BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

RABIES DAN KOMPLEKSITAS PENANGANANNYA DI MALUKU

Astri D. Tagueha

(Staf Pengajar Fakultas Pertanian – Universitas Pattimura)

acit_tags@yahoo.com

-----------------

Rabies, penyakit akibat infeksi virus pada sistem saraf pusat, telah dikenal sejak tahun 425 SM dan di tahun 340 SM Aristoteles telah memperingatkan kemungkinan penularannya dari anjing ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus. Kontak langsung dengan membran mukus merupakan awal dari infeksi virus. Kehadiran virus rabies di dalam air liur bertujuan mempercepat kontak dengan membran mukus hewan atau manusia yang terkoyak akibat gigitan atau cakaran hewan sakit. Hewan penular rabies (HPR) di Indonesia didominasi oleh anjing (90%), diikuti kucing (6%) dan monyet (4%). Seratus persen kasus rabies pada manusia di Provinsi Maluku disebabkan oleh gigitan anjing.

Rabies menempati urutan kedua setelah malaria sebagai penyakit yang ditakuti di seluruh dunia, termasuk dalam 12 daftar penyakit mematikan dan penyakit daftar B menurut Office International des Epizooties (OIE). Pada tahun 2009, WHO melaporkan ± 45% kematian akibat rabies terjadi di Asia Tenggara dengan jumlah 23.000 – 25.000 orang setiap tahun. Kasus gigitan di Indonesia selama tahun 2003 – 2009 adalah 139.479 kasus atau rata-rata 19.926 kasus/tahun dan 55 kasus/hari. Total kasus gigitan pada kurun waktu yang sama di Ambon dan Maluku Tengah berturut-turut 5.285 dan 2.734, sedangkan di SBB pada tahun 2009 laporan gigitan anjing berjumlah 118 kasus. Pada tahun 2010, rabies juga dilaporkan di Kabupaten MTB yang menyebabkan 19 orang meninggal dan 357 menderita luka-luka akibat gigitan anjing.

Vaksinasi massal merupakan program pengendalian yang diterapkan sejak Maluku berstatus daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) pada tahun 2003. Saya merasa tertantang untuk mempertanyakan keberhasilan vaksinasi massal selama 8 tahun yang didengung-dengungkan mampu meredam kemunculan anjing rabies. Nyatanya, selama 2 tahun terakhir berita kematian akibat gigitan anjing gencar dilaporkan di sejumlah daerah (Ambon, Malteng, SBB, MTB). Kondisi ini mengindikasikan virus rabies masih terus bersirkulasi di antara populasi hewan (terutama anjing dan kucing) di Provinsi Maluku. Dengan demikian, pertanyaan penting yang harus dijawab oleh Pemerintah Daerah (baca: Dinas Pertanian) adalah sampai sejauh mana keberhasilan program vaksinasi yang dilakukan...???

Pada tahun 2011, saya melakukan penelitian tentang “Kajian Rabies di Kota Ambon: Evaluasi Kinerja Petugas Vaksinasi dan Tingkat Kekebalan Anjing”. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata tingkat kekebalan anjing (diukur berdasarkan titer antibodi protektif) terhadap rabies di Kota Ambon sangat rendah. Dengan rendahnya titer antibodi protektif maka akan memperbesar kerentanan anjing terhadap serangan virus rabies. Untuk itu, vaksinasi tetap diperlukan karena mampu menggertak respons imun humoral dan seluler sebagai pertahanan tubuh yang pada akhirnya meningkatkan titer antibodi protektif. Anjing yang divaksin memiliki kekebalan tubuh 5,18 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak divaksin. Jika dikaitkan dengan program vaksinasi yang telah dilakukan oleh Dinas Pertanian selama ini, maka yang menjadi pertanyaan berikut adalah mengapa hanya 9,09% dari populasi anjing tervaksin yang memiliki kekebalan protektif...??? Pertanyaan ini memperkuat temuan Laboratorium Kesehatan Hewan Tipe B pada tahun 2010, yaitu 83,33% dari 162 spesimen (otak anjing) dinyatakan positif rabies berdasarkan uji Seller.

Hasil pengujian Pusat Veterineria Farma terhadap rabivet (vaksin anti rabies untuk hewan) menunjukkan anjing yang divaksin memiliki titer antibodi tetap tinggi selama 16 bulan pasca vaksinasi. Hal ini kemudian dijadikan acuan oleh Dinas Pertanian untuk melaksanakan vaksinasi massal dengan rentang waktu 1 kali dalam 1 tahun. Namun, fakta menarik yang saya temukan di lapangan adalah tingkat kekebalan anjing hasil vaksinasi hanya bertahan 6 bulan. Lamanya periode vaksinasi inilah yang menyebabkan sulitnya memutus rantai penyebaran rabies di Provinsi Maluku (sebagai pembanding, pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing di Provinsi Bali dilaksanakan 3 kali dalam 1 tahun).

Dinas Pertanian, dalam hal ini petugas vaksinasi, bertanggung jawab terhadap upaya pengendalian rabies di daerah endemik. Kinerja petugas vaksinasi rabies di Kota Ambon dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan sarana penunjang vaksinasi. Kedua faktor ini sangat mempengaruhi cara mereka menangani vaksin, melakukan vaksinasi, dan sosialisasi bahaya rabies kepada masyarakat. Sebanyak 72,73% pemilik anjing di Kota Ambon merasa pelayanan yang diberikan belum memuaskan, terutama sosialisasi bahaya rabies. Informasi ini lebih banyak diperoleh dari lingkungan sekitar (tetangga atau kerabat), padahal pemilik anjing yang diberi pemahaman oleh petugas vaksinasi memiliki keinginan memvaksin anjingnya 9,82 kali lebih kuat. Perlu ditambahkan, penolakan terhadap kegiatan vaksinasi oleh 35,21% pemilik anjing di Kota Ambon pada dasarnya disebabkan oleh keterbatasan informasi yang diterima dan menyebabkan mereka cenderung berasumsi negatif.

Kajian ini hanya terbatas di Kota Ambon, namun kondisinya tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Provinsi Maluku. Populasi anjing yang cukup padat dengan sistem pemeliharaan diliarkan akan memudahkan penularan virus dari anjing sakit ke anjing sehat. Cakupan vaksinasi 70% dan eliminasi 30% dari populasi adalah langkah yang ditetapkan WHO untuk memberantas rabies. Eliminasi sulit diterapkan karena berbenturan dengan kebiasaan orang Maluku. Cakupan vaksinasi di Kota Ambon saja hanya 36,48%, bagaimana dengan SBB, Malteng, atau MTB dan daerah lain yang jangkauannya lebih sulit ? Mungkinkah rabies bisa dilenyapkan dari bumi Maluku ?

Tidaklah berlebihan jika dikatakan petugas vaksinasi adalah ujung tombak pengendalian rabies di Maluku. Di setiap Dinas Pertanian Kota/Kabupaten, profesi ini diperankan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL). Insentif yang diterima memang tidak sebanding dengan resiko selama bertugas. Bentuk penghargaan kepada mereka adalah memberikan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman terutama aspek teknis vaksinasi dan pengetahuan umum tentang rabies. Selain itu, jaminan ketersediaan sarana vaksinasi akan meningkatkan hasil kerja mereka. Sudah sering ditemui dan dikeluhkan oleh masyarakat bahwa syringe dan jarum yang sama dipakai berulang kali, padahal penggunaannya maksimal untuk memvaksin 3 ekor anjing.

Selain vaksinasi, program lain yang dapat dilakukan adalah sosialisasi, pendataan populasi, sterilisasi, bahkan uji coba oral bait (vaksin yang diberikan dalam bentuk pakan) untuk menghemat biaya operasional. Sosialisasi berkelanjutan sangat diperlukan demi menumbuhkan kesadaran masyarakat agar secara aktif membawa anjing atau kucing peliharaannya ke Laboratorium Kesehatan Hewan untuk divaksin. Kegiatan ini akan mengurangi beban petugas vaksinasi bahkan biaya operasional yang dikeluarkan. Studi tentang parameter dan dinamika populasi anjing penting dilakukan untuk mendukung keberhasilan vaksinasi. Data yang dimiliki Dinas Pertanian belum mencakup populasi secara keseluruhan, sangat penting untuk mengetahui parameter populasi anjing secara lengkap.

Semua usulan pengendalian ini bergantung pada kesediaan berbagai pihak untuk bekerja sama, terutama instansi yang terkait. Para wakil rakyat kita hendaknya dapat mengkaji lebih dalam lagi soal kebijakan anggaran untuk program kesehatan hewan. Seyogianya mereka tidak hanya ramai berkicau setelah mendengar banyak orang meninggal karena digigit anjing atau karena siuman telah mengkonsumsi ayam tiren (ayam mati kemarin). Berdasarkan perhitungan kasar, perbandingan antara post exposure prophylaxis dan vaksinasi anjing di Kota Ambon adalah 1 : 90, artinya pengeluaran untuk vaksinasi 90 ekor anjing hanya cukup untuk membiayai seseorang yang digigit anjing rabies. Perbandingan ini akan lebih besar jika beberapa komponen lain dilengkapi. Pembebasan rabies di Maluku merupakan tanggung jawab kita bersama, setiap pihak seharusnya berinisiatif melakukan perubahan. Biarlah dengan usulan dan hitung-hitungan ini, kita makin peka menyikapi masalah rabies di Maluku. Semoga...

 

field_vote: 
No votes yet