BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengikuti Kapal Gurano Bintang ke Kampung-Kampung Terpencil di Teluk Cenderawasih (2)

         
Sabtu, 05 April 2014 , 10:06:00
Mengikuti Kapal Gurano Bintang ke Kampung-Kampung Terpencil di Teluk Cenderawasih (2)
Digoyang Gelombang, Opor Tumpah, Makan Malam pun Tertunda

Perjalanan ke Kampung Yoar penuh kenangan manis. Anak-anak SD penuh semangat menyambut tim WWF Indonesia yang meninjau habitat hiu paus di Kwatisore. Tapi, hujan deras dan gelombang besar sempat membuat panik para penumpang KM Gurano Bintang.
JANESTI PRIYANDINI, Nabire
Kamis (20/3) pukul 05.00 Waktu Indonesia Timur, suasana di kapal motor (KM) Gurano Bintang (GB) sudah ramai. Seluruh penumpang sudah bangun. Malam pertama menginap di kapal GB sudah terlewati. Kami, penumpang perempuan yang berjumlah tujuh orang, tidur di dek bawah. Agak pengap dan panas karena ventilasinya kecil. Karena itu, kami harus menghidupkan kipas angin plus pendingin ruangan portabel.
Pukul 06.00, tim pemantau hiu paus dijadwalkan berangkat ke lokasi sasaran. Maka, begitu bangun tidur, para ABK (anak buah kapal) sudah sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Misalnya, Kapten Kapal Bardin Tandiono meminta koki Ruswanto menyiapkan sarapan pada pukul 05.30. Koki Anto "panggilan Ruswanto" pun mulai memasak pukul 03.00. Sementara itu, kru lainnya menyiapkan speedboat untuk menjemput tim tenaga pemantau hiu paus (TPHP) di Kampung Kwatisore.
Saya sebenarnya tidak terbiasa sarapan pagi. Tapi, karena kegiatan berlangsung sampai siang, saya harus mengisi perut. Sambil makan, saya menikmati udara segar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC). Kualitas udaranya berbeda jauh dengan udara Jakarta. Sangat segar. Pemandangannya juga indah. Laut biru dan bukit hijau dihiasi matahari terbit. Sempurna.
Pemandangan seperti itu sangat cocok untuk menyegarkan pikiran yang penat dengan rutinitas pekerjaan di kota. Apalagi di kawasan itu tidak ada sinyal untuk ponsel. Tidak ada bunyi notifikasi BBM atau WhatsApp atau telepon yang selama ini cukup menyibukkan. Pukul 06.00 tepat, tim pemantau hiu paus berangkat dengan speedboat. Kami kemudian menjelajahi wilayah yang selama ini menjadi habitat ikan raksasa itu. Baru setelah matahari di ubun-ubun, kami kembali ke kapal GB. Tapi, kali ini posisi kapal sudah berpindah tempat. Bukan di Kampung Kwatisore lagi, melainkan di Kampung Yaor. Jarak dari Kwatisore ke Yaor sekitar 3 jam pelayaran.
Sampai di kapal GB, sebagian kru yang tertinggal sedang ke darat. Mereka mendatangi anak-anak SD di sana. Mengajarkan konservasi lingkungan dan pentingnya kesehatan. Tiba-tiba, radio frekuensi di ruang kemudi berbunyi: "Gurano monitor, gurano monitor"" Itu suara Yuni, salah seorang tim fasilitator WWF (World Wildlife Fund) Indonesia. Dia meminta kru segera mengantarkan bubur kacang hijau yang sudah matang ke lokasi penyuluhan. Sekaligus meminta kru bersiap-siap. Sebab, sebentar lagi anak-anak SD berkunjung ke kapal.
Hery dan Tasmin, kru ABK, langsung menyiapkan speedboat untuk mengantar kacang hijau ke darat. Bagi anak-anak, didatangi atau mendatangi kapal GB seperti tamasya. Mereka sangat senang bisa melihat pemandangan dan suasana yang baru. Apalagi mereka mendapat oleh-oleh makanan dan alat tulis, boneka, serta suvenir lainnya.
Sejam kemudian, terdengar suara anak-anak menyanyi riang dari kejauhan. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Anak-anak kelas 4"6 yang berjumlah 40 orang itu lalu berbaris di pinggir dermaga, menanti speedboat menjemput menuju kapal GB yang sandar tak jauh dari dermaga.
Lantaran jumlahnya banyak, speedboat harus empat kali bolak-balik antar-jemput anak-anak itu. Tapi, baru dua kali speedboat bekerja, hujan turun. Meski begitu, anak-anak tetap sabar menunggu. Demi pengetahuan baru yang akan didapat, mereka seperti tidak peduli kehujanan. Ternyata yang datang bukan hanya anak-anak dan guru. Ada juga warga kampung. Mereka membawa dua tas plastik besar berisi pisang dan buah langsat. Itu oleh-oleh dari mereka buat kami. Di Yaor sedang musim buah langsat, sejenis duku tapi rasanya lebih asam. Oleh-oleh tersebut juga menjadi tanda terima kasih.
Setelah semua berkumpul di kapal GB, anak-anak diminta duduk mengelilingi ruang serbaguna. Mereka diajak menyaksikan film animasi tentang biota laut melalui DVD. "Kalian harus nonton dengan cermat. Setelah ini ada pertanyaan untuk kalian," kata Yero, staf WWF yang asli Papua.
Anak-anak juga diajari bernyanyi. Lirik lagu yang diajarkan ternyata ada di papan tulis. Berbahasa Spanyol dan Indonesia: Le mar estaba serena, serena estaba le mar. Laut itu sungguh tenang, tenang sungguh laut itu. Kegiatan tim WWF setiap berkunjung ke kampung-kampung memang selalu melibatkan anak-anak. Menghibur mereka, mengajak anak-anak berkeliling kapal, dan berkenalan dengan kru kapal GB. Sayang, siang itu hujan semakin deras. Terpal di samping kanan dan kiri kapal terpaksa diturunkan karena air hujan mulai masuk ke dalam kapal. Anak-anak yang duduk di tepi semakin merapat satu sama lain. Air hujan mulai mengenai baju mereka.
Tapi, sekali lagi, mereka tidak merasa risi atau tidak nyaman. Mereka malah semakin keras menyanyi. Sambil tepuk tangan. Sampai hujan reda. Tapi, sampai sore hujan tak juga reda. Maka, mau tidak mau, speedboat mesti menerjang hujan untuk mengantar anak-anak ke kampungnya, Yoar. Anak-anak melambaikan tangan setibaya di dermaga. Mereka mengiringi kapal GB kembali ke Kwatisore. Menanti Gurano Bintang mengunjungi kampung mereka lagi.
Kapal meninggalkan Yoar pukul 17.00 dalam kondisi hujan yang semakin deras disertai angin kencang. Tak ayal, kapal pun bergoyang ke kanan dan ke kiri. Saya yang semula berada di dek bawah terpaksa naik ke atas. Gelombang laut sore itu benar-benar membikin perut saya mual. Kalau tetap berada di bawah, bisa-bisa saya mabuk dan muntah.
Saya lalu bergabung dengan teman-teman di ruang makan. Untuk melupakan goyangan kapal yang dahsyat, kami nonton film The Lone Ranger lewat DVD player. Awalnya kami bisa tertawa terpingkal-pingkal. Tapi, lama-kelamaan, satu per satu beringsut dari ruangan. Ada yang tidur, ada yang naik ke atas. Sebab, goyangan kapal semakin kuat. Saya dan Yero memilih duduk sambil makan buah langsat oleh-oleh warga Kampung Yaor. Rasa asam buah tersebut ternyata bisa menetralisasi rasa mual di perut. Koki Anto terlihat masih sibuk mondar-mandir. Meski kondisi kapal sedang goyang "disco", dia harus tetap menyiapkan makan malam untuk kami. Jadwal makan malam pukul 19.00. Karena itu, dia mesti mulai memasak dua jam sebelumnya. Dia tidak ingin jadwal makan molor. Koki Anto memang sangat menghargai waktu.
Kru ABK Gurano Bintang sudah menganggap kapal itu sebagai rumah. "Lagi bersandar pun saya tetap tinggal di kapal. Ke daratnya kalau pas mau beli pulsa," kata Anto saat kami menunggu anak-anak Yaor datang. Beny Ahadian Noor, project manager WWF, menyatakan, kerja para kru ABK tidaklah mudah. "Berat bekerja di wilayah dengan tantangan medan dan alam seperti ini. Tidak banyak yang mau," ucapnya.
Karena itu, mereka yang telah menjadi kru Gurano Bintang adalah orang-orang kuat. Mereka memiliki motivasi dan semangat serta dedikasi tinggi untuk pelestarian lingkungan. Itulah yang membuat mereka enjoy dan happy di segala kondisi. "Tim ini sangat fleksibel. Melekat ke mana pun kapal ini pergi. Para kru ABK juga bagian dari tim fasilitator PLH (pendidikan lingkungan hidup)," jelasnya. Tidak hanya mengendalikan kapal, mereka juga memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai fasilitator. "Mereka ini kru plus-plus," tuturnya. Tiba-tiba Anto terlihat sibuk bolak-balik dari arah dapur. Dia lalu keluar lagi mengangkat kompor minyak. Kami bingung melihat tingkahnya.
"Opornya tumpah semua," teriaknya panik. Rupanya, wajan berisi opor ayam yang dia letakkan di atas kompor minyak tumpah gara-gara gelombang besar yang menggoyang kapal. Kuahnya masuk ke dalam kompor. Daging ayam yang sudah empuk pun berserakan di lantai dapur. Hanya tersisa beberapa potong di wajan. Beberapa kru lalu membantu Anto membersihkan dapur. Meski begitu, kepanikan di wajah Anto belum hilang. Dia masih terlihat bingung. Sudah hampir pukul 7 malam makanan belum siap. Padahal, penyiapan makanan menjadi tanggung jawabnya. "Makan malamnya telat. Jadi, jangan marah-marah nanti, ya," kata Anto kepada kami. Untuk mengobati kepanikan, Anto lalu memainkan musik dari MP3 player-nya. Player itu disambungkan ke loudspeaker. Dia memainkan lagu Stronger milik Kelly Clarkson. Anto lalu duduk terdiam sambil mendengarkan lagu itu. Saya dan Yero tertawa terpingkal-pingkal melihat Anto yang meratapi "cobaan" di dapur tersebut. Mungkin dia sedang memotivasi diri supaya kuat sehingga perlu mendengarkan lagu Stronger. Tawa saya dan Yero semakin keras mendengar celetukan Anto. "Ini semua gara-gara lagu Spanyol itu. Le mar estaba serena, laut itu sungguh tenang. Tenang apanya" Laut ini sungguh tidak tenang. Opor ayam saja tumpah. Besok lagi tidak usah kau ajarkan anak-anak menyanyi lagu itu. Lautnya nanti malah jadi tidak tenang lagi," kata Anto.
Malam itu kapal kami tiba di Kwatisore sekitar pukul 20.00. Menu makan malam yang disiapkan Anto berubah jadi mi goreng dan ikan goreng. Dia memilih makanan yang praktis dan cepat memasaknya. Rupanya, kejadian lucu tak berhenti di situ saja. Esoknya, saya ikut rombongan Kepala Balai TNTC Ben Gurion Saroy kembali ke Nabire. Sampai di darat, Pak Ben, panggilan dia, meminta stafnya menurunkan ikan laut yang dia beli di bagan ketika kami memantau hiu paus. Staf Pak Ben lalu menurunkan tas plastik hitam seperti yang diperintahkan.
Namun, setelah dibuka, dia kaget. Sebab, isinya bukan ikan laut, melainkan daging ayam. Dia lalu menjelaskan kepada Pak Ben bahwa yang diambil itu adalah satu-satunya tas plastik hitam di pendingin. Tidak ada tas plastik yang lain. Lalu, di manakah ikan itu" Usut punya usut, ternyata ikan milik Pak Ben itulah yang dimasak Anto untuk makan malam. Rupanya, karena bingung opornya tumpah, Anto yang melihat ada ikan di kulkas langsung punya ide untuk menggorengnya. Dia tidak tahu bahwa ternyata ikan tersebut milik Pak Ben. Mengetahui kisah itu, seisi kapal GB langsung tertawa terpingkal-pingkal, termasuk Pak Ben. (*/bersambung/ari)

Sumber: http://www.radarsorong.com/index.php?mib=berita.detail&id=22644