BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Hortikultura untuk NTT

Johanes Lalang
Hortikultura untuk NTT

Oleh: KORNELIS KEWA AMA

PENDIDIKAN Johanes Lalang ”hanya” sampai lulus sekolah menengah atas seminari di Hokeng, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Namun, pemahamannya terhadap budidaya tanaman relatif memadai. Penangkaran yang dia lakukan pada berbagai jenis hortikultura di Kabupaten Kupang memberikan manfaat besar bagi kesinambungan lingkungan hidup di provinsi ini.

Hasil penangkaran itu pun diminati sejumlah kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), juga masyarakat di Timor Leste. Bahkan, penangkaran yang dilakukan Lalang pun menjadi pusat studi mahasiswa dan kelompok petani dari sejumlah tempat.

Hutan di NTT memang terus tergerus setiap tahun. Panas menyengat bumi Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) selama sembilan bulan. Wilayah ini hanya mendapat hujan selama sekitar tiga bulan dalam setahun. Akibatnya, kekeringan pada sumber mata air di sejumlah tempat menjadi ancaman serius.

Keberpihakan pada pelestarian lingkungan di NTT, khususnya Pulau Timor, mendorong Lalang (50) mencurahkan perhatian khusus pada penangkaran hortikultura di kawasan ini. Dia merasa prihatin melihat hutan menjadi gundul, pohon-pohon ditebang, serta rumput dan ilalang yang kering kecoklatan pun dibakar orang.

Untuk mengubah perilaku sebagian warga yang suka menebang pohon dan membakar hutan setiap musim kemarau itu tidak mudah. Lalang berusaha melakukannya dengan menyediakan anakan hortikultura dari berbagai jenis. Pekarangan rumahnya yang seluas sekitar 800 meter persegi disulap jadi ”gudang” penangkaran.

Lalang bercerita, tahun 2006 dirinya bersama istri dan dua anaknya berkeliling Kota Kupang guna mencari biji dan anakan tanaman yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomis langsung, seperti mangga, jeruk, cendana, dan nangka. Namun, ketika itu, mereka kesulitan mendapatkan anakan tanaman tersebut di Kota Kupang.

”Kalau kami menemukan biji yang sudah tumbuh, langsung kami cabut dan pindahkan ke dalam polybag. Satu hari kami rata-rata hanya dapat 20-30 anakan atau biji tanaman. Waktu itu yang terkumpul sampai 21.200 anakan. Semua anakan tanaman itu kami jajarkan di pekarangan rumah, sampai penuh tanah ini,” cerita Lalang.
Hasil perburuan

Hasil perburuan Lalang tersebut didominasi berbagai jenis tanaman mangga, seperti harum manis, golek, udang, dan manalagi. Setelah itu, barulah menyusul tanaman jeruk, nangka, dan belimbing. Jenis-jenis tanaman ini dapat berbuah setelah berusia satu-dua tahun. Syaratnya, tanaman itu mendapatkan pupuk dan siraman air yang memadai.

Lalang juga berusaha membiakkan jenis tanaman lain, seperti durian, rambutan, sawo, lengkeng, sawit, salak, dan cempedak. Meski jenis-jenis tanaman itu bukan asli dari daerah NTT, dia tetap mencoba mengembangbiakkannya.

”Jenis tanaman itu memang jarang berkembang di daratan NTT, khususnya di Pulau Timor. Tetapi, kami dan warga beberapa pulau lain tetap mencoba mengembangbiakkannya,” katanya.

Beberapa jenis tanaman langka khas daerah tertentu di NTT juga kembali dia kembangkan. Tanaman itu misalnya jeruk kedang di Pulau Lembata yang terkenal manis, tetapi belakangan tanamannya sudah hampir punah.

Untuk itu, dia pergi ke Pulau Lembata, mencari biji jeruk kedang, dan mencoba mengembangbiakkannya di tempat penangkaran di Kupang. Jeruk tersebut mirip jeruk soe, tetapi rasanya lebih manis dan kulitnya relatif tebal.
Menggali sumur

Untuk mengatasi kekeringan yang biasa melanda NTT, Lalang tak kehabisan akal. Dia berusaha menyelamatkan anakan tanaman dari ancaman kekeringan itu dengan menggali sumur di samping rumah. Selain itu, dia juga mendirikan tenda darurat dari daun kelapa dan lontar yang berguna sebagai penghadang panas matahari.

Lalang kemudian mengumpulkan kotoran ternak sapi yang terdapat di hutan di sekitar rumahnya. Pupuk itu dia manfaatkan untuk menghidupkan anakan tanaman.

Dalam kurun waktu sekitar empat bulan, semua anakan tanaman itu tumbuh subur. Warga yang melintas di depan rumah Lalang pun terkagum- kagum melihat kondisi tanaman tersebut.

Mereka tertarik dan membeli anakan tanaman yang hijau dan segar untuk dikembangbiakkan di pekarangan rumah masing-masing, di kebun, pematang sawah, dan kawasan hutan yang dinilai bisa ditanami.

”Saya menjual anakan tanaman ini dengan harga murah. Satu anakan Rp 2.000 untuk semua jenis tanaman. Tetapi, jika mereka membeli lebih dari 100 anakan, saya kasih harga Rp 1.000 per anakan. Memang saya tidak mendapat untung besar. Ini sekadar mendapat uang untuk membeli polybag,” paparnya.

Lalang tak hanya menjual anakan tanaman, dia juga bertanggung jawab mengontrol tanaman itu di lahan yang ditanami konsumennya. Jika tanaman tak tumbuh, belum berbuah pada waktunya, atau menunjukkan tanda-tanda serangan hama, dia memberikan pengarahan kepada konsumennya atau menangani langsung.
Peminat bertambah

Tak heran jika peminat anakan tanamannya tersebar di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Rote Ndao, Lembata, dan Sikka. Bahkan, ada warga dari Timor Leste yang juga memesan ribuan anakan tanaman darinya.

Belakangan, setiap hari selalu ada konsumen yang membeli anakan tanamannya dengan harga Rp 1.000-Rp 10.000 per anakan, tergantung dari jenis tanaman dan proses penyemaiannya.

Lalang mengaku tak punya modal awal untuk upayanya itu. Dia hanya memiliki kemauan. Ini mengingat NTT yang kering dan tandus memerlukan tanaman sebanyak mungkin.

Alhasil, anggota kelompok tani dari sejumlah kabupaten pun dikirim untuk belajar di tempatnya. Lalang juga membentuk kelompok tani Abdi Laboratus yang beranggotakan 20 orang. Anggotanya diwajibkan melakukan pembinaan terhadap petani di sekitarnya secara sukarela.

”Tempat kami menjadi tempat pembelajaran bagi mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Kupang. Mereka belajar sesuai instruksi dari dosen masing-masing. Mereka belajar teknik okulasi, sambung pucuk, pemupukan, hama, juga teknik pemasaran. Saya sendiri yang mendampingi mereka,” katanya.

Bahkan, siswa SD sampai SMA pun datang ke tempat Lalang bersama guru mereka. ”Biar mereka juga belajar tentang pentingnya tanaman bagi lingkungan kita bersama. Di sini mereka mendapatkan pengetahuan tentang jenis-jenis tanaman dan fungsinya bagi kehidupan manusia,” ujarnya.

Pemerintah daerah setempat juga tengah menjajaki kemungkinan tempat itu menjadi pusat pelatihan pertanian dan pedesaan swadaya untuk pertanian (padi, jagung, sayur-mayur, bawang putih, bawang merah), perikanan (lele, mujair, udang), dan peternakan (ayam, sapi, babi, kambing).

 
—————————————————————————
Johanes Lalang
♦ Lahir: Lembata, Nusa Tenggara Timur, 18 Agustus 1963
♦ Istri: Bibiana Boleng
♦ Anak:
- Robi (25)
- Ari (15)
♦ Pendidikan: Setingkat SMA

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000000605297