Beberapa daerah mulai peduli menyusun aturan buat melindungi lingkungan, seperti menyatakan diri sebagai provinsi konservasi, maupun provinsi hijau. Setidaknya, ada tiga provinsi mendeklarasikan diri ingin menjadi ‘hijau’ yakni, Papua Barat, Kalimantan Timur dan Gorontalo. Bagaimana komitmen ini terus berjalan dengan kepala daerah terus berganti terlebih belum ada memiliki payung hukum.
”Ini baru inisiatif, kita memberikan apresiasi. Itu komitmen provinsi,” kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, belum lama ini.
Penetapan provinsi konservasi belum memiliki aturan khusus baru dasar usulan daerah kepada pemerintah pusat. Biasanya, wilayah ini dikelilingi hutan konservasi dan hutan lindung.
Kriteria keduanya, menjadi sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitar dalam mengkonservasi sumber keragamanhayati dan pemanfaatan lestari.
Adapun, zona pemanfaatan ini menonjolkan sistem jasa lingkungan dengan membuka akses legal bagi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan non kayu, seperti jasa pariwisata.
”Ini potensi pemanfaatan hutan dari provinsi makin besar,” ucap Bambang.
Langkah ini, katanya, mampu membantu pemerintah pusat dalam menjaga dan melestarikan hutan di masing-masing wilayah. Dia berharap, daerah lain mengikuti langkah ini.
Gorontalo
Pada 5 Desember 2016, Gorontalo baru mendapatkan penghargaan sebagai Provinsi Konservasi oleh Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Gorontalo menjadi provinsi yang mempertegas langkah dalam konservasi alam.
Beberapa masalah lingkungan sudah mulai terjadi seperti ekosistem pesisir rusak, wilayah darat berkurang, persawahan menipis, banjir dan lain-lain, tetapi KLHK mengapresiasi, provinsi ini punya komitmen memperbaiki.
”Kalau memang sebelumnya sudah rusak, komitmen ini langkah memperbaiki. Ini proses,” ucap Bambang.
Gorontalo dikelilingi wilayah konservasi seperti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohatu, Cagar Alam Panua dan Cagar Alam Tanjung Panjang. Ada Cagar Alam Mas Popaya Raja dan Cagar Alam Tangale.
Siti mengatakan, konservasi dan pembangunan bisa berdampingan. Melalui pendekatan konservasi, pemerintah akan mendorong sektor pariwisata, energi dan pelestarian budaya dengan memakai pendekatan bentang alam.
”Manusia bagian penting dalam proses pembentukan bentang alam,” katanya.
Papua Barat
Papua Barat, sejak 19 Oktober 2015, telah mendeklarasikan sebagai Provinsi Konservasi. Penetapan itu saat Gubernur Abraham O Atururi, disaksikan Menteri Dalam Negeri, para nupati dan walikota.
Kekayaan alam provinsi di provinsi kepala burung ini memang melimpah. ”Papua sebagai deposit, pengelolaan butuh kehati-hatian,” kata Jacob Manusawai, Rektor Universitas Negeri Papua (Unipa) Manokwari, belum lama ini di Jakarta.
Wilayah darat, Papua Barat dihuni 871.000 jiwa dan 8,6 juta hektar hutan. Hampir 70% hutan mangrove di Indonesia mampu menyimpan karbon.
Tak hanya menjaga kelestarian alam, penetapan Provinsi Konservasi ini turut menjaga tradisi budaya setempat. ”Bagi kami tanah adalah ibu, laut adalah bapak,” kata Nataniel D Mandacan, Sekretaris Daerah Papua Barat.
Mereka berharap ada dukungan insentif dari masyarakat global dalam pengelolaan hutan dan wilayah.
”Masyarakat lokal mendapat kesejahteraan dari pengelolaan hutan yang baik, kita menjaga hingga kepentingan masa depan.”
Dalam perwujudan komitmen ini, pemerintah daerah sedang membuat peraturan daerah khusus, yang menjadi roadmap dalam mengedepankan pengelolaan berkelanjutan.
Kekayaan alam Papua Barat, 35% hutan primer utuh, memiliki 0,6% karbon hutan tropis dunia. Kawasan ini, memiliki 1.750 spesies ikan karang, 60% tanaman endemik di seluruh dunia, dan 600 karang keras merupakan 75% spesies dunia.
“Pemanfaatan sumber daya alam tak hanya mengejar ekonomi dan mengorbankan segalanya,” ucap Nataniel.
Kaltim
Pada 26 September 2016, Siti Nurbaya mendeklarasikan kesepakatan pembangunan hijau (Green Growth Compact/ GGC) untuk Kalimantan Timur Hijau di Jakarta. Sebelumnya, Kaltim mendeklarasikan provinsi GGC 29 Mei 2016.
Dia bilang, ada tiga hal penting berkaitan dengan GGC ini. Pertama, berkaitan konteks, kedua, konten, ketiga, keselarasan dengan kebijakan pemerintah (KLHK).
“Best practice yang sudah dilakukan Kaltim dapat memberikan kontribusi baik bagi daerah-daerah lain dalam konteks pembangunan hijau,” katanya.
Ide GGC dibahas Gubernur Awang Farouk bersama Gubernur Brasil dan Yucatan, Meksiko dalam forum The Nature Conservancy pada COP 21 di Paris, Prancis.
Pemerintah Kaltim menargetkan penurunan deforestasi 80% pada 2020 tertuang dalam dokumen rencana aksi nyata, seperti strategi pembangunan rendah emisi karbon, deklarasi Kaltim hijau dan rencana aksi daerah gerakan rumah kaca (RAD GRK). Kaltim juga memiliki Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI), satu-satunya di Indonesia.
Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, deklarasi Kaltim ini bak mimpi di siang bolong karena terlalu banyak mengobral komitmen padahal kenyataan kebalikan.
“Mana mungkin komitmen itu dipenuhi,” katanya.
Sampai sekarang, ada 1.271 izin tambang dan 33 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) seluas 7,2 juta hektar dari 12,7 juta atau 65% lahan Kaltim buat tambang. “Sudah jelas pembangunan rendah karbon itu cum bunyi-bunyian, kenyataan tidak.”
Kalau memang mau serius hijau, Merah mengusulkan beberapa langkah. Pertama, mulai mencabut semua izin tambang di kawasan penting seperti karst, gambut dan daerah aliran sungai Mahakam. Kedua, mencabut izin tambang di kawasan konservasi dan padat penduduk, kedua, mereduksi radikal produksi batubara sampai 50%.
Keempat, moratorium izin pertambangan batubara hingga prasyarat keselamat rakyat dan keberlangsungan alam terpenuhi. Kelima, susun program dan skenario meninggalkan ekonomi dan energi batubara total pada 2020.
Rambu-rambu pemerintah pusat
Siti mengatakan, KLHK akan menyusun bersama rambu-rambu dan strategi konservasi yang menjadi komitmen daerah.
Sigit Pudjianto, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri meminta semua pihak, baik masyarakat, Majelis Rakyat Papua maupun DPR Papua Barat mengawal provinsi konservasi sebagai peraturan daerah khusus.
Penetapan provinsi konservasi ini tercantum dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 juncto UU Nomor 35/2008 yang memberikan otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat.
Sigit meyakinkan, daerah tak perlu khawatir APBD mengecil karena tak ada pendapatan dari mengekstraksi sumber alam, dan mengedepankan pada konservasi. ”Di negara kesatuan, duit dibagi kepada daerah-daerah. Apalagi provinsi konservasi menyumbang untuk Indonesia,” katanya.
Nataniel mengatakan, pengelolaan pariwisata di Raja Ampat membuktikan, kekayaan alam bisa dimanfaatkan tanpa eksploitasi berlebih.
- Log in to post comments
- 244 reads