BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ketika Warga Pedesaan Tidak Tahu Memilih Calon

Pesta Demokrasi
Ketika Warga Pedesaan Tidak Tahu Memilih Calon

”APAKAH aparat desa bisa bantu warga yang buta huruf atau tidak paham tata cara mencoblos? Sebab ada empat lembar kertas yang harus dicoblos, yakni DPRD kabupaten, DPRD provinsi, DPR, dan DPD. Kemudian, ada 12 partai politik peserta pemilu. Mereka tidak tahu baca dan tulis.” Itulah pertanyaan Yoseph Klau Seran, Ketua RT 002 RW 003, Desa Lasaen, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Senin (31/3).

Yoseph menjelaskan, dalam Pemilu 1999 pun, aparat desa membantu warga yang tidak tahu baca-tulis atau tahu baca-tulis tetapi tidak paham mengenai empat surat suara yang ada. Aparat desa mengarahkan mana yang layak dipilih di tempat pemungutan suara.

Pernyataan Yoseph mengindikasikan betapa pemilu di sejumlah desa di pedalaman diarahkan aparat desa dengan alasan masyarakat tidak paham. Sangat beruntung bagi parpol yang memiliki kader kepala desa atau aparat desa setempat.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nikolaus Pira Bunga, mengatakan, tanpa pengarahan, banyak surat suara diyakini rusak. Pemilih mengambil keputusan sendiri tanpa mengetahui nama calon yang dipilih dan parpol bersangkutan. Kelompok pemilih seperti ini rata-rata berusia di atas 50 tahun atau kelompok buta huruf.

”Tidak heran kalau partai-partai lama, seperti Golkar dan PDI-P, mendapat pilihan terbanyak dari masyarakat. Bukan karena kesadaran memilih, melainkan karena keterdesakan waktu dan kebingungan. Tetapi, antara Golkar dan PDI-P, pemilih konservatif lebih memilih Golkar yang sudah terekam kuat di dalam hati dan pikiran mereka saat masa Orde Baru,” kata Pira Bunga.

Meski sejumlah caleg memperkenalkan nama dan gambar wajah di jalan-jalan dan kartu nama, di dalam bilik suara, gambar wajah itu tidak tampak, kecuali nama calon dan nomor urut. Sementara calon pemilih tidak tahu baca dan tulis. Kalau tahu pun, mereka bingung karena terlalu banyak nama dan gambar partai.

Hanya wajah calon anggota DPD yang terpampang dalam surat suara. Namun, jumlah calon anggota DPD sangat banyak sehingga membingungkan pemilih. Karena itu, sejumlah caleg atau calon DPD lebih suka mencari dukungan suara di desa-desa terpencil. Mereka bekerja sama dengan kepala desa dan aparatnya. Mereka menilai, kepala desa dengan mudah mengatur suara yang ada untuk caleg dan calon anggota DPD.

Pada kesempatan ini, aparat desa bertindak ”jual mahal”. Di salah satu desa terpencil di Pulau Adonara, Flores Timur, caleg kabupaten membayar ke kas desa Rp 1 juta-Rp 10 juta, caleg provinsi Rp 1 juta-Rp 12 juta, caleg pusat Rp 15 juta-Rp 20 juta, dan calon anggota DPD Rp 10 juta-Rp 15 juta. Pengumpulan dana ini untuk pembangunan rumah ibadah di desa itu. Namun, tidak semua caleg memenuhi permintaan ini.

Meski demikian, para calon tetap datang dengan memberikan janji jika terpilih permintaan itu akan dipenuhi. Sebagian calon hanya menitipkan kartu nama dalam jumlah ratusan eksemplar, sebagian menitipkan ”uang rokok” Rp 50.000-Rp 500.000 kepada kepala desa atau tokoh masyarakat.

Jika ada calon dari desa itu untuk kabupaten/provinsi pun harus membayar. Jika terpilih, sang anggota DPRD tidak
hanya mendapat honor, tetapi juga berpeluang melakukan korupsi bersama pemerintah daerah.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab menjelaskan dan menyosialisasikan tata cara mencoblos kepada warga desa? Tentu KPUD setempat, tetapi mereka tidak mampu menjangkau desa-desa itu.

Bimbingan teknik yang diberikan anggota KPUD juga tidak mudah dipahami setiap camat. Persoalannya, terlalu banyak calon dan parpol. Jika camat paham pun, belum tentu mereka sosialisasikan hal itu karena butuh dana khusus.
Banyak jasa

Calon yang dinilai banyak memberikan jasa kepada masyarakat akan mendapat dukungan lebih kuat dibandingkan calon yang tidak berbuat sama sekali. Jasa yang dimaksud adalah pemberian uang atau calon petahana yang sudah membantu pembangunan infrastruktur jalan, air bersih, dan kebutuhan masyarakat di desa itu.

”Calon seperti itu akan mendapat perhatian khusus dari masyarakat dan tetap dikenang kebaikannya. Masyarakat tidak peduli apakah barang dan jasa yang disumbangkan itu milik pribadi sang calon atau diperoleh lewat korupsi,” ujar Anis Seran, warga Malaka, NTT.

Meski demikian, banyak jasa bukan jaminan utama. Calon bersangkutan harus sering datang berkunjung kepada masyarakat untuk membangun komunikasi dan hubungan baik.

Seran mengatakan, dukungan suara yang diberikan kepada seorang caleg sangat mahal. Jika terpilih, sang caleg akan mendapat keuntungan ganda, yakni kesejahteraan ekonomi, status sosial, dan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki.
Sebaliknya, masyarakat yang telah memilih jarang mendapat perhatian.

”Mereka yang hanya memberi janji tanpa berbuat sesuatu pun untuk kami tidak akan pernah mendapat dukungan suara. Sudah banyak janji yang diberikan, tetapi orang bersangkutan tidak pernah menepatinya setelah terpilih,” kata Seran. Tokoh masyarakat Desa Baniona, Peten One, menyatakan, masyarakat ingin memilih calon petahana yang sudah berjasa membangun infrastruktur jalan setempat. (KORNELIS KEWA AMA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005793502