BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Industri ProlingkunganRegulasi Limbah B3 Harus Libatkan Pemangku Kepentingan

Industri Prolingkungan
Regulasi Limbah B3 Harus Libatkan Pemangku Kepentingan
JAKARTA, KOMPAS — Harmonisasi rancangan peraturan pemerintah terkait pengelolaan limbah serta bahan berbahaya dan beracun harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Ini agar regulasi tersebut dapat mengakomodasi kepentingan lingkungan hidup dan industri.
”Jangan sampai kepentingan lingkungan hidup jalan sendiri. Kami sudah menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Kami mengharapkan suara semua pemangku kepentingan didengar,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Shinta Widjaja Kamdani di Jakarta, Selasa (28/1).
Shinta ditemui seusai berkonsultasi dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat terkait persiapan finalisasi rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3), limbah B3, dan dumping limbah B3. Sebelumnya, masukan terkait RPP itu juga disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup.
RPP pengelolaan B3, limbah B3, dan dumping limbah B3 yang sudah tertunda lama dinilai punya arti penting sehingga harus melibatkan semua pemangku kepentingan. ”Itu perhatian kita, yaitu agar saat harmonisasi, semua pemangku kepentingan dilibatkan,” katanya.
Terkait penyiapan regulasi soal pengelolaan limbah dan B3 tersebut, Shinta berpendapat, Indonesia perlu belajar dari luar negeri yang juga sudah menerapkan peraturan sejenis.
”Kita jangan terisolasi dengan kondisi di dalam negeri. Kita bisa belajar, misalnya teknologi yang bisa kita masukkan dan kembangkan di dalam negeri,” kata Shinta.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang merupakan pemain global juga memiliki pengalaman di tempat lain. ”Perlu ada standar. Semua pemangku kepentingan, mulai dari kementerian masing-masing hingga dunia usaha, perlu duduk bersama untuk melakukan harmonisasi,” kata Shinta.
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Arryanto Sagala mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti pembicaraan soal RPP tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup.
”Kami akan segera mengirimkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengoordinasikan hal tersebut,” kata Arryanto.
Perlakuan berbeda
Terkait dengan regulasi soal limbah, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto pekan lalu mengatakan, pihaknya berupaya agar ada perlakuan berbeda terhadap beberapa barang yang menjadi bahan baku industri.
”Dulu kertas bekas, misalnya, dikategorikan sebagai limbah non-B3,” kata Panggah. Padahal, kertas bekas itu dimanfaatkan sebagai bahan baku sektor industri pulp dan kertas.
Panggah menilai perlakuan semacam itu menyulitkan dunia bisnis, apalagi kalau regulasi yang ada tidak mengaturnya secara menyeluruh sehingga pihaknya berupaya agar kertas bekas, besi tua, dan plastik bekas dimasukkan dalam kategori bahan baku.
”Dengan demikian, nanti regulasi terkait kertas bekas, scrab (besi tua) logam, dan scrab plastik disesuaikan regulasi kategori bahan baku,” ujar Panggah.
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda mengatakan, dukungan terhadap regulasi ulang soal limbah yang menjadi bahan baku itu diyakini akan mendorong pengembangan industri.
”Pertanyaan menariknya adalah kapan (regulasi seperti itu keluar)? Kami menunggunya. Kalau itu jadi, saya yakin ekspor pulp dan kertas Indonesia akan makin positif karena ruang untuk pengembangannya lebih luas,” kata Misbahul.
Dari data APKI, Indonesia tahun 2012 mengekspor pulp 3,2 juta ton dan kertas 4,2 juta ton. Periode Januari sampai Oktober 2013, ekspor pulp tercatat 3,1 juta ton dan ekspor kertas 3,5 juta ton.
Berdasarkan data Kemenperin, nilai ekspor pulp dan kertas periode Januari-Oktober 2012 4,624 miliar dollar AS dan naik 0,78 persen menjadi 4,660 miliar dollar AS pada periode sama tahun 2013.
Pada periode yang sama impor pulp dan kertas naik 7,38 persen, dari 2,555 miliar dollar AS menjadi 2,743 miliar dollar AS. (CAS)

JAKARTA, KOMPAS — Harmonisasi rancangan peraturan pemerintah terkait pengelolaan limbah serta bahan berbahaya dan beracun harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Ini agar regulasi tersebut dapat mengakomodasi kepentingan lingkungan hidup dan industri.”Jangan sampai kepentingan lingkungan hidup jalan sendiri. Kami sudah menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Kami mengharapkan suara semua pemangku kepentingan didengar,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Shinta Widjaja Kamdani di Jakarta, Selasa (28/1).

Shinta ditemui seusai berkonsultasi dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat terkait persiapan finalisasi rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3), limbah B3, dan dumping limbah B3. Sebelumnya, masukan terkait RPP itu juga disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup.

RPP pengelolaan B3, limbah B3, dan dumping limbah B3 yang sudah tertunda lama dinilai punya arti penting sehingga harus melibatkan semua pemangku kepentingan. ”Itu perhatian kita, yaitu agar saat harmonisasi, semua pemangku kepentingan dilibatkan,” katanya.
Terkait penyiapan regulasi soal pengelolaan limbah dan B3 tersebut, Shinta berpendapat, Indonesia perlu belajar dari luar negeri yang juga sudah menerapkan peraturan sejenis.

”Kita jangan terisolasi dengan kondisi di dalam negeri. Kita bisa belajar, misalnya teknologi yang bisa kita masukkan dan kembangkan di dalam negeri,” kata Shinta.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang merupakan pemain global juga memiliki pengalaman di tempat lain. ”Perlu ada standar. Semua pemangku kepentingan, mulai dari kementerian masing-masing hingga dunia usaha, perlu duduk bersama untuk melakukan harmonisasi,” kata Shinta.

Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Arryanto Sagala mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti pembicaraan soal RPP tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup.

”Kami akan segera mengirimkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengoordinasikan hal tersebut,” kata Arryanto.
Perlakuan berbedaTerkait dengan regulasi soal limbah, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto pekan lalu mengatakan, pihaknya berupaya agar ada perlakuan berbeda terhadap beberapa barang yang menjadi bahan baku industri.

”Dulu kertas bekas, misalnya, dikategorikan sebagai limbah non-B3,” kata Panggah. Padahal, kertas bekas itu dimanfaatkan sebagai bahan baku sektor industri pulp dan kertas.

Panggah menilai perlakuan semacam itu menyulitkan dunia bisnis, apalagi kalau regulasi yang ada tidak mengaturnya secara menyeluruh sehingga pihaknya berupaya agar kertas bekas, besi tua, dan plastik bekas dimasukkan dalam kategori bahan baku.
”Dengan demikian, nanti regulasi terkait kertas bekas, scrab (besi tua) logam, dan scrab plastik disesuaikan regulasi kategori bahan baku,” ujar Panggah.

Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda mengatakan, dukungan terhadap regulasi ulang soal limbah yang menjadi bahan baku itu diyakini akan mendorong pengembangan industri.

”Pertanyaan menariknya adalah kapan (regulasi seperti itu keluar)? Kami menunggunya. Kalau itu jadi, saya yakin ekspor pulp dan kertas Indonesia akan makin positif karena ruang untuk pengembangannya lebih luas,” kata Misbahul.

Dari data APKI, Indonesia tahun 2012 mengekspor pulp 3,2 juta ton dan kertas 4,2 juta ton. Periode Januari sampai Oktober 2013, ekspor pulp tercatat 3,1 juta ton dan ekspor kertas 3,5 juta ton.

Berdasarkan data Kemenperin, nilai ekspor pulp dan kertas periode Januari-Oktober 2012 4,624 miliar dollar AS dan naik 0,78 persen menjadi 4,660 miliar dollar AS pada periode sama tahun 2013.

Pada periode yang sama impor pulp dan kertas naik 7,38 persen, dari 2,555 miliar dollar AS menjadi 2,743 miliar dollar AS. (CAS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004443434