BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Visi Pembangunan Daerah

Visi Pembangunan Daerah
Posted on Mar 4 2014 - 6:32pm by Poskomalut
Oleh:
Nurcholish Rustam
PERSIRA Maluku Utara

SECARA normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dijalankan oleh sebuah negara, seperti pernyataan Abraham Lincoln ”government from the people, by the people and for the people” (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat),  yang dikenal sebagai konsep demokrasi klasik, dan biasanya  dituangkan  dalam   konstitusi   Negara,  demokrasi adalah memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia, demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya.

Samuel P. Huntington dalam karyanya gelombang demokratisasi ketiga (third wave democratization), mengemukakan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif, dipilih melalui proses pemilihan umum yang adil,  jujur dan berkala, bahwa para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih.

Dengan demikian, esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik rakyat dalam mengekspresikan preferensi dan hak-hak politiknya (souvereignty), serta adanya rekrutmen politik terbuka dalam konteks pemilu, serta memilih wakil rakyat, bupati/walikota/gubernur termasuk didalamnya  presiden dan wakil presiden.

Menyoal hal tersebut diatas, maka era otonomi yang sedang bergulir di Indonesia dewasa ini secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat,  baik secara nasional maupun local. Berbagai macam pemikiran tentang penyelenggaraan system pemerintahan daerah (desentralisasi), sebenarnya bukan pemikiran baru. Bahkan para pendahulu kita sudah mengemukakan hal tersebut dalam UUD 1945. Ini berarti kepedulian terhadap pentingnya pemberian otonomi kepada daerah sudah terpikirkan sejak lama, yakni sejak Republik ini berdiri. Namun dalam perkembangannya selama ini, implementasi otonomi masih tersendat-sendat sehingga belum menampakan hasil optimal.

Ketika era reformasi bergulir pada pertengahan 1997, dan mencapai klimaks dengan jatuhnya rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan presiden Soeharto pada  bulan Mei 1998, tuntutan untuk diberlakukannya otonomi daerah secara lebih luas kembali marak dan berkembang hampir disetiap lapisan masyarakat, baik ditingkat elit pusat maupun daerah.

Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam rangka pengelolaan pembangunan di  daerahnya. Kreativitas, inovasi, dan kemandirian diharapkan akan dimiliki setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungannya pada pemerintah pusat dan yang lebih penting adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat, baik pelayanan yang sifatnya langsung diberikan maupun yang tidak langsung, seperti pembuatan dan pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan fasilitas social lainnya. Dengan kata lain, penyediaan barang-barang (public goods) dan pelayanan public (public servis) dapat lebih terjamin.

Mekanisme dan prosedur yang ada cenderung sebatas formalitas, karena pada akhirnya keputusan yang diambil sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah, yang seringkali berbeda dengan apa yang sudah disepakati dalam suatu musyawarah yang melibatkan masyarakat. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami masyarakat daerah tapi juga oleh pemerintah  daerah sendiri yang ketika harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pemerintah pusat, sehingga nuansa top down masih lebih dominan dibandingan dengan bottom up planning-nya.

Menyadari pentingnya desentralisasi, proses pembangunan di daerah mestinya tidak hanya diwujudkan dalam bentuk formal kebijaksanaan saja, seperti adanya mekanisme musbangdes/musrembang, sampai pada Rakorbang, melainkan lebih dari itu, yaitu bagaimana mewujudkan secara optimal, melalui tataran implementasi yang sebenarnya. Sudah cukup banyak konsep, kebijakan dan upaya-upaya untuk mewujudkan otonomi dan desentralisasi dalam system pemerintahan di Indonesia, namun hasilnya tidak selalu lebih dari “pemanfaaatan” sumber daya daerah untuk membangun sentra-sentra pembangunan dan pertumbuhan di daerah-daerah tertentu (misalnya: Jawa, Bali), sehingga tidak ada pemerataan pembangunan yang berarti, yang dapat di rasakan daerah-daerah lain (diluar Jawa). Bahkan ironisnya lagi, justru banyak potensi diluar Jawa yang banyak menyumbang dalam pembangunan nasional, tetapi daerah itu sendiri tetap terbelakang.

Maka secara umum nilai filosofi  yang perlu dipahami baik oleh pemerintah pusat maupun daerah bahwa desentralisasi bukan sekedar strategi untuk pelimpahan/penyerahan kewenangan, melainkan juga merupakan suatu system yang komprehensif yang melibatkan berbagai proses dan aspek didalamnya, seperti proses koordinasi, pelaksanaannya, pertanggungjawabannya, pengawasannya, berikut aspek-aspek kultur, social, ekonomi, poltik, hukum, dan sebagainya. Keseluruhan hal tersebut akan diwarnai oleh nilai-nilai yang menjadi prinsip filosofisnya.

Menurut  Mustopodidjaja (1999), dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik, ada tujuh prinsip yang perlu dikembangkan dan di implementasikan dengan segala konsekuensi dan implikasinya, yaitu: (1) Demokrasi dan pemberdayaan; (2) Pelayanan; (3) Transparansi dan akuntabilitas; (4) Partisipasi; (5) Kemitraan; (6) Desentralisasi; (7) Konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum. Meskipun lebih mengarah pada upaya penyelenggaraan pemerintahan secara lebih luas, dimana desentralisasi hanya merupakan salah satu bagian saja, prinsip-prinsip tersebut juga ideal untuk diterapkan dan dianut dalam konteks otonomi. Ketujuh prinsip tersebut saling mempengaruhi dan saling melengkapi, dan penerapannya harus dilakukan secara bersamaan dengan sinergi yang tinggi.

Maka dari itu, implemantasi otonomi daerah harus lebih berorientasi pada upaya “pemberdayaan” daerah, bila dilihat dari konteks kewilayahan (teritorial), sedangkan bila dilihat dari struktur tata pemerintahan, berupa pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelolah sumber-sumber daya yang dimilikinya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesatuan bangsa dan negara. Kemudian dalam konteks kemasyarakatan, pemberdayaan yang diupayakan harus lebih berorientasi pada pemberdayaan masyarakat di masing-masing daerah, sehingga mereka lebih berpartisipasi dalam pembangunan, khusunya didaerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Di sinilah peran pemerintah menjadi faktor yang sangat penting untuk mewujudkannya.

Memang yang “mayoritas” sangat berpeluang menang, tapi yang penting jangan mendiskriminasikan yang “minoritas”. Bahkan yang “mayoritas” bisa berubah manakala yang ditawarkan pihak “minoritas” jauh lebih masuk akal. Barangkali kita masih bermimpi soal pemekaran (DOB) dapat diterapkan di Maluku Utara yang begitu plural, tapi Tak Mustahil hal itu bisa terwujud dengan mengedepankan visi pembangunan. Semoga.[]

Sumber: http://poskomalut.com/2014/03/04/visi-pembangunan-daerah/