Desa saat ini merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat. Desa memiliki sumber daya yang dapat memberikan kebermanfaatan bagi peningkatan ekonomi masyarakatnya. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi di desa, salah satunya yaitu dengan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa.
BUMDes bertujuan untuk meningkatkan perekonomian desa dan meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa. Selain itu, BUMDes juga bertujuan untuk mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga, menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga, membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa, dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.
Sayangnya, terdapat beberapa permasalahan yang diidentifikasi selama berjalannya BUMDes seperti manajemen pengelolaan produk, permodalan, SDM yang kurang terampil, pemasaran, pemenuhan standar kesehatan dan produk halal, akuntansi dan perpajakan, serta investasi. Selain itu, BUMDes juga butuh keunggulan kompetitif atau dalam hal ini BUMDes harus unggul dibanding kompetitor melalui karakteristik serta sumber daya yang dikelolanya. Hal ini perlu dilakukan oleh BUMDes dalam rangka mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan mandiri. Oleh karena itu, BUMDes perlu mengembangkan suatu strategi yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat desa yang sejahtera dan mandiri. Namun, pentingnya pengelolaan BUMDes di daerah kadang belum disadari oleh BUMDes atau bahkan oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Salah satu upaya pemerintah daerah dalam mengelola, mengatur dan membuat strategi pengembangan BUMDes yang berdaya saing adalah dengan membuat strategi pengembangan model tetrapreneur. Tetrapreneur merupakan sebuah teori dalam melakukan pengembangan dan peningkatan usaha dengan menggunakan pendekatan-pendekatan melalui 4 (empat) faktor dasar yang terdiri dari Chainpreneur, Marketpreneur, Qualitypreneur, dan Brandpreneur.
Chainpreneur atau yang disebut dengan Rantai Wirausaha merupakan suatu pendekatan untuk menggambarkan bagaimana kondisi suatu kewirausahaan dengan menggunakan filosofi rantai pasokan atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah Supply Chain. Supply Chain sendiri merupakan suatu filosofi yang menjelaskan tentang siapa saja pihak yang terlibat dalam pemenuhan permintaan konsumen, baik itu secara langsung maupun tidak langsung (Fatimah, 2018). Tujuannya adalah di setiap Supply Chain yang ada harus mampu dimaksimalkan nilai keseluruhan yang akan dihasilkan nantinya, nilai itulah yang nantinya dikenal sebagai surplus supply chain. (Cavinato, 2002 dalam Rahmatika, 2020).
Marketpreneur atau Pasar Wirausaha merupakan sebuah sudut pandang yang inovatif untuk mengenali serta mengindentifikasi kebutuhan para pengusaha di setiap tahapannya untuk memenuhi keinginan, kebutuhan dan harapan dari para konsumen. Konsumen tidak terbatas hanya bagi mereka yang berinteraksi langsung atau membeli barang atau jasa. Untuk mencapai dan mempertahankan profitabilitas, bisnis telah menemukan bahwa mereka harus menghasilkan produk yang berkualitas, beroperasi secara efisien, dan bertanggung jawab sosial dan etis dalam berurusan dengan konsumen, karyawan, investor, regulator pemerintah, dan masyarakat (Ferrel dkk, 2014 dalam Rahmatika, 2020).
Qualitypreneur atau Kualitas Wirausaha yang dikembangkan oleh Sower pada tahun 2011. Qualitypreneur merupakan sebuah rekomendasi bagaimana seorang pengusaha mampu menghasilkan usaha yang berkualitas sehingga dapat bertahan dengan segala keadaan. Biasanya ukuran untuk menilai tingkat kualitas sebuah usaha dilihat dari karakteristik dan inovasi yang dimiliki wirausaha dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Brandpreneur atau Merek Usaha merupakan pendekatan berkaitan dengan nilai merek suatu produk yang ada di pasar ekonomi. Benchmarking adalah salah satu teknik wirausaha global yang terkenal untuk mendorong pertumbuhan usaha melalui pendekatan nilai merek sehingga dengan brand/merek yang dimiliki produk yang dihasilkan, wirausaha dapat berkompetisi dengan produk yang lain dipasar ekonomi secara khas dan mampu mendapatkan posisi yang strategis di pasar dan mempertahankan siklus hidupnya (Keller dkk, 1992 dalam Rahmatika 2020). Model tetrapreneur menjadi strategi jitu dalam pengembangan BUMDes ke depan. (DZL)
Sumber :
Arman, A., Marsuki., & Sulkipi. (2018). Model Pengembangan Bumdes Melalui Kemitraan Perguruan Tinggi dan Perbankan. Proceeding of Community Development. Vol. 2, 520-526.
Fatimah, P. R. (2018). Mengembangkan Kualitas Usaha Milik Desa (Q-BUMDES)untuk Melestarikan Ketahanan Ekonomi Masyarakat dan Kesejahteraan Adaptif: Perancangan Sistem Kewirausahaan Desa dengan Menggunakan Model Tetrapreneur. Jurnal Studi Pemuda, 7 (2), 122-132.
Rahmatika, D. N., Subroto, S., Indriasih, D., & Prihadi, D. (2020). Strategi Pengembangan Kualitas Bumdes; Pendekatan Model Tetrapreneur Serta Kemitraan Dengan Perguruan Tinggi Dan Perbankan. Jurnal Industri reatif dan Kewirausahaan, 2(2).
Artikel ini bersumber dari: https://www.masterplandesa.com/bumdes/strategi-pengembangan-bumdes-model-tetrapreneur/
- Log in to post comments