BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Membebaskan Desa dari Ketertinggalan dan Kemiskinian, Perspektif Pengembangan Wilayah

Oleh: Said Mala

Prolog

Ketergantungan yang tinggi terhadap aktivitas (sektor) pertanian, kuatnya kekerabatan dan kerjasama diantara anggotanya, keterisolasian lokasi, serta sebagai penyedia tenaga kerja berupah murah ataupun sebagai sumber kelas pekerja di sektor informal, merupakan deretan atribut dan defenisi umum yang disematkan kepada sebuah wilayah yang disebut desa. Setangkup dengan atribut dan definisi umum tersebut, desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang bertugas melayani warganya dengan kapasitas pemerintahan yang terbatas. Tak mengherankan, realitas ini memotivasi beberapa aktor pembangunan (dengan segala motif dan orientasinya) sering menyeru akan pentingnya digalakkan pembangunan di desa, terutama dengan melancarkan program/proyek (KUR, INHUTANI, PIR, UMKM) yang sering dikaitkan dengan label kemiskinan dan ketertinggalan.

Apresiasi umum, stereotip dan program yang dijalankan berbagai pihak tersebut, seakan membenarkan (justfikasi) pemaknaan tunggal terhadap ciri, karakteristik dan dinamika wilayah pedesaan dari kacamata (perspektif) orang yang berada di luar wilayah pedesaan (out groups) dan relatif tidak memahami persoalan sosial ekonomi di pedesaan. Implikasi yang segera muncul adalah, desa dianggap sebagai wilayah dengan tingkat ketertinggalan dan kemiskinan yang massiv. Padahal, boleh jadi anggapan orang desa sendiri (in groups) relatif berbeda dengan common sense, penyeragaman makna umum tersebut. Mereka, masyarakat pedesaan memiliki orientasi hidup, standar nilai dan sistem nilai yang mereka yakini—yang biasanya telah terkonstruksi—secara turun-temurun melalui sistem kelembagaan desa. Pada titik ini, diperlukan pemaknaan yang luas dan integratif dalam mengapresiasi dinamika pedesaan secara arif guna menghasilkan cara pandang yang berimbang, terutama berkaitan dengan sumber gagasan, referensi dan informasi utuh bagi perumusan kebijakan negara yang bersentuhan dengan kepentingan wilayah pedesaan.

Dimensi Kemiskinan dan Ketertinggalan

Menurut Dharmawan (2008), pembahasan mengenai ketertinggalan desa memiliki dimensi yang luas. Namun secara umum, pembahasan dapat dipersempit kedalam tiga dimensi penting, yakni 1). manusia; 2). spasial; dan 3). (relasi) kekuasaan dari ketertinggalan. Muara pembahasan tentang ketertinggalan desa, pada akhirnya bergantung pada setting ideologi serta pendekatan yang digunakan dalam memandang dan memaknai fakta-fakta yang kemudian diklaim sebagai fenomena ketertinggalan atau keterbelakangan.

Pada dimensi manusia, persoalan ketertinggalan desa, berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan. Mengapa demikian? Karena kemiskinan merupakan standar umum—biasa digunakan angka-angka/pendekatan struktural—yang digunakan untuk menilai seberapa dalam ketertinggalan desa berlangsung. Angka ketersediaan pangan, tingkat pendapatan perkapita, air bersih perkapita, panjang jalan perkapita, angka putus sekolah, angka kematian bayi dan tingkat pemanfaatan teknologi pertanian dan sebagainya merupakan ukuran fisik yang menjadi indikator kemajuan dan harapan peningkatan harkat dan martabat penduduk desa. Praktis, ukuran dan cara pandang lokal pedesaan terhegemoni, terdegradasi serta tidak menjadi ukuran/standar yang perlu diapresiasi kedalam regulasi kenegaraan.

 Sedangkan pada dimensi spasial, biasanya dikaitkan dengan keterbelakangan dan ketergantungan antar-kawasan atau wilayah yang seringkali menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan transaksi (pertukaran) ekonomi antarwilayah (pusat-daerah, kawasan timur Indonesia-kawasan barat Indonesia, desa-kota) dan persoalan sosial politik. Memang benar, bahwa disparitas regional (desa-kota) merupakan fenomena universal. Namun demikian, dengan menyeragamkan cara penyelesaian—lewat kebijakan negara tentunya—ketimpangan antarwilayah dengan mendasarkan orientasi pembangunan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi (lagi-lagi ukuran fisik) semata melalui pemusatan pembangunan pada wilayah tertentu (growth pole and trickle down effect), relatif menciptakan ketergantungan antarkawasan atau ketidakseimbangan pembangunan wilayah serta menciptakan masalah-masalah sosial politk yang laten. Oleh karena itu, kekhasan lokal dan keunggulan komparatif yang tersedia, mesti menjadi khasanah modal pembangunan yang saling memperkuat struktur sosial ekono politik bangsa Indonesia.

Selanjutnya, pada dimensi (relasi) kekuasaan dari ketertinggalan, diskusi-diskusi pengentasan kemiskinan dan ketertinggalan, selalu berakhir dengan pertanyaan (yang tak terjawab secara formal) siapa yang paling diuntungkan dan sebaliknya dirugikan dari upaya pemberantasan kemiskinan itu. Program-program kepekaan sosial, baik yang digalakkan oleh pemerintah maupun pihak swasta, selalu berakhir di atas meja para investor (founding) yang selalu mengkalkulasi untung-rugi pengeluaran (investasi) mereka. Tidak heran, output dan outcome dari kegiatan-kegiatan (proyek) tersebut yang diharapkan membebaskan desa dari ketertinggalan dan kemiskinan semakin jauh dari harapan.

Apa yang dilansir Dharmawan tersebut, setidaknya memberi kesadaran bahwa terdapat beragamnya definisi (termasuk standar) tentang ketertinggalan dan kemiskinan. Pada masyarakat Barat, aspek kebebasan (liberty) dan ukuran-ukuran ketertinggalan dan kemiskinan selalu dikaitkan dengan materi (kebendaan). Sebaliknya pada masyarakat Timur, nilai yang bersifat non-kebendaan (materi)-lah yang menjadikan ukuran utama dalam tata cara berkehidupan. Dunia ini, tidak lebih dipandang sebagai ladang bagi kehidupan di akhirat yang kekal nantinya.

Hubungan Desa-Kota dalam Logika Pengembangan Wilayah

Pemberlakuan Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia sejak tahun 2000, merupakan tonggak penting upaya mengurangi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antar-wilayah, termasuk kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Belum lama ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa mendapat perhatian penting dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Instrumen atau regulasi ini perlu disambut baik oleh pemerintah di daerah.

Sebelum OTODA digulirkan (bahkan sejak zaman penjajahan), desa-desa di masa lalu merupakan mesin pertumbuhan bagi kota-kota di sekitarnya, bahkan bagi negara maju. Desa diperlakukan sebagai wilayah belakang penghasil bahan baku (raw material) semata untuk keperluan kegiatan industri. Secara teknis, hubungan seperti ini, memiliki manfaat ataupun kerugian bagi desa dan menciptakan hubungan (keterkaitan) desa-kota yang melahirkan tiga jenis kota, yakni 1). kota generatif; 2). kota parisitif; dan 3). enclave.

Pada kota generatif, hubungan kerjasama desa-kota terjalin saling menguntungkan. Kota menjalankan bermacam-macam fungsi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk daerah belakangnya (desa sekitar). Kota-kota seperti ini membutuhkan bahan makanan, bahan mentah dan tenaga kerja dari daerah pedesaan. Sebaliknya wilayah pedesaan menjadi tempat pemasaran produk yang dihasilkan perkotaan. Jenis kota yang kedua (kota parisitif), tidak banyak berfungsi menolong daerah pedesaan, malah bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di desa. Sesuai karakteristiknya, jenis kota ini belum banyak berkembang industrinya dan masih memiliki sifat daerah pertanian, sekaligus perkotaan. Sedangkan di luar kedua hubungan itu, yakni enclave, relatif tidak menguntungkan daerah pedesaan. Apabila kota tertentu mengalami perkembangan tapi tidak mengharapkan input dari daerah sekitarnya melainkan dari luar. Dalam hal ini, kota adalah suatu enclave, yakni seakan-akan terpisah sama sekali dari daerah sekitarnya (desa). Buruknya prasarana, perbedaan taraf hidup/pendidikan yang sangat mencolok dan faktor lain dapat membuat kurangnya hubungan antara perkotaan dengan daerah pedalaman di sekitarnya. Kalaupun ada orang pedalaman yang pindah ke kota untuk bekerja umumnya yang bisa pindah adalah putra-putri terbaik desa. Hal ini membuat daerah pedalaman itu makin ketinggalan dan keadaan antara kota dengan desa di sekitarnya makin pincang. Enclave sering terjadi pada kota/pemukiman pertambangan besar, di mana tingkat kehidupan masyarakat antara di pemukiman dengan di luar pertambangan sangat mencolok perbedaannya. Bentuk hubungan yang ketiga ini, sebagaimana terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan, di mana perkebunan kopi Belanda dan Jepang di Batavia dan sebagian wilayah Jawa Barat merupakan contohnya.

Cara Masyarakat Desa Menyiasati Ketertinggalan dan Kemiskinan

Sejak tahun 1996, nasib perjalanan pembangunan pedesaan, sedikit berubah arah, yakni ditemukannya format yang samasekali berbeda dari dua fase sebelumnya. Pada fase ini, pembangunan pertanian-pedesaan lebih banyak menitik-beratkan pada pemenuhan kebutuhan politik warganya, yang selama ini tidak terpenuhi. Penguatan gerakan civil society ikut mewarnai perkembangan pembangunan di Indonesia.

Pendekatan pembangunan pedesaan-pun mengalami perbedaan yang sangat ekstrim. Setidaknya, terdapat 8 (delapan) aspek yang dapat diuraikan di sini berkaitan dengan perbedaan pendekatan pembangunan pedesaan yang lama dengan pendekatan pembangunan pedesaan yang baru. Pertama. Jika pada masa lalu orientasi pembangunan pedesaan adalah pertumbuhan dengan segala ukurannya, saat ini ukuran tersebut bergeser pada aspek keadilan sosial sebagai bagian dari pertumbuhan yang berkualitas. Kedua. Redistribusi kesejahteraan hanya dilakukan (melalui dan oleh) negara dan pasar, berubah menjadi merangkul semua pihak yang dilakukan secara partisipatif. Ketiga. Tumbuhnya kekuasaan otoriter dipahami sebagai konsekuensi tak terelakkan dari prestasi pencapaian pembangunan (target angka pertumbuhan) berubah menjadi pencapaian kebebasan, otonomi dan kedaulatan sebagai prinsip penting pembangunan untuk direalisasikan. Keempat. Subsidi ekonomi disediakan oleh negara yang menimbulkan ketergantungan rakyat yang tinggi terhadap negara menjadi memberdayakan lokalitas untuk pertumbuhan secara mandiri.

Kelima. Transfer teknologi dan pembangunan berlangsung dari kawasan yang maju ke kawasan miskin yang menghasilkan sindrome ketergantungan sangat tinggi. Saat ini, pengembangan teknologi yang partisipatif dan pengakuan terhadap pengetahuan lokal (botton-up; indigenous knowledge and local wisdom) terapresiasi dengan baik. Keenam. Pemerintah (negara) sangat menentukan nilai ekonomi suatu sumberdaya mengalami perubahan menjadi masyarakat lokal menentukan penilaian dan cara penilaian atas sumberdaya alamnya. Ketujuh. Prinsip pembangunan yang kompartementalistik, yakni terkotak-kotak berdasarkan bidang yang tersekat-sekat secara ketat (egoisme sektoral) perlu diperbaiki menjadi prinsip pembangunan yang holistik dan memperdulikan semua aspek kehidupan kehidupan, termasuk eksistensi komponen alam bukan manusia (non human society). Dan yang terakhir kedelapan, yakni mengenai peran negara sangat dominan dan kuat baik sebagai regulator, producer, dan provider sudah saatnya dikurangi dan lebih banyak berperan memfasilitasi prakarsa sehingga mendorong komunitas lokal untuk lebih banyak berinisiatif.

Pendekatan Sistem Penghidupan (Livelihood System) sebagai Catatan Penutup

Sebagai catatan penutup perlu disajikan secara singkat sebuah jalan alternatif penganggulan ketertinggalan dan kemiskinan yang disebut Pendekatan Sistem Penghidupan (Livelihood System). Konsep ini pertama kali dikembangkan di Inggris pada akhir 1990-an dan didesain sedemikian rupa sehingga sangat relevan untuk kawasan sedang berkembang seperti wilayah pedesaan Indonesia. Model ini dianggap mampu melawan secara elegan pendekatan model materialisme-kapitalisme yang selama ini steril terhadap kepentingan alam dan sosial.

Prinsip penting yang diperlukan dalam memahami konsep di atas adalah dengan mempelajari konsep pengembangan komunitas berpendekatan sustainable livelihood mechanism. Mekanisme tersebut terdiri dari, 1). landasan etika pembangunan adalah ekosentrisme, yakni menghargai kesejajaran antara kepentingan manusia dan alam secara seimbang; 2). ideologi enviromentalisme dan eco-modernisme melandasi gerakan sosial masyarakat dalam berperilaku dan menyikapi pelestarian lingkungan; 3). mengubah persepsi tentang pembangunan dari ciri eksploitatif ke ciri kearifan (kesantunan) terhadap alam; 4). konsep rural sustainable development selalu mengintegrasikan kepentingan alam dan manusia dalam satu kesatuan paket-kepentingan yang diperjuangkan secara bersama-sama; dan yang terakhir; 5). pendekatan participatory sustainable community empowerment yang menyertai proses-proses pengambilan keputusan, mengindikasikan adanya komitmen yang kuat atas pencapaian cita-cita keadilan lingkungan.

Selanjutnya, karakter kehati-hatian dalam isu lingkungan dan orientasi kolektivisme-populisme yang menjiwai pendekatan konsep ini ditunjukkan oleh hadirnya lima modal (modal sosial; modal alam; modal fisik; modal manusia; dan modal keuangan) berstatus sama dan sederajat posisinya. Artinya, natural capital  (modal alam) sebagai entitas modal yang tidak terpisahkan dalam sistem kehidupan. Dalam ekonomi konvensional, modal alam dikenal secara sempit sebagai land, tanah sebagai sumberdaya dan sekaligus tempat produksi semata-mata. Dengan memandang alam sebagai modal, kita perlu mengakui pula eksistensi biodiversity, air, udara, hutan, sungai, tanah, jasa renik, dan sebagainya. Asumsinya adalah, sistem kehidupan akan teris berlanjut, jika dan hanya jika modal alam dilestarikan eksistensinya.

Kehadiran social capital (modal sosial) dianggap sangat penting dalam konsep pembangunan kontemporer, karena fungsinya sebagai perekat elemen-elemen masyarakat. Tiga komponen penting dalam hal ini, diantaranya, 1). trust, kepercayaan antarkomponen atau anggota masyarakat yang memudahkan proses komunikasi dan pengelolaan suatu persoalan serta mengurangi biaya transaksi; 2). social networking, berupa jejaring organisasi-kelompok ataupun jejaring individu berbentuk bond (ikatan) dan bridge (pertemanan) untuk mendukung gerak aksi-kolektivitas menjadi semakin sinergis; dan 3). norm and institutions, adalah norma-norma dan sistem nilai (biasanya berciri lokal) yang mengawal serta menjaga proses-pembangunan sehingga tidak mengalami penyimpangan.

 


[1]     Tulisan ini disampaikan pada Workshop Blogging untuk Peneliti JIKTI—Mendekatkan  Peneliti Muda KTI pada Penyusunan Tulisan/Artikel Ilmiah untuk Media Populer—JIKTI  Regional Maluku  yang dilaksanakan di Hotel Swissbell, Ambon. Kamis-Sabtu, 5 s/d 7 Maret 2015.

[2]     Peserta Workshop dari Kota Ternate- Provinsi Maluku Utara.