BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pertumbuhan Dua Digit

Pertumbuhan Dua Digit

Oleh: Slamet Sutomo

BEBERAPA waktu yang lalu, Presiden Boston Institute for Developing Economies Profesor Gustav F Papanek menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpeluang tumbuh lebih baik, yaitu sekitar 10 persen, pada tahun-tahun mendatang dengan menekankan pada basis industri pengolahan padat karya.

Pernyataan tersebut perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya karena hal itu menyangkut negara yang kita cintai, Indonesia. Tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada para calon anggota legislatif dan eksekutif yang nanti terpilih.

Penulis ingin menanggapi pernyataan itu ditinjau dari sisi beban ekonomi Indonesia seandainya tumbuh sekitar 10 persen pa-
da tahun-tahun mendatang, yakni periode pemerintahan baru lima tahun mendatang, 2014-2019.  Guna mencapai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 10 persen per tahun, berarti skenario laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode itu diasumsikan, misalnya, 7 persen pada  2014, 8 persen pada 2015, 9 persen pada 2016, 10 persen pada 2017, 11 persen pada 2018, dan 12 persen pada 2019.
Jangan eksploitasi SDA

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada 2013 tumbuh 5,78 persen. Jika pada 2014 ekonomi Indonesia tumbuh 7 persen, produk domestik bruto (PDB) Indonesia—sebagai ukuran kinerja ekonomi—pada tahun itu diperkirakan Rp 2.963,3 triliun atas dasar harga konstan, atau Rp 10.015,9 triliun atas dasar harga berlaku jika inflasi total (PDB) diperkirakan sekitar 4 persen pada tahun tersebut.

Perkiraan PDB Indonesia tahun-tahun berikutnya dapat dihitung dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan sebagaimana diasumsikan di atas dan besarnya inflasi diperkirakan sekitar 4 persen setiap tahun selama 2014-2019.

Dari hasil penghitungan penulis, PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada 2019 diperkirakan Rp 19.606,3 triliun.  Dari hasil perhitungan ini, terlihat bahwa untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 10 persen selama periode 2014-2019 ekonomi Indonesia harus meningkat Rp 10.000 triliun-an selama 5 tahun, atau Rp 2.000 triliun-an per tahun selama periode 2014-2019.

Kenaikan PDB sebesar itu merupakan beban bagi Indonesia dan butuh upaya sangat serius dari pemerintahan baru. Sebab, selama periode-periode sebelumnya PDB Indonesia hanya meningkat sekitar Rp 700 triliun-Rp 1.000 triliun per tahun. Artinya, dengan target tersebut, PDB Indonesia diharapkan meningkat sekitar dua kali atau lebih dari ”biasanya”.

Permasalahan yang timbul, sektor ekonomi mana yang diharapkan dapat ditingkatkan secara drastis agar mencapai target pertumbuhan ekonomi 10 persen?  Ekonomi Indonesia belakangan ini sangat ditunjang oleh pertumbuhan sektor-sektor jasa, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor konstruksi, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan.

Sektor-sektor ini sudah tentu kurang memenuhi harapan kalau dikaitkan peningkatan lapangan kerja sebagaimana diharapkan Papanek. Sebab, sifat sektor non-tradable ini tidak banyak menyerap tenaga kerja. Sementara itu, sektor pertanian, yang menyerap banyak tenaga kerja, tumbuh dengan tendensi yang semakin melambat, demikian juga sektor industri manufaktur.

Penulis tidak sependapat jika kenaikan PDB Indonesia yang sekitar Rp 2.000 triliun setiap tahun dipacu pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berlebihan (tereksploitasi). Pengalaman selama ini menunjukkan, banyak SDA Indonesia yang terkuras dan hancur sebagai dampak dari pemanfaatan yang tidak terkendali. Dampak tersebut misalnya kerusakan lingkungan, kerusakan sumber daya ekonomi Indonesia seperti rusaknya hutan Indonesia di Kalimantan, tereksploitasinya sumber daya mineral di Papua, dan berubahnya posisi Indonesia dari eksportir jadi importir pada kasus tertentu, seperti minyak.

Kalaupun Indonesia masih membutuhkan SDA sebagai salah satu sumber penghasilan negara, pemanfaatannya perlu diatur
secara saksama dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan rakyat.  SDA tak hanya digunakan sebagai salah satu sumber ekspor bahan mentah dari Indonesia ke negara-negara tertentu, tetapi rakyat tidak menerima manfaatnya secara optimal.
Tak perlu memaksa diri

Sebenarnya penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa pada 2014 ini merupakan potential demand untuk berbagai kegiatan ekonomi di dalam negeri. Berdasarkan data BPS, sekitar 58 persen dari PDB Indonesia disumbang oleh pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia. Ini berarti penduduk Indonesia menyumbangkan pengeluaran konsumsinya untuk meningkatkan produktivitas berbagai kegiatan ekonomi di dalam negeri karena masyarakat butuh berbagai produk atau barang dan jasa sebagai konsumsi mereka.

Setiap produk yang dikonsumsi masyarakat menghasilkan nilai tambah bagi kegiatan-kegiatan ekonomi dalam negeri, yang berarti meningkatkan PDB Indonesia. Karena itu, pemerintahan mendatang perlu mempertimbangkan pengembangan ekonomi dalam negeri secara optimal karena potential demand dari masyarakat yang besar tadi, misalnya melalui peningkatan kapabilitas masyarakat melalui  berbagai pendidikan dan pelatihan kerja.

Alternatif lain adalah mengembangkan hasil-hasil SDA menjadi produk jadi yang diproses di dalam negeri sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih besar daripada mengekspor SDA ke luar negeri tetapi dalam bentuk bahan mentah. Kalaupun Indonesia belum mampu secara cepat mendorong perkembangan ekonomi SDA yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi itu, atau belum mampu meningkatkan kemampuan kapabilitas masyarakat yang berdampak pada peningkatan daya beli mereka, tidak perlu terlalu memaksakan agar ekonomi Indonesia tumbuh 10 persen per tahun. 

Ekonomi Indonesia memang memiliki peluang tumbuh lebih baik pada masa-masa yang akan datang. Sebab, Indonesia punya berbagai sumber daya (alam dan juga manusia). Akan tetapi, dengan prinsip tumbuh moderat dan hasilnya dinikmati rakyat, rasanya lebih baik daripada tumbuh tinggi tetapi sumber daya tereksploitasi dan hancur.
Slamet Sutomo, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Regional; Mantan Deputi Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005716811