BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mereka Terpencil di Kalumpang

Tanah Air
Mereka Terpencil di Kalumpang

Oleh: Mohamad Final Daeng

ENTAH berapa ribu kali tubuh harus berguncang saat berkendara dari ibu kota Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, menuju Kecamatan Kalumpang, wilayah pedalaman di kabupaten tersebut. Dengan jarak 121 kilometer, sepertiganya harus ditempuh melewati jalur yang rusak parah.

Aspal mulus yang melapisi jalan dari pusat kota Mamuju berakhir saat masuk Desa Salubatu, Kecamatan Bonehau. Dari lokasi itu menuju Desa Kalumpang, ibu kota Kecamatan Kalumpang, sebenarnya tersisa perjalanan sekitar 40 km. Namun, diperlukan waktu tiga jam untuk menempuhnya.

Sisa perjalanan harus melewati jalan yang hanya berbalut aspal dengan kondisi ”compang-camping”, batu, kerikil, dan tanah. Topografi jalur yang berliku-liku menyusuri lereng bukit dan sesekali menembus hutan semakin menambah ”keras”-nya perjalanan.

Kesulitan bertambah karena di sepanjang jalur Salubatu-Kalumpang terdapat 16 anak sungai yang memotong jalan. Bahkan, kendaraan harus menerobos sungai karena tak ada jembatan. Sebab itu, kondisi jalan menjadi keluhan abadi setiap warga Kalumpang yang berjumlah 15.494 jiwa. Jalan yang hancur membuat Kalumpang seakan terputus dari dunia luar. ”Harapan terbesar kami sejak dulu adalah perbaikan jalan,” ujar Tobara’ (ketua adat) Desa Kalumpang, Silas Paindan (74).

Satu-satunya angkutan umum yang menghubungkan Mamuju dengan Kalumpang adalah mobil pikap yang baknya dimodifikasi untuk mengangkut orang dan barang. Namun, angkutan yang kebanyakan dioperasikan warga Kalumpang itu tak memiliki jadwal tetap, tetapi bergantung dari ada atau tidaknya muatan.

Saat musim hujan tiba, jalan juga semakin berbahaya. Sungai-sungai yang dilanda banjir berarus deras sehingga tak memungkinkan dilewati kendaraan roda empat. Hanya kendaraan roda dua yang bisa melintas. Itu pun dengan bantuan rakit yang disewakan penduduk setempat.

Sejak sekitar 3.800 tahun lalu, Kalumpang sudah dihuni manusia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya temuan tembikar dan peralatan batu dari zaman Neolitikum. Artefak-artefak itu merupakan peninggalan bangsa Austronesia, leluhur bangsa Indonesia kini (lihat tulisan ”Kalumpang, ’Rumah’ Tua Moyang Austronesia”).

Namun, akses jalan darat menuju Desa Kalumpang baru dibuka tahun 1990-an. Sebelum itu, satu-satunya cara mencapai daerah di ujung tenggara Kabupaten Mamuju itu ialah berjalan kaki menyusuri jalan setapak atau mengarungi Sungai Karama sejauh 80 km dari muara di pesisir.

Ketua Adat Masyarakat Tanalotong Robert Eli Sipayo (71) mengatakan, akibat terisolasi dari dunia luar, Kalumpang sejak dulu tak pernah merasakan penjajahan Belanda. Tanalotong adalah sebutan lain Kalumpang yang berarti ’wilayah dengan tanah subur’.

Sungai Karama yang beraliran deras itu hingga kini masih menjadi andalan utama warga dari dan menuju desa-desa di pelosok Kalumpang. Hal itu karena jalan darat dari Mamuju baru terbuka hingga Desa Kalumpang.
Biaya tinggi

Poloman (48), warga Kalumpang yang juga menjadi operator ketinting, mengatakan, untuk menuju Desa Karama yang berjarak sekitar 30 km dari Desa Kalumpang dibutuhkan dua kali perjalanan perahu yang diselingi sekali perjalanan ojek motor. ”Lama perjalanan sekitar tiga jam dengan biaya mencapai Rp 170.000 per orang,” kata dia.

Sulitnya akses transportasi membuat biaya hidup di Kalumpang tinggi. Camat Kalumpang Oktovianus TP menambahkan, musim hujan membuat urusan transportasi makin sulit. Buntutnya, harga kebutuhan pokok bisa meningkat 30-100 persen.

Semakin jauh ke pedalaman, harga-harga barang juga semakin tinggi. Julius Bunga (68), tokoh masyarakat Desa Kalumpang, mencontohkan, harga semen yang normalnya Rp 80.000 per zak melonjak jadi Rp 200.000 per zak di Desa Salumakki, desa di pegunungan yang berjarak 50 km dari Desa Kalumpang.

Petani adalah salah satu sosok yang paling merana akibat buruknya infrastruktur jalan. Mereka harus menerima harga rendah saat menjual panen karena pedagang pengumpul mesti menanggung biaya transportasi tinggi.

Saldi (50), petani kakao, mengatakan, ia menjual biji kakao kering kepada pengepul kecil di Kalumpang Rp 26.000-Rp 27.500 per kilogram (kg). Padahal, harganya bisa mencapai Rp 30.000 per kg jika dijual kepada pengepul besar di Lebbeng, 80 km dari Kalumpang. ”Namun, menjual lewat pengepul di Kalumpang masih lebih untung daripada harus menjual sendiri ke Lebbeng. Sebab, selisihnya tak menutup biaya transportasi,” ucap Saldi.

Hal sama dirasakan petani kopi, Herman (52), yang pasrah menjual hasil panennya kepada pengepul Rp 15.000 per kg dari harga pasaran Rp 20.000 per kg di kota Mamuju. ”Pernah saya jual langsung ke Mamuju, tetapi malah rugi karena uang habis untuk transportasi,” kata dia.
Kekayaan alam

Camat Oktovianus mengatakan, Kalumpang punya potensi kekayaan alam besar. Selain komoditas pertanian dan hasil hutan, terdapat juga tambang, seperti emas, bijih besi, nikel, dan batubara. ”Bahkan, ada indikasi Kalumpang punya kandungan uranium,” kata dia.

Namun, potensi itu tak bisa dikelola maksimal akibat infrastruktur jalan yang menyedihkan sehingga investor enggan berinvestasi modal. Itulah yang menyumbang kemiskinan di Kalumpang 15-20 persen.

Oktovianus bercerita, pernah ada investor yang tertarik berbisnis damar di Kalumpang. Namun, setelah dihitung-hitung, biaya produksi membengkak akibat tingginya biaya transportasi. ”Harga jual damar tak bisa menutupi biaya sehingga investor mundur,” ujar dia.

Sejak awal tahun ini, sedikit harapan muncul. Dua perusahaan nasional berniat membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memanfaatkan aliran Sungai Karama di Desa Karama. Pembangunan kedua PLTA itu diharapkan bisa ”membebaskan” warga Kalumpang dari jerat keterpencilan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005859462