BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kalumpang, ”Rumah” Tua Moyang Austronesia

TANAH AIR
Kalumpang, ”Rumah” Tua Moyang Austronesia

Oleh: Mohamad Final Daeng

NUN jauh di pelosok Sulawesi Barat, sebuah daerah bernama Kalumpang tergamang melintasi setiap zaman. Di balik kesunyiannya, Kalumpang menuturkan banyak kekayaan cerita tentang awal kehidupan nenek moyang kita di bumi Nusantara.

Dengan telaten, jari-jari Poloman (48) mengais tebing di salah satu tepian Sungai Karama yang tergerus erosi. Beberapa pecahan tembikar berukuran kecil hingga sedang ditemukan. Seraya dengan itu, sejumlah benda serupa dengan mudah dipungutinya dari permukaan tanah. ”Ini contoh pecahan yang banyak ditemukan di sini,” katanya.

Poloman adalah warga Desa Kalumpang, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Sulbar, yang menemani perjalanan Kompas ke situs-situs prasejarah di wilayah tersebut pada akhir Maret lalu. Desa Kalumpang berjarak 121 kilometer (km) ke arah timur laut kota Mamuju.

Lokasi penemuan sejumlah pecahan tembikar berada di Minanga Sipakko, salah satu situs prasejarah peninggalan bangsa Austronesia yang terletak 2 km dari Desa Kalumpang. Bersama situs Kamasi, sekitar 500 meter dari pusat Desa Kalumpang, keduanya biasa disebut situs Kalumpang.

Sejauh ini Kalumpang menarik perhatian arkeolog dunia sejak penelitian pertama oleh ilmuwan Belanda, Stein Callenfels, di Kamasi pada 1933. Penelitian dilanjutkan oleh Van Heekeren pada 1949 yang menemukan Minanga Sipakko.

Selain pecahan tembikar, baik bermotif maupun polos, di kedua situs juga ditemukan berbagai peralatan batu, seperti beliung persegi, pisau, mata panah, mata tombak, dan pemukul kulit kayu. Artefak-artefak itu menandai corak kebudayaan
neolitikum masyarakat pembuatnya.

Peneliti Senior Pusat Arkeologi Nasional Profesor Truman Simanjuntak mengatakan, situs Kalumpang adalah peninggalan Austronesia tertua di Nusantara dari jalur migrasi utara (Taiwan). ”Hasil penanggalan di situs itu mencapai usia 3.800 tahun,” ujarnya.

Karena itu, Truman menilai, Kalumpang menjadi titik penting menelusuri leluhur langsung bangsa Indonesia dan kehidupan awal mereka di Nusantara. Truman juga kerap melakukan penelitian di Kalumpang dan menghasilkan sejumlah buku serta tulisan ilmiah tentang situs tersebut.

Dalam konteks temuan tembikar, penanda utama kebudayaan Austronesia, Truman mengatakan, Kalumpang adalah situs terkaya di Asia Tenggara. ”Ada puluhan motif, hiasan, dan teknik pembuatan keramik yang ditemukan di Kalumpang,” lanjut Truman.

Peter Bellwood, dalam buku Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago terbitan tahun 2007, meyakini bahwa peralatan batu dan motif tembikar dari situs Kalumpang merupakan yang paling mirip dengan artefak neolitik. Artefak jenis ini ditemukan di Taiwan.

Salah satu teori yang populer menyebutkan, orang Austronesia bermigrasi dari Taiwan sekitar 5.000 tahun silam melintasi lautan menuju Filipina. Dari sana mereka menyebar ke Sulawesi dan Kalimantan, lalu ke seluruh kepulauan Nusantara dan pulau-pulau di Samudra Pasifik.

Ujung terjauh migrasi itu mencapai Pulau Paskah di timur dan Madagaskar di barat. Bahasa Austronesia pun menjadi ”moyang” dari sebagian besar bahasa yang digunakan di wilayah itu, termasuk Indonesia. Selain bahasa, peralatan batu, dan tembikar, orang Austronesia juga membawa budaya pertanian ke wilayah-wilayah tersebut.

Banyaknya penelitian arkeologis di Kalumpang tak hanya memunculkan peninggalan purbakala bernilai tinggi, tetapi juga menghidupkan identitas masyarakat Kalumpang. ”Orang Kalumpang menemukan kembali identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan luhur dan tua di Sulawesi,” kata arkeolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Iwan Sumantri.

Iwan mengatakan, sebelum dilakukan banyak penelitian di Kalumpang, masyarakat setempat masih beranggapan bahwa mereka bagian dari suku Toraja atau Mamasa, daerah tetangga Kalumpang. ”Namun, setelah masyarakat mengetahui riwayat daerah yang dihuni selama ribuan tahun, mereka berkeyakinan memiliki identitas tersendiri sebagai orang Kalumpang,” ujarnya.
Potensi besar

Menurut arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan, situs Kalumpang memiliki karakter neolitik murni yang sangat sulit ditemui di daerah lain di Indonesia. Namun, penelitian arkeologis yang dilakukan selama ini belum bisa menjangkau semua potensi sebaran situs. ”Masih banyak misteri yang belum terungkap,” kata Rustan.

Selain Minanga Sipakko dan Kamasi, BPCB Makassar juga mencatat setidaknya terdapat delapan situs lain yang belum dieksplorasi maksimal di wilayah Kalumpang. ”Perlu penelitian yang lebih intensif dan masif di situs-situs tersebut,” kata Rustan.

Kendala terbesar adalah luasnya wilayah Kalumpang yang mencapai hampir tiga kali lipat DKI Jakarta dengan medan bergunung-gunung dan banyak dilintasi sungai. Sebagian besar lokasi di pedalaman juga tak bisa diakses dengan kendaraan bermotor karena ketiadaan infrastruktur jalan yang baik.

Orang Kalumpang sendiri hidup bersahaja di dataran lembah subur yang dikelilingi pegunungan. Warga menyandarkan penghidupan dari menggarap pertanian dan hasil hutan, seperti padi, kakao, kopi, tanaman kayu, rotan, kemiri, enau, dan damar.

”Orang Luwu (tetangga Kalumpang yang masuk wilayah Sulawesi Selatan) dulu menyebut daerah kami Tanalotong. Artinya, ’tanah subur’. Kini, kami memakai nama itu untuk menyebut masyarakat adat kami,” kata Robert Eli Sipayo (71). Eli adalah tobara’ (ketua adat) Masyarakat Tanalotong yang menaungi Kecamatan Kalumpang dan wilayah sekitarnya yang didiami masyarakat adat Kalumpang.

Ketua adat Desa Kalumpang Silas Paindan (74) mengatakan, tanah pertanian Kalumpang sangat subur sehingga tak memerlukan pupuk untuk menumbuhkan tanaman. ”Suatu kali pemerintah pernah membagikan pupuk untuk program pertanian, tetapi akhirnya tak pernah dipakai karena tak dibutuhkan,” ujar Silas.
Ancaman

Meski demikian, kelestarian situs arkeologi dan kehidupan masyarakat di Kalumpang terancam. Pada 2011, pemerintah berencana membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Karama. Pembangunan PLTA yang bekerja sama
dengan investor dari Tiongkok itu akan menenggelamkan belasan desa di Kecamatan Kalumpang dan Kecamatan Bonehau untuk kepentingan waduk.

Ribuan warga yang terancam direlokasi pun menolak. Mereka berdemonstrasi menentang rencana itu. Selain akan mencabut masyarakat dari kehidupan dan tanah adatnya, pembangunan PLTA juga menghapus peninggalan prasejarah yang tak ternilai harganya. ”Sampai kapan pun kami tak akan biarkan itu terjadi,” ujar Eli.

Akibat resistensi tersebut, pembangunan PLTA belum terlaksana. Camat Kalumpang Oktovianus TP menambahkan, pemerintah dan investor tengah mengkaji ulang model PLTA yang akan dibangun tanpa harus menenggelamkan desa. Memang sudah seharusnya ”rumah tua” leluhur dijaga kelestariannya....

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006019032