BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Situasi Pangan 2014

Situasi Pangan 2014

Oleh:  Dwi Andreas Santosa 0 Komentar FacebookTwitter 

MELEWATI tahun 2013 dan memasuki tahun 2014 target swasembada pangan oleh pemerintah untuk lima komoditas utama, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, semakin jauh ”panggang dari api”.

Produksi padi memang membaik di tahun 2013 karena faktor alam berupa kemarau basah sepanjang tahun dan harga gabah di tingkat petani yang relatif tinggi, yaitu berkisar Rp 3.700-Rp 4.000 per kilogram, sehingga petani bergairah menanam padi. Akibatnya luas panen padi meningkat 325.000 hektar yang menyebabkan produksi gabah meningkat tajam menjadi 70,87 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 2,62 persen dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi juga disumbangkan oleh peningkatan produktivitas sebesar 0,10 kuintal per hektar menjadi 51,46 kuintal per hektar.

Peningkatan produksi padi ini mampu menekan impor beras menjadi hanya 0,43 juta ton (Januari-November 2013) (BPS, 2014), atau penurunan hampir 1,4 juta ton. Penurunan impor juga disebabkan stok beras yang masih cukup tinggi karena impor beras 1,8 juta ton selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2011 dan 2012. Selain padi, impor kedelai juga menurun dari 1,92 juta ton menjadi 1,62 juta ton. Hal ini tak disumbang dari peningkatan produksi karena produksi kedelai justru turun dari 0,843 juta ton menjadi 0,808 juta ton. Penurunan impor kedelai lebih disebabkan harga internasional yang tinggi dan bersamaan dengan terdepresiasinya rupiah sehingga permintaan menurun.

Berbeda dengan padi dan kedelai, impor jagung melonjak drastis dari 1,69 juta ton 2012 menjadi 2,81 juta ton (Januari-November 2013) atau peningkatan sebesar 1,12 juta ton. Produksi jagung pada 2013 menurun cukup tajam dibandingkan 2012 dari 19,29 juta ton menjadi 18,51 juta ton.

Fenomena produksi dan impor ketiga komoditas ini menarik untuk dicermati. Padi menjadi trade-off bagi jagung dan kedelai karena menggunakan lahan yang sama, kecuali untuk wilayah-wilayah tertentu yang menanam hanya satu komoditas. Peningkatan produksi padi di satu sisi akan diikuti penurunan produksi jagung dan kedelai di sisi lainnya sehingga cukup sulit untuk menyimpulkan bahwa peningkatan produksi padi di tahun 2013 merupakan karya ”program pemerintah”.

Impor dua komoditas utama lain yang merupakan target swasembada 2014 masih 3,08 juta ton untuk gula, serta daging sapi  41,5 juta kilogram dan sapi 104,4 juta kilogram. Selain itu, masih ada beberapa komoditas pangan utama yang diimpor, di antaranya gandum dan tepung terigu yang mencapai 6,40 juta ton, garam 1,85 juta ton, bawang putih 404 juta kilogram, bawang merah 81,3 juta kilogram; dan juga cabe, daging ayam, mentega, susu, minyak goreng, kelapa, kelapa sawit, lada, cengkeh, teh, kopi, kakao, tembakau, ubi kayu, dan kentang dengan total impor 17,27 juta ton dengan nilai 8,62 miliar dollar AS atau setara Rp 104,12 triliun.
Situasi pangan global dan Indonesia 2014

Situasi produksi pangan di dunia diperkirakan relatif membaik tahun 2014. Total produksi serealia di dunia akan meningkat 8,4 persen di periode 2013/2014 dibanding 2012/2013. Peningkatan terjadi sebesar 2,6 persen di negara berkembang dan 17,4 persen di negara maju (FAO Crop Prospects and Food Situation, Desember 2013). Stok serealia di dunia pada akhir musim 2014 diperkirakan meningkat 13,4 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian, harga serealia dunia terutama gandum, beras, dan jagung akan menurun di tahun 2014. Harga kedelai internasional serta minyak nabati juga akan menurun (FAO Food Price Index, 9/1/2014).

Sebaliknya situasi pangan di Indonesia pada 2014 tidak akan lebih baik dibandingkan 2013. Alih-alih mencapai swasembada lima komoditas pangan utama, yang terjadi adalah impor akan semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan sistem pangan kita sudah terintegrasi sedemikian rupa dengan sistem pangan global yang menyebabkan Indonesia masuk dalam ”jebakan impor pangan”. Pembelajaran selama beberapa tahun terakhir ini menunjuk hal tersebut. Hanya dalam tempo yang relatif singkat terjadi peningkatan impor serealia yang luar biasa. Impor serealia meningkat 60,45 persen hanya dalam kurun empat tahun (nilai rata-rata impor serealia periode 2011-2013 dibandingkan dengan periode 2007-2009).

Di tahun 2014 penulis memperkirakan impor beras akan kembali ke angka di atas 1,5 juta ton, kedelai di atas 1,6 juta ton, dan jagung mendekati 3 juta ton. Impor gandum juga akan meningkat menjadi sekitar 6,5 juta ton, sedangkan impor gula relatif stabil di angka sekitar 3 juta ton. Hal tersebut sebagian disebabkan harga yang cenderung menurun di pasar global yang dengan cepat ditangkap oleh para ”pemburu rente” dengan meningkatkan impor. Faktor lainnya adalah kebijakan pemerintah yang kurang serius menangani sektor pertanian dan pangan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah

Ketidakberpihakan pemerintah untuk pembangunan sektor pertanian tecermin dari rendahnya anggaran untuk sektor tersebut. Anggaran dalam 10 tahun terakhir ini memang meningkat tajam. Anggaran Kementerian Pertanian meningkat dari Rp 2,3 triliun pada 2003 menjadi Rp 16,5 triliun pada 2013 atau 717 persen lebih tinggi dan Rp 15,47 triliun tahun 2014.

Anggaran Kementerian Pertanian digunakan untuk kebutuhan internal kementerian dan dana bantuan sosial. Anggaran pemerintah yang benar-benar diperuntukkan bagi petani berupa subsidi pupuk yang nilainya hanya Rp 18,05 triliun dan subsidi benih Rp 1,57 triliun atau hanya 1,07 persen dari total APBN 2014 yang digunakan untuk membantu 26,13 juta keluarga tani atau 91 juta jiwa. Bandingkan dengan anggaran pendidikan yang mencapai Rp 368,9 triliun (UU No 23/2013 tentang APBN 2014) yang di banyak kasus tidak jelas pemanfaatannya.

Penyaluran pupuk bersubsidi pada musim tanam pertama tahun ini menjadi masalah karena keterlambatan para kepala daerah menerbitkan aturan mengenai alokasi pupuk bersubsidi (Kompas, 15/1/2014). Padahal, penundaan pemupukan berdampak langsung terhadap produksi. Selain itu, jumlah pupuk bersubsidi tahun ini hanya 7,78 juta ton yang 1,53 juta ton lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Karut-marut pupuk bersubsidi ini jika tidak segera diatasi akan mengancam produksi pangan tahun 2014.

Solusinya memang tidak dengan meningkatkan penggunaan pupuk kimia, tetapi lebih ke penggunaan pupuk yang tepat waktu, tepat dosis , dan tepat jenis, serta menggalakkan budidaya pertanian organik. Penggunaan pupuk kimia bersubsidi dalam dua dekade terakhir sebenarnya sudah tidak begitu signifikan dalam meningkatkan produksi terutama padi. Berdasarkan kajian penggunaan pupuk kimia bersubsidi dari 2000 hingga 2009 terjadi kenaikan penggunaan urea sebesar 81 persen, TSP/SP36 sebesar 302 persen, ZA sebesar 371 persen, dan NPK sebesar 8.220 persen, tetapi peningkatan produksi padi hanya 17,4 persen.

Terkait produksi pangan perlu terobosan teknologi yang baru bukan dengan cara meningkatkan pemakaian pupuk kimia. Penggunaan pupuk hayati PROVIBIO-IPB di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, misalnya, mampu meningkatkan produksi 0,5 hingga 3 ton GKP per hektar, suatu peningkatan produksi yang tak bisa dicapai jika hanya menggunakan pupuk kimia. Jaringan Petani Organik di Banyuwangi, Bantul, Sukoharjo, Boyolali, dan Karanganyar yang sebagian besar menggunakan benih unggul dan pupuk organik karya petani sendiri mencatat produksi padi pada musim tanam 2013 berkisar 8,5 hingga 21 ton GKP per hektar, jauh dari rata-rata nasional 5,1 ton per hektar (Setiyarman, Ketua AB2TI Jawa Tengah).

Awal 2014, berbagai jaringan petani melaporkan serangan wereng, sundep, dan kresek yang cukup parah di 15 kabupaten. Ini akibat iklim kemarau basah dalam tiga tahun terakhir serta penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan. Hal ini bisa menjadi salah satu ancaman serius produksi padi 2014. Penemuan yang sangat menarik, pertanaman Jaringan Petani Organik relatif bebas dari hama dan penyakit tanaman. Dengan demikian, kunci menyelesaikan permasalahan pertanian dan pangan di masa depan adalah kembalikan hak dan kedaulatan petani, hapuskan
subsidi benih dan pupuk sehingga dana tersebut bisa langsung dikelola oleh
petani, jamin stabilitas harga, kembangkan sistem pertanian agroekologi, dan tidak kalah penting laksanakan reforma agraria. Dengan demikian, kita semua akan
selamat.
Dwi Andreas Santosa, Ketua PS S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia/AB2TI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004201842