BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kearifan Sastra dari Buton

WARISAN BUDAYA
Kearifan Sastra dari Buton
Susi Ivvaty
Ikon konten premium Cetak | 25 Juli 2015 Ikon jumlah hit 416 dibaca Ikon komentar 0 komentar

Suku Buton, Sulawesi Tenggara, mewarisi sastra Wolio yang biasa disebut Kabanti. Ada pula tradisi selawatan bernama Maulido. Sebagaimana sastra tutur di daerah lain di Nusantara, kedua warisan budaya itu menjadi media penyampai kearifan lokal dari leluhur untuk masyarakat sekarang.
Kelompok Maludu Wolio dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, melantunkan bait-bait dalam kitab Syarafal Anam, akhir Mei 2015 lalu. Acara maulido tidak hanya digelar pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi juga pada berbagai pentas seni, sebagian dengan menyertakan alat-alat musik modern.
KOMPAS/SUSI IVVATYKelompok Maludu Wolio dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, melantunkan bait-bait dalam kitab Syarafal Anam, akhir Mei 2015 lalu. Acara maulido tidak hanya digelar pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi juga pada berbagai pentas seni, sebagian dengan menyertakan alat-alat musik modern.

Oinciamo opu Manga pewauna/ Apamembali bari-baria batua/ sii saangu kabanti oni Wolio/ Ikarangina Abdul Rahim... Oineiamo faqiri makodosana/ ajaahili ikatumpuna opuna/ Sakiaiya agaafili mingkuna/ Inda saangu amalana malapena.

Kabanti atau syair dalam bahasa Wolio itu bermakna seperti ini: Dialah Tuhan yang menciptakan kita/ Menciptakan seluruh hamba/ Ini sebuah kabanti Wolio/ Yang dikarang Abdul Rahim... Dialah fakir yang berhutang/ jahil dari perintah Tuhannya/ Sifatnya senantiasa bejat/ tidak ada sesuatu amalnya yang baik.

Karya ini berjudul "Pakeana Arifu" atau pakaiannya orang yang arif, karangan Abdul Rahim pada abad ke-19. Ditulis dengan aksara Arab-Melayu (pegon), syair tersebut berisi petuah mengenai jalan kebaikan. Naskah kuno tersebut disalin ulang oleh Lambalangi.

"Kalau melihat syairnya, yang di bait kedua, kata ?dia bisa berarti siapa saja. Orang yang bejat dan tidak mengikuti ajaran kebaikan dari Tuhan. Pada sajak-sajak berikutnya, isinya petuah moral dan contoh-contoh" kata budayawan Buton La Ode Abdul Munafi, saat ditemui di Baubau, Sulawesi Tenggara, akhir Mei 2015.

Munafi menunjukkan salinan syair kabanti yang berjumlah 83 bait yang ditulis dengan tinta. Halaman bagian kanan ditulis dengan aksara Arab-Melayu. Aksaranya saja yang Arab, tapi bahasanya Wolio. Di bagian kiri, tulisan dengan alfabet biasa.

Sejak ratusan tahun lalu kabanti masyarakat Buton sudah akrab dengan kabanti. Orang-orang berpendidikan terbiasa bertutur dengan cara bersajak. Isinya bisa terkait berbagai tema, seperti hikayat, petuah kebaikan, hingga kehidupan berumah-tangga. "Saat ini cuplikan-cuplikan naskah dalam kabanti masih dilantunkan dalam bentuk nyanyian dalam acara-acara perayaan," kata Munafi.

Naskah kesusastraan Buton saat ini dikoleksi oleh beberapa keluarga pewaris atau pengumpul naskah, seperti koleksi almarhum AM Zahari yang mencapai 300-an judul. Kehadiran naskah susastra dalam khazanah kepustakaan Buton diperkirakan ada sejak abad ke-17 dan mencapai kegemilangan pada abad ke-19 pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-29, La Ode Muhammad Aydrus Qaimuddin. (Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, 2014).

?Kabanti mengandung gagasan dan perasaan penulis terkait dengan berbagai aspek kehidupan. Sebagai produk budaya, kabanti mencerminkan peradaban masyarakat pada masanya. Masyarakat sekarang berusaha melestarikannya agar bisa memahami identitas budaya sekaligus sebagai obyek telaah keilmuan.

Seni maulido

Selain kabanti, masyarakat Buton juga melanggengkan tradisi selawatan yang dikemas dalam ritual budaya Buton, maulido. Kata maulido diambil dari kata maulid atau kelahiran. Maulido, selawatan yang merujuk kitab Syarafal Anam ini mulanya memang dilantunkan pada saat perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kini, seni ini juga disuguhkan dalam berbagai perayaan, seperti khitanan dan pernikahan. Maulido merupakan contoh sangat gamblang bagaimana spirit Islam menyatu dengan budaya di Nusantara.

? Kelompok Maludu Wolio menyuguhkan tradisi maulido pada satu acara promosi pariwisata di Baubau pada akhir Mei 2015 lalu. Beberapa perempuan duduk melingkari rupa-rupa makanan yang tersaji di dalam sejumlah nampan. Rata-rata berusia di atas 50 tahun, mereka mengenakan busana adat lengkap, plus riasan wajah tipis. Masing-masing menabuh kendang berukuran besar sambil bernyanyi.

"Kami membacakan syair dari kitab Syarafal Anam dengan lagu kami sendiri. Mungkin lagunya bisa berbeda dengan di daerah lain. Biasanya semalam suntuk kami nyanyikan," kata Asri, pemimpin kelompok Maludu Wolio, satu-satunya lelaki yang tampil malam itu.

Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Buton, Ichsana Maliki, maulido kadang dipentaskan di panggung. Alasannya, untuk menjawab tantangan zaman. "Ada yang main biola juga, jadi modern. Ada kendang dan biola. Kalau dengan alat musik tiup tambah menarik," katanya.

? Begitulah. Kesultanan Buton yang multietnik telah memadukan ritual adat dengan ajaran Islam. Selawatan dan kabanti didengungkan sebagai bagian dari upacara adat seperti posipo (kehamilan anak pertama), pokuruya (potong rambut), tandaki (khitanan laki-laki), pesusu (tanda perempuan akil baliq), dan posuo (pingitan). Di wilayah eks Kesultanan Buton itu, aneka suku bangsa hidup secara damai. Ada 16 bahasa dengan 37 dialek yang dipergunakan.

"Kenapa kami terus bersatu? Karena menganut etik humanistik agama yang disatukan kesultanan," kata Munafi.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/07/25/Kearifan-Sastra-dari-Buton

Related-Area: