BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Meningkatkan Kelembagaan Urusan Perempuan dan Anak

Oleh IBRAHIM FATTAH & M. GHUFRAN H. KORDI K. 

Sebagian besar masyarakat dan aparat pemerintah menganggap bahwa, urusan perempuan dan anak adalah urusan kecil atau urusan ecek-ecek. Anggapan ini berasal perspektif atau pandangan yang keliru yang berakar dari masyarakat patriarki yang memandang rendah terhadap perempuan dan anak. Perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki, sedangkan anak semakin menjauh karena berada di kelas tiga setelah laki-laki dan perempuan dewasa.

Karena dianggap rendah dan jauh secara sosial dan budaya, maka perempuan dan anak dijauhkan dari pusaran kebijakan. Perempuan dan anak tidak selalu dihitung dalam kebijakan, kecuali untuk hal-hal yang dianggap penghias dan pelengkap. Makanya sejak dulu, sebagian besar program pemerintah maupun organisasi sosial untuk perempuan dan anak, tidak pernah jauh dari menjahit, memasak, merawat anak, mengurus rumah, dan sejenisnya. 

Paradigma berubah ketika pada tahun 2000 melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pemerintah hendak mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkelurga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun jalan menuju pencapaian kesetaraan dan keadilan gender masih jauh dan tidak mulus.

Tetap Menjadi Subordinat

Setelah lahirnya Inpres tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, berbagai kebijakan mengalami perubahan, termasuk dibentuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Program-program yang dibuat untuk mengubah perspektif aparat pemerintah dan stakehodelrs terus dilakukan. Harapannya para pengambil kebijakan dapat melahirkan kebijakan yang adil terhadap perempuan dan anak. 

Namun, banyak sekali tantangan untuk membuat kebijakan yang merespon perempuan dan anak. Kebijakan yang dianggap baik di tingkat nasional tidak selalu mudah diimplementasikan di tingkat daerah, karena kendala di daerah tidak hanya perspektif, tetapi juga kelembagaan. Lembaga yang menjadi penanggungjawab urusan perempuan dan anak masih menjadi subordinat di berbagai dinas dan badan. Ada yang menjadi bidang di Badan Keluarga Berencana, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Sosial, dan sebagainya.

Dengan posisi subordinat, urusan perempuan dan perlindungan anak, tidak menjadi urusan utama dan penting di daerah. Perempuan dan anak bahkan disebut sambil lalu pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Itu berarti, perempuan dan anak tidak dianggap penting pada induk kebijakan di daerah.

Beberapa daerah mulai mengangkat status institusi yang mengurus perempuan dan anak lebih baik, misalnya Kota Makassar yang membentuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) sejak 2013. Demikian juga Provinsi Sulawesi Selatan yang membentuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) sejak 2011. Namun demikian, tidak banyak daerah mengangkat kelembagaan yang mengurus perempuan dan anak.

Hingga pada tahun 2015 ketika pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2015 tentang Perangkat Daerah, yang mengatur bahwa urusan perempuan dan perlindungan anak merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, yang harus diwadahi dalam bentuk dinas.

Namun, untuk mengangkat urusan perempuan dan perlindungan anak menjadi dinas tidak mudah, apalagi dinas bertipe A (dinas dengan beban kerja besar). Diperlukan advokasi untuk menyakinkan pengambil kebijakan di daerah bahwa, perempuan dan perlindungan anak membutuhkan lembaga yang besar.

 

Belajar dari Parepare

Di Kota Parepare, Pemerintah Kota Parepare (Pemkot) melalui Bagian Organisasi Tata Laksana di bawah koordinasi Sekretaris Daerah dalam menyusun Draft Perubahan Kelembagaan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), berencana memisahkan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) dalam SKPD terpisah. Namun persoalannya karena Urusan Pemberdayaan Perempuan dalam Draft Kelembagaan baru hanya dipindahkan ke SKPD lain atau mau digabungkan dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (BPMK), SKPD ini pengganti dari Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) di era Orde Baru.

Sementara berdasarkan hasil pemetaan dan verifikasi kelembagaan masing-masing SKPD yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri pada bulan Juli, hasilnya BPMK mendapat grade C sedangkan Pemberdayaan Perempuan mendapat grade A.

Merespon situasi ini, tim YLP2EM (Yayasan Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) yang dipimpin Ibrahim Fattah bersama Tim Program MAMPU dari Yayasan BaKTI, yaitu Lusy Palulugan dan Misbakhul Hasan, memanfaatkan momentum revisi RPJMD Parepare, pada tanggal 8-9 Agustus 2016 di Kantor Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Parepare, untuk membicarakan isu kelembagaan tersebut. Saat itu Bappeda meminta pendampingan atau bantuan teknis (technical assistance, TA) dan mentoring dari Program MAMPU BaKTI.

Dalam presentasi Misbakhul Hasan, terungkap bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2014-2016), Program Pemberdayaan Perempuan belum menjadi prioritas Pemkot Parepare, dilihat dari alokasi anggaran yang masih sedikit dibandingkan dengan program pada sektor lain. Anggaran merupakan indikator untuk menilai politik anggaran suatu daerah terhadap sektor tertentu. Momentum TA dan mentoring ini sekaligus dijadikansebagai pintu masuk untuk membicarakan kelembagaan Pokja (Kelompok Kerja) PUG (Pengarusutamaan Gender) yang dalam hal ini diketuai secara ex officio oleh kepala Bappeda dan sekretaris berada pada SKPD yang memiliki tugas Pemberdayaan Perempuan. Selama ini program Pemberdayaan Perempuan terkesan tersubordinasi dari program Keluarga Berencana sebagai konsekuensi dari penggabungan dua urusan tersebut dalam satu SKPD, padahal keduanya memiliki tugas yang berbeda.

Dalam proses TA dan mentoring diperoleh informasi bahwa Draft Perangkat Daerah atau perubahan penamaan SKPD masih memungkinkan ada celah menjadikan Urusan Pemberdayaan Perempuan menjadi SKPD berdiri sendiri sepanjang ada pihak lain yang bisa meyakinkan Pemkot tentang urgensi dari pemisahan tersebut, tentu dibutuhkan basis argumentasi yang kuat.

Pihak YLP2EM diberi tugas menyiapkan kertas posisi yang dapat dibaca cepat dan pesannya mudah dipahami baik oleh pihak Pemkot maupun anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Parepare. YLP2EM membuat tim kecil, dimana Ibrahim Fattah membuat Kertas Posisi dan Abd. Samad Syam dan Suryanti bertugas melobi anggota DPRD, khususnya anggota DPRD perempuan.

Gayung pun bersambut, dalam Rapat Paripurna DPRD Parepare, 26 Agustus, Andi Nurhanjani, salah satu anggota DPRD perempuan merujuk basis argumentasi dalam kertas posisi yang diberi judul “Catatan Kritis YLP2EM Terhadap Perubahan Kelembagaan Pemda”, dimana YLP2EM menawarkan nama Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, disingkat BPP dan PA. Akhirnya dalam rapat paripurna DPRD Kota Parepare, diputuskan nama seperti yang diusulkan oleh YLP2EM, namun statusnya bukan Badan, tetapi ditingkatkan menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Proses advokasi tersebut memberi pembelajaran bahwa advokasi kebijakan membutuhkan kolaborasi antara DPRD dengan masyarakat sipil yang efektif, tidak selalui harus meramaikan wacana pro-kontra di media.  Dalam kondisi tertentu dibutuhkan gerakan “bawah tanah” yang penting tujuan advokasi bisa tercapai.

Semoga dengan ditetapkannya Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi SKPD tersendiri, semakin efektif pula dinas ini ke depan merespon masalah-masalah perempuan dan anak, yang juga semakin dinamis dan kompleks, karena Parepare adalah kota kedua setelah Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan yang merupakan kota transit dan kota pelabuhan dengan permasalahan perempuan dan perlindungan anak yang besar.

Respon tersebut baik melalui perencanaan tahunan maupun alokasi anggaran yang semakin memadai dalam APBD, sehingga Pemerintah Kota Parepare lebih efektif dalam menanangi masalah-masalah perempuan dan perlindungan anak ke depan!.(***)