BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengangkat Keseharian Kampung dalam Sastra

Abdian Rachman
Mengangkat Keseharian Kampung dalam Sastra

Oleh: Videlis Jemali

KETIKA dunia sastra digempur kecenderungan budaya pasar, Abdian Rachman memilih mengangkat dunia yang dijalaninya sehari-hari, yaitu kampung. Pilihan jalan yang diambil penulis cerpen ini tampak, antara lain, dari sejumlah judul cerpennya, seperti ”Perempuan dalam Sakaya”, ”Kuburan Uak”, dan ”Sorea”. Ketiga cerpen itu terkumpul dalam buku ”Perempuan dalam Sakaya” yang terbit Oktober 2013.

Kata sakaya atau sampan, uak atau kakek, ataupun sorea yang berarti pengumuman untuk sebuah kegiatan di kampung dengan cara berteriak adalah kosakata bahasa Kaili, bahasa yang dominan digunakan warga di daerah Sulawesi Tengah.

”Saya memperkenalkan istilah-istilah lokal agar bahasa lokal kita tidak punah. Di samping juga karena kata- kata tersebut terasa lebih emosional, sastrawi, dan simbolis,” ujar pemuda berumur 26 tahun ini di Palu, Sulawesi Tengah, awal Maret lalu.

Abdian terpanggil untuk tinggal di kampung sejak ia menamatkan pendidikan pada Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Tadulako (FKIP Untad), Palu, tahun 2011. Dia kemudian mengabdikan diri sebagai guru honorer di SMP dan SMA di Desa Meli, Balaesang, Kabupaten Donggala.

”Kondisi ini pula yang menginspirasi saya menulis kehidupan sehari-hari orang Kaili, baik yang terekam saat ini maupun jauh pada masa silam,” cerita dia.

Anak ketiga dari lima bersaudara ini menekuni dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku kuliah tahun 2007. Pada tahun pertama kuliah itu, dia langsung bergabung dengan Sanggar Seni Bahana milik Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Untad.

Sanggar ini fokus menggarap seni lokal yang dikemas secara teatrikal dan musikal. ”Misalnya, kami menggarap balia dengan sentuhan panggung. Rasanya sangat mistis sekaligus simbolis,” ujar Abdian.

Balia adalah upacara adat penyembuhan orang sakit dalam kehidupan masyarakat Kaili. Upacara ini diiringi dengan alunan lalove (suling panjang), tabuhan gimba (kendang), serta tarian dan nyanyian.
Tetua adat

Sanggar Seni Bahana membawa Abdian ke dalam lorong waktu. Dia mulai mempelajari kebiasaan, ujaran, cerita rakyat, dan dongeng yang berkembang sejak zaman nenek moyang; nilai-nilai lokal yang belakangan ini semakin terdesak budaya pasar. Ketika pulang kampung, Abdian pun aktif berkomunikasi dengan para tetua adat.

”Mereka banyak menceritakan dan membandingkan kebiasaan pada masa mereka muda yang rasanya sulit dilakukan sekarang. Meski sebenarnya tradisi itu memiliki muatan nilai-nilai yang baik,” ucap Abdian, yang lahir di Desa Meli, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala, wilayah pesisir barat Sulawesi Tengah.

Misalnya tentang sorea. Dulu, ketika akan ada pertemuan warga di kampung, pemberitahuan dilakukan secara ”manual”, Seorang warga yang bertugas akan berteriak-teriak di sepanjang kampung, memberitahukan akan adanya acara itu. Bahkan, kebiasaan itu dipakai pula untuk kegiatan keagamaan.

”Di sini ada nilai pengorbanan dari sang pemberi sorea, maka warga pun mau datang ke tempat pertemuan. Selain itu, ada pula nilai keguyuban di dalamnya,” kata dia.

Untuk mencari inspirasi guna menulis cerpen-cerpennya, kadang kala Abdian sampai mendayung sampan seorang diri ke tengah laut di batas antara laut di Teluk Palu dan Selat Makassar.

Laut yang biru dan pegunungan yang melingkari kawasan tersebut mampu membuat dia merasa tenang untuk merekam kembali sebagian episode hidup masyarakat Kaili.

”Laut, sampan, dan para tetua adat saya jadikan dasar untuk menggali keseharian orang Kaili. Semua informasi itu kemudian saya coba mengangkatnya dalam dunia sastra. Sekarang ini saya baru sebatas mengangkat istilah, belum masuk ke dalam jantung pergulatan nilai kehidupan orang Kaili,” ujar Abdian.
Momentum

Modal yang dia dapat di sanggar ditambah dialog informal dengan tetua kampung mendapat momentum pada 2009. Abdian bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Untad. Keterampilan utama yang dia asah di sini adalah menulis. Di sini dia mengikuti berbagai kegiatan pelatihan dan tugas jurnalistik. Selain itu, ia juga belajar secara otodidak.

Hasilnya, pada tahun 2009 pula ia sudah menghasilkan cerpen pertama, Kupu-kupu Hijau. Sempat muncul di majalah dinding kampung, Abdian lalu mengirimkan cerpen itu ke Medika Publishing di Jakarta. Cerpennya diterbitkan tahun 2011 dalam antologi Karena Aku Tercipta Istimewa.

”Saya tidak dapat apa-apa (honor), tetapi itu membuka pintu untuk saya masuk lebih jauh ke dunia sastra,” ujar dia.

Dia semakin teguh mendalami dunia cerpen, baik melalui internet, buku, maupun komunikasi intensif, dengan sejumlah sastrawan, seperti Isbedy Stiawan ZS yang tinggal di Lampung. Dari mereka pula, Abdian belajar menulis cerpen.

Sampai sekarang cerpen karya Abdian yang sudah dipublikasikan ada 16 judul. Sebanyak 12 karya cerpennya terhimpun dalam Perempuan dalam Sakaya yang dicetak penerbit lokal di Palu. Sementara di luar 12 judul cerpennya itu tersebar dalam antologi yang diterbitkan di Jakarta dan Yogyakarta.
Sanggar seni

Selain mengajar dan menulis cerpen, di SMAN 2 Labean, Kecamatan Balaesang, dia juga mengasuh Sanggar Seni Hati. Lewat wadah itu, Abdian berusaha menarik kemampuan seni dalam diri siswa.

Di sanggar ini, dia menularkan kecintaannya pada teater serta menulis sastra seperti puisi dan cerpen, sesuatu yang dulu dia dapatkan di Sanggar Seni Bahana. Sesuai obsesinya, Abdian pun mengajak siswa menggarap isu pergulatan dan dinamika masyarakat Kaili.

Dalam kegiatan belajar-mengajar, Abdian kerap dianggap nyeleneh. Misalnya, apabila pada buku pelajaran cerita rakyatnya berasal dari daerah lain, dia akan bercerita pula tentang cerita rakyat Sulawesi Tengah.

Dari pengalaman belajar di Sanggar Seni Bahana dan mengasuh Sanggar Seni Hati, dia yakin masih banyak anak muda yang ingin menekuni dunia sastra.

”Apa yang perlu kita lakukan adalah memberi wadah dan membuka akses seluas-luasnya bagi mereka. Ini bisa dimulai dari pendirian sanggar seni hingga tersedianya rubrik khusus untuk cerpen dan puisi di media massa,” kata putra pasangan Suardin Moh Dali dan Djemari ini.

 
—————————————————————————
Abdian Rachman
♦ Lahir: Desa Meli, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng), 7 Juni 1988
♦ Pendidikan: Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Tadulako, Palu, Sulteng, 2007-2011
♦ Pekerjaan: Guru honorer  SMPN 3 dan SMAN 2 Balaesang, Donggala, Sulteng
♦ Karya:
- Perempuan Itu Bernama Ular dalam buku Titik Nol, Jakarta, Azam Jaya, 2011
- Kupu-kupu Hijau dalam  Karena Aku Tercipta Istimewa, Jakarta, Medika, 2011
- Namada dalam   Jendela Dua Mata, Jakarta, Deka Publishing, 2012
- Anak Tuhan dalam  Setiap Anak Terlahir Istimewa, Jakarta, Leutikaprio, 2012
- Perempuan dalam Sakaya, Palu, Nemu Publishing, 2013

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005357236