BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Belajar Kelola Hutan Berbasis Kearifan Lokal dari Sulteng

Belajar Kelola Hutan Berbasis Kearifan Lokal dari Sulteng

    Written by  Mongabay-Green Radio
    Wed,06 August 2014 | 22:06

Belajar Kelola Hutan Berbasis Kearifan Lokal dari Sulteng Hutan yang berubah jadi lapangan setelah tambang nikel beroperasi. Padahal, Masyarakat Sulteng memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan. (Foto: Christopel Paino)
 
 

Di tengah gempuran terhadap hutan di berbagai daerah di Indonesia, Sulawesi Tengah menunjukkan kalau pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal bisa dilakukan. Yayasan Merah Putih mencatat ada banyak daerah di sekitar hutan Sulteng yang masih dikelola masyarakat dengan memegang teguh warisan leluhur mereka. 


“Jika ada program tata kelola hutan, misalkan dari Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah, sebaiknya mengadopsi konsep dan pengetahuan masyarakat setempat yang berbasis kearifan lokal. Konsep ini terbukti ampuh,” katanya.


Azmi Siradjudin dari Yayasan Merah Putih mencontohkan Suku Taijo di Desa Sipanyo, Kabupaten Parigi Moutong. Di sana berlaku konsep pangale atau wilayah yang tidak boleh dirawat karena fungsinya untuk melindungi kebun dan kampung mereka. “Kebun ibaratnya tubuh manusia yang mesti dijaga dan dirawat sepenuh hati,” ungkapnya.


Pangale terletak di puncak gunung atau di ketinggian di atas 40 derajat. Barang siapa yang membuka lahan di sana bakal kena sanksi berupa teguran atau denda. Prinsip pangale juga dikenal di Desa Powelua, Kabupaten Donggala. Jika pangale itu nekad dikelola jadi lahan perkebunan, pasti akan terjadi erosi dan longsor. 


Sementara itu ada juga konsep ‘kuhad jurame’ atau ‘kuhad alas’ di Komunitas Saluan di Lembah Tompotika, Kabupaten Banggai. ‘Kuhad jurame’ berarti hutan keramat yang mesti dilindungi setiap orang, sementara ‘kuhad alas’ berarti kawasan hutan yang bisa dikelola atau dimanfaatkan untuk fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. 


Masyarakat yang tinggal di Kabupaten Banggai, Tojo Una-una, dan Morowali, mengenal juga sistem pangale yang merupakan sistem pengelolaan hutan dan lahan lestari. Sedangkan pada masyarakat Laudje dan Dondo, Kabupaten Toli-toli mengenal sistem ulate, yaitu sama dengan sistem kepemilikan. Sementara, Masyarakat Kulawi, Kabupaten Sigi, mengenal sistem uaka. Sistem-sistem lokal itu mampu menjawab tantangan zaman dan teknologi yang lebih handal dalam menjaga hutan.


“Contoh-contoh di atas membuktikan kalau masyarakat Sulteng melestarikan hutan sesuai dengan kebutuhan mereka. Misalnya, masyarakat yang bergantung pada rotan atau damar, mau tidak mau akan mempertahankan hutannya agar tidak rusak,” jelas Azmi.


berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulteng, potensi lahan kritis di Sulteng mencapai 1 juta hektar, sementara pemerintah hanya mampu merehabilitasi hutan 15 hektar saja pertahunnya.


Pakar kehutanan Sulteng dan juga akademisi Universitas Tadulako Palu, Jamlis Lahandu mengatakan regulasi yang ada diciptakan untuk menyejahterakan masyarakat dan mempertahankan kawasan hutan yang lestari. Jangan lupa, hutan adalah sumber penghidupan dan akan memberi kontribusi kepada bangsa. 


Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay dan Green Radio. 



Sumber: http://portalkbr.com/nusantara/sulawesi/3331668_4445.html

Related-Area: