BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ancaman Kerusakan Lingkungan Hidup Tambang Pasir Laut; Kasus Kab. Takalar, Sulawesi Selatan

Pada Minggu 2 Juli 2017 suasana sepanjang pesisir takalar menghangat, bukan disebabkan matahari yang cukup terik, namun karena aksi penolakan tambang pasir yang serentak dilakukan di sepanjang kurang lebih 35 km pesisir pantai Takalar, yang membentang dari Galesong Utara hingga Galesong Selatan. Aksi ini diikuti oleh 21 desa yang marah akibat tak kunjung dihentikannya panambangan Pasir di wilayah tersebut. pada sisi lain kerusakan lingkungan terus terjadi yang berdampak pada penurunan penghidupan nelayan yang bersumber dari laut. Setelah beberapa hari tepatnya 19 Juli 2017, ratusan warga pesisir kembali melakukan aksi, kali ini menuju ke markas DPRD Kabupaten Takalar, karena dianggap tidak pro-rakyat warga pun menduduki kantor DPRD Takalar hingga bermalam di sana, segala upaya dilakukan agar pertambangan pasir yang merusak dihentikan.

Protes ini bukan pertama kalinya dilakukan, sejak Maret tahun 2017 aksi protes masif disuarakan, bahkan beberapa insiden terjadi hingga nelayan menyandera kapal tambang pasir yang diam-diam melakukan penambangan di malam hari. Salah satu kapal yang pernah disandera ialah kapal milik PT Boskalis. Boskalis Internasional Indonesia sendiri adalah pemenang tender proyek Reklamasi Kawasan Centre Point of Indonesia (CPI) Makasar. Pasir dari wilayah Takalar teridentifikasi sebagai pasir besi, hal ini juga yang mendorong eksploitasi pasir laut guna kepentingan proyek reklamasi. Hal  yang sama ditegaskan oleh Asmar Exwar direktur Eksekutif Daerah Walhi Propinsi Sulawesi Selatan “Proyek Reklamasi CPI bukan hanya berdampak pada lingkungan hidup di sekitar pantai Makasar, namun juga berdampak pada asal lokasi dimana pasir laut ditambang, diantaranya di perairan Takalar, hal tersebut juga menyebabkan konflik  dimana puluhan ribu nelayan Takalar marah karena tambang pasir berdampak pada hasil lautnya. Dengan pertimbangan dampak lingkungan Hidup dan hak hidup nelayan WALHI Sulawesi Selatan mendesak pemerintah untuk mencabut izin prinsip 4 perusahaan yang telah melakukan aktivitas pertambangan pasir laut”.

Aksi-aksi protes bukan hanya dilakukan di lapangan, dari tingkat kabupaten (Bupati & DPRD), Propinsi, bahkan pada Juni 2017 yang lalu beberapa perwakilan menyampaikan protesnya langsung ke Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, namun hingga saat ini aktivitas pertambangan pasir tidak kunjung berhenti.

Setidaknya ada 7 perusahaan yang mengajukan izin usaha pertambangan pasir laut di Takalar, 4 diantaranya sudah beroperasi dan mengantongi izin prinsip. Perusahaan-perusahaan tersebut ialah : PT Yasmin Resources Nusantara, PT Mineratama Prima Abadi, PT Hamparan Laut Sejahtera, PT Alepu Karya Mandiri, PT Gasing Sulawesi, PT Lautan Phinisi Resources, PT Banda Samudra

Dampak Lingkungan Hidup

Kegiatan pertambangan pasir laut mengancam ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, selnjutnya hal tersebut akan berdampak pada produktivitas perikanan serta pendapatan nelayan. Setidaknya pada lokasi tersebut terdapat pemijahan ikan milik masyarakat, habitat kepiting, cumi, ikan. Bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri memiliki aset pada wilayah tersebut berupa Balai Benih Air payau Takalar yang memproduksi benih udang unggulan.

Penurunan ekosistem lingkungan juga bisa dilihat dari pendapatan nelayan saat melaut, sebelum tambang pasir laut beroperasi umumnya dalam dua hari melaut nelayan mendapatkan ikan dua basket, saat ini bisa seminggu bahkan lebih hanya mendapatkan dua basket, sebagai perbandingan ekonomi harga ikan katombo per-basket mencapai 250-300 ribu rupiah. Sedangkan bensin dibutuhkan minimal sampai 20 liter (200 ribu rupiah). Penurunan produktivitas perikanan laut tersebut diakibatkan diantaranya karena naiknya kekeruhan air pada air laut, maupun karena ada perubahan aliran air laut.

Dari sisi keanekaragaman hayati,  bahkan perairan Galesong, khususnya sekitar pulau Sanrobengi masih memiliki keanekaragaman hayati yang sangat bagus. Bahkan masuk sebaagai kawasan konservasi perairan dalam pola ruang KSN mamminasata.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K)

Berdasar Undang-undang No 1 tahun 2014 (tentang perubahan atas UU No27/2007) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 17 Ayat 1 sebelum diterbitkannya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) maka izin lokasi untuk pertambangan pasir laut belum dapat diproses. Namun pada faktanya 4 perusahaan sudah memiliki izin dan beroperasi pada kawasan tersebut.

Saat ini Ranperda RZWP3K sedang dalam proses penyusunan sayangnya Ranperda yang sedang disusun ini memiliki beberapa permasalahan pokok :

  1. Ranperda RZWP3K Sulawesi Selatan memberikan ruang yang luas untuk eksploitsi, dari luas wilayah lautan ± 94.399,85 Km2, seluas 47.959,32 peruntukannya ditetapkan sebagai pertambangan pasir laut.
  2. Penyusunan Ranperda RZWP3K tidak dilakukan secara partisipatif, dalam penyusunannya tidak benar-benar melibatkan masyarakat ataupun unsur organisasi masyarakat lainnya, khususnya kelompok terdampak dan yang memiliki concern pada lingkungan hidup.
  3. Tidak ada kajian lingkungan hidup, ekonomi, sosial budaya secara menyeluruh. Berdasar PP 46 Tahun 2016 pasal 3, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) wajib dilaksanakan dalam penyusunan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Atas berbagai pertimbangan di atas, maka seharusnya tambang pasir laut di Takalar dihentikan, termasuk pembahasan Ranperda RZWP3K harus ditunda hingga ada pelibatan publik yang lebih luas dan diawali dengan pelaksanaan KLHS.

Sumber : http://walhi.or.id/2017/07/25/ancaman-kerusakan-lingkungan-hidup-tambang-pasir-laut-kasus-kab-takalar-sulawesi-selatan/

Related-Area: