdampak signifikan, bahkan mulai memperlihatkan dampak buruknya.
Kerawanan konflik antarmasyarakat dan perampasan hak masyarakat sebagai ekses masuknya investasi besar-besaran menjadi masalah mengemuka. Situasi diperparah ketidakmampuan DPRD mengontrol kebijakan pemerintah yang pro investasi. Sebagai daerah pemekaran baru, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat tentu membutuhkan investasi besar supaya bisa mendongkrak pendapatan daerah.
Investasi kelapa sawit ekspansif karena komoditas internasional. Para investor sawit membutuhkan lahan sangat luas untuk memproduksi sawit. Pemprov Sulbar menawarkan kebutuhan tersebut.
Tanah di ”Bumi Manakarra” ini juga menyimpan kandungan kekayaan alam yang mulai dilirik para investor tambang. Bahan tambang yang mulai dieksplorasi adalah mangan. Meskipun belum dilakukan secara masif, upaya untuk memperluas lahan tambang ini terus dilakukan dengan mengekspansi lahan-lahan produktif milik warga.
Anggota DPRD Provinsi Sulbar, Kalvin P Kalambo, mendukung langkah pemprov mempromosikan potensi sumber daya alam melalui kebijakan-kebijakan yang pro investasi. Namun, menurut Kalvin, ada beberapa aspek yang diabaikan pemprov, terutama terkait kewajiban pemerintah melindungi hak-hak rakyat atas lahan yang telah mereka garap. Selain itu, pembuatan izin tanpa melalui seleksi ketat juga berpotensi menimbulkan pelanggaran di lapangan.
Kondisi inilah yang memicu kemunculan kasus-kasus manipulasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap warga di kawasan yang menjadi lahan perkebunan dan pertambangan. Di Kecamatan Bonehau, misalnya, warga mulai resah dengan isu masuknya perusahaan sawit dan tambang. Warga dipaksa menjual tanah berdasarkan harga yang ditentukan perusahaan.
Modus lain adalah pola ”kemitraan 70:30” dan ”kemitraan 60:40”. Cara-cara ini ternyata menanamkan benih-benih perselisihan di masyarakat.
Menurut Sarif, salah satu pegiat lingkungan hidup di Sulbar, pola-pola kemitraan itu merupakan strategi perusahaan untuk menghindari konflik secara frontal dengan masyarakat. Informasi tentang pola kemitraan pun tidak pernah disosialisasikan secara jelas dan tuntas.
”Masyarakat banyak yang tidak mengerti sehingga langsung menyerahkan lahan mereka karena telanjur percaya dengan perusahaan,” ungkap Sarif.
DPRD sebagai lembaga wakil rakyat juga tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi ini. Kalvin P Kalambo membenarkan hal tersebut.
”Itu harus diakui sebagai kegagalan kolektif kita sebagai anggota DPR ataupun provinsi atau kabupaten sama saja. Karena untuk saya, tidak akan separah ini situasinya kalau anggota DPRD berfungsi dengan baik,” ujar anggota DPRD dari Partai Damai Sejahtera ini.
Kesejahteraan yang diharapkan sebagai buah dari investasi ternyata hanya harapan. Derap pembangunan yang menggeliat di Sulbar hanya menghasilkan kantong-kantong ekonomi secara sporadis di daerah perkotaan.
Muhaimin Faisal, aktivis Dewan Rakyat Sulawesi Barat mengungkapkan, kantong-kantong ekonomi yang ada di Sulbar tidak memiliki kekuatan untuk menggerakkan sektor ekonomi yang lain di sekitarnya karena lebih banyak bersifat konsumtif.
”Di balik gemerlap kehidupan perkotaan tersimpan kantong-kantong kemiskinan,” kata Muhaimin Faisal.
Kontestasi politik
Provinsi Sulbar baru mengikuti pemilu sebagai daerah otonom pada tahun 2009. Sebelumnya, Sulbar masih menginduk pada Sulawesi Selatan. Meski berpisah, karakter politik kedua daerah ini terbilang sama dari segi penguasaan suara. Golkar sebagai kekuatan politik utama di Sulsel juga terwarisi di Sulbar.
Pemilu 2009 merupakan batu ujian bagi Golkar sebagai pemenang dua pemilu sebelumnya. Kehadiran Partai Demokrat yang membawa popularitas SBY ternyata mampu menggoyahkan loyalitas para pemilihnya di beberapa kabupaten.
Meski tergerus Demokrat, kekuatan Golkar ternyata ampuh di ajang pemilihan gubernur. Anwar Adnan Saleh bisa menempati posisi gubernur dua periode berkat kekuatan Golkar. Meskipun pada Pilgub 2011 Anwar menghadapi koalisi elite dan partai untuk menggempur kekuasaannya, posisinya tetap tak terkalahkan.
Tantangan ke depan bagi Golkar adalah menyinergikan kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk menjamin hak-hak warga atas tanah dan lebih efisien mengelola anggaran. Tidak hanya menggelorakan investasi, tetapi juga menepikan rakyat dari pijakan hidupnya. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)

SEBAGAI wilayah pemekaran yang hampir berusia satu dasawarsa, laju pembangunan di Sulawesi Barat terbilang lamban. Indeks pembangunan manusia berada di bawah rata-rata nasional. Laju ekspansi perkebunan sawit dan eksplorasi tambang belum berdampak signifikan, bahkan mulai memperlihatkan dampak buruknya.Kerawanan konflik antarmasyarakat dan perampasan hak masyarakat sebagai ekses masuknya investasi besar-besaran menjadi masalah mengemuka. Situasi diperparah ketidakmampuan DPRD mengontrol kebijakan pemerintah yang pro investasi. Sebagai daerah pemekaran baru, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat tentu membutuhkan investasi besar supaya bisa mendongkrak pendapatan daerah.
Investasi kelapa sawit ekspansif karena komoditas internasional. Para investor sawit membutuhkan lahan sangat luas untuk memproduksi sawit. Pemprov Sulbar menawarkan kebutuhan tersebut.

Tanah di ”Bumi Manakarra” ini juga menyimpan kandungan kekayaan alam yang mulai dilirik para investor tambang. Bahan tambang yang mulai dieksplorasi adalah mangan. Meskipun belum dilakukan secara masif, upaya untuk memperluas lahan tambang ini terus dilakukan dengan mengekspansi lahan-lahan produktif milik warga.

Anggota DPRD Provinsi Sulbar, Kalvin P Kalambo, mendukung langkah pemprov mempromosikan potensi sumber daya alam melalui kebijakan-kebijakan yang pro investasi. Namun, menurut Kalvin, ada beberapa aspek yang diabaikan pemprov, terutama terkait kewajiban pemerintah melindungi hak-hak rakyat atas lahan yang telah mereka garap. Selain itu, pembuatan izin tanpa melalui seleksi ketat juga berpotensi menimbulkan pelanggaran di lapangan.

Kondisi inilah yang memicu kemunculan kasus-kasus manipulasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap warga di kawasan yang menjadi lahan perkebunan dan pertambangan. Di Kecamatan Bonehau, misalnya, warga mulai resah dengan isu masuknya perusahaan sawit dan tambang. Warga dipaksa menjual tanah berdasarkan harga yang ditentukan perusahaan.
Modus lain adalah pola ”kemitraan 70:30” dan ”kemitraan 60:40”. Cara-cara ini ternyata menanamkan benih-benih perselisihan di masyarakat.

Menurut Sarif, salah satu pegiat lingkungan hidup di Sulbar, pola-pola kemitraan itu merupakan strategi perusahaan untuk menghindari konflik secara frontal dengan masyarakat. Informasi tentang pola kemitraan pun tidak pernah disosialisasikan secara jelas dan tuntas.

”Masyarakat banyak yang tidak mengerti sehingga langsung menyerahkan lahan mereka karena telanjur percaya dengan perusahaan,” ungkap Sarif.

DPRD sebagai lembaga wakil rakyat juga tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi ini. Kalvin P Kalambo membenarkan hal tersebut.

”Itu harus diakui sebagai kegagalan kolektif kita sebagai anggota DPR ataupun provinsi atau kabupaten sama saja. Karena untuk saya, tidak akan separah ini situasinya kalau anggota DPRD berfungsi dengan baik,” ujar anggota DPRD dari Partai Damai Sejahtera ini.

Kesejahteraan yang diharapkan sebagai buah dari investasi ternyata hanya harapan. Derap pembangunan yang menggeliat di Sulbar hanya menghasilkan kantong-kantong ekonomi secara sporadis di daerah perkotaan.

Muhaimin Faisal, aktivis Dewan Rakyat Sulawesi Barat mengungkapkan, kantong-kantong ekonomi yang ada di Sulbar tidak memiliki kekuatan untuk menggerakkan sektor ekonomi yang lain di sekitarnya karena lebih banyak bersifat konsumtif.
”Di balik gemerlap kehidupan perkotaan tersimpan kantong-kantong kemiskinan,” kata Muhaimin Faisal.

Kontestasi politikProvinsi Sulbar baru mengikuti pemilu sebagai daerah otonom pada tahun 2009. Sebelumnya, Sulbar masih menginduk pada Sulawesi Selatan. Meski berpisah, karakter politik kedua daerah ini terbilang sama dari segi penguasaan suara. Golkar sebagai kekuatan politik utama di Sulsel juga terwarisi di Sulbar.

Pemilu 2009 merupakan batu ujian bagi Golkar sebagai pemenang dua pemilu sebelumnya. Kehadiran Partai Demokrat yang membawa popularitas SBY ternyata mampu menggoyahkan loyalitas para pemilihnya di beberapa kabupaten.
Meski tergerus Demokrat, kekuatan Golkar ternyata ampuh di ajang pemilihan gubernur. Anwar Adnan Saleh bisa menempati posisi gubernur dua periode berkat kekuatan Golkar. Meskipun pada Pilgub 2011 Anwar menghadapi koalisi elite dan partai untuk menggempur kekuasaannya, posisinya tetap tak terkalahkan.

Tantangan ke depan bagi Golkar adalah menyinergikan kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk menjamin hak-hak warga atas tanah dan lebih efisien mengelola anggaran. Tidak hanya menggelorakan investasi, tetapi juga menepikan rakyat dari pijakan hidupnya. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005146558