KOTA Manado sementara dilanda krisis identitas secara khusus identitas tentang kebudayaan. Hilangnya ‘tanda pengenal’ dari Kota Manado sebagai bagian dari tanah Toar Lumimuut, merupakan sebuah hal yang sangat krusial yang dihadapi para generasi saat ini. “Jika kita berkunjung ke kota-kota lain seperti Bali, Balikpapan, Makassar, Lombok, kita akan langsung disambut ornament-ornamen kebudayaan setempat begitu tiba di bandara. Di Manado sendiri, ornament-ornamen yang menggambarkan budaya kita, budaya Minahasa sangat minim. Kita secara tidak langsung dijajah oleh para investor dimana di pusat kota di tempat-tempat perbelanjaan maupun di hotel-hotel dibangun ornament-ornamen dari budaya asing ataupun ornament modern,” tegas Tonaas Wangko Brigade Manguni Indonesia (BMI) Decky Maengkom dalam diskusi public bersama Pemkot Manado dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) bekerjasama dengan BMI dan Manado Post di Hotel Aryaduta, Jumat (29/3) kemarin.
Maengkom juga mengkritisi pemerintah daerah baik Gubernur sampai bupati/wali kota yang tidak begitu mementingkan unsur-unsur kebudayaan dalam melaksanakan pembangunan. “Minta maaf, tapi Pemda baik gubernur sampai bupati/wali kota sangat tidak mementingkan nilai-nilai budaya. Mereka tidak menjaga identitas kebudayaan di Manado maupun di Sulut secara umum,” tukasnya.
Karena itu Maengkom mengusulkan dari dialog tersebut, ada rekomendasi yang meminta eksekutif dan legislatif membuat Perda yang mewajibkan ornamen Minahasa di seluruh penjuru tanah Toar Lumimuut ini. ‘’Termasuk Kota Manado, mulai dari bandara sebagai pintu gerbang, sampai di hotel-hotel dan pusat-pusat perbelanjaan harus ada ciri khas Minahasa. Misalnya patung burung manguni, tarian kabasaran, atau relief-relief dan ukiran-ukiran yang menandakan identitas Minahasa. Tetapi harus dimulai dari kantor pemerintahan. Misalnya di pintu gerbangnya, dibuat gapura khas Minahasa,’’ ujar Maengkom.
Ivan Kaunang, pakar kebudayaan yang merupakan dosen di Unsrat menjelaskan bahwa Manado harus memiliki sebuah identitas yang khas, yang mencerminkan kebudayaan lokal. “Apa yang kita punya dan tidak dimiliki tempat lain? Ini yang menjadi pertanyaan kita bersama, kita harus merumuskan apa yang menjadi identitas dari Kota Manado yang harus mencerminkan kebudayaan,” ungkap Kaunang. “Memang kita tau bahwa Manado merupakan tempat terkumpulnya berbagai macam kebudayaan dari berbagai macam suku,” ujar Kaunang.
Hal yang sama diungkapkan Fendy Parengkuan, seorang sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Unsrat dan juga seorang penulis berbagai literature tentang sejarah Minahasa juga beranggapan bahwa Manado mengalami krisis kebudayaan. Parengkuan dalam pemaparannya mencoba melakukan kilas balik jaman sekarang dan menjelaskan tentang perjalanan perubahan kebudayaan di Minahasa.
Sastrawan sekaligus pemerhati budaya Freddy Wowor mengklaim bahwa hilangnya identitas dari kota Manado tidak selalu berasal dari kurangnya ornamen-ornamen yang menunjukkan identitas budaya lokal. Namun hilangnya identitas budaya lokal terjadi akibat merosotnya mental dari masyarakat setempat. “Hal yang paling mendasar yang menyebabkan kurangnya nilai identitas kebudayaan di Manado terlebih Minahasa akibat mental sebagian masyarakat yang tidak lagi menganggap budaya local itu patut dilestarikan,” tegas pria berambut panjang ini.
Setelah pemaparan poin-poin penting dari narasumber-narasumber yang kompeten ini, diskusi public dimulai dengan pengutaraan pendapat dari tiga penyangga dan dilanjutkan para audience yang hadir.
Benny Matindas, pemerhati kebudayaan Minahasa mengutarakan pendapatnya tentang kemerosotan nilai-nilai identitas kebudayaan di Kota Manado. “Saya setuju bahwa kemerosotan nilai-nilai budaya terdapat pada orangnya. Jadi walaupun ornamen-ornamen kebudayaan sangat menonjol tapi mental masyarakat yang tidak menjunjung nilai-nilai kebudayaan, maka tidaklah berguna berapa banyak ornamen budaya yang dipasang. Meskipun ornament seperti ini sangat penting mengingat sebagai bentuk cerminan kebudayaan yang melekat di Kota Manado,” tegasnya.
Senada, Matulandi Supit juga menambahkan bahwa faktor identitas yang paling penting dalam menunjukkan identitas sebagai warga Manado. “Sekali lagi identitas memang merupakan faktor yang paling penting dalam menonjolkan identitas budaya kita,” katanya.
Mewakili unsur pers, Tommy Waworundeng mengusulkan, sejarah Minahasa harus diajarkan sejak dini di bangku sekolah dasar (muatan lokal). “Sejarah Minahasa harus terus diajarkan dengan memasukannya di mulok di sekolah-sekolah dasar. Agar generasi penerus kita ingat akar budaya leluhurnya. Tetapi legenda leluhur kita Toar Lumimuut juga penting untuk ditelusuri dan dibuatkan sejarahnya,” ungkap redaktur pelaksana Manado Post ini.
Alex Ulaen sebagai ilmuwan dan sejarahwan menekankan perlunya penyiapan ruang untuk pengembangan berbagai pendapat dan gagasan tentang identitas Kota Manado. “Manado Post perlu menyiapkan ruang untuk mengembangkan berbagai pendapat, gagasan yang tersaring dan teruji tentang identitas kota Manado,” tukasnya.
Sementara Jotje Koapaha seorang ilmuwan sejarah menilai perlu adanya referensi yang komprehensif terkait sejarah Manado. “Di Indonesia banyak penulisan sejarah yang direkayasa, Manado harus punya referensi komprehensif untuk penyusunan buku sejarah,” ujarnya.
Sementara itu Pdt Richard Siwu memberikan beberapa masukan dalam dialog tersebut. “Saya pikir perlu adanya kajian mendalam tentang penegasan identitas Manado dengan tinjauan berbagai disiplin ilmu. Selain itu dalam aspek pendidikan perlu dihidupkan lagi tentang muatan lokal seperti bahasa daerah,” katanya.
Ditambahkannya, perlu ada pelestarian cerita rakyat yang telah dibukukan. “Mari kita lestarikan lagi cerita rakyat yang mengandung banyak makna mendalam bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Menurut Jhony Rondonuwu, seorang praktisi budaya menilai perlunya tindak lanjut pembentukan perda tentang identitas Manado. Hal ini diamini Henri Ngantung, seorang praktisi budaya Tombulu. Ia berharap nantinya akan ada Perda khusus yang mengatur identitas dan status Kota Manado. “Topik ini harus ditindaklanjuti dan diperdakan,” katanya.
Hendrik Ben Palar, budayawan dan sejarahwan mengatakan, perlu kesepahaman persepsi dan kajian komprehensif dalam menyusun identitas Manado. “Pemerintah jangan tutup mata dengan kebudayaan yang merupakan aset kita bersama,” ungkapnya.
Selain itu berbagai pihak menilai sangat penting dibuat suatu tim pencari dan penyusun identitas Manado seperti Richard Rhemrev sebagai seniman dan penulis karya seni, Eduardo Paulus Heydemans seorang praktisi budaya, Jantje Sambuaga praktisi budaya dan teolog, Sofyan Yosadi praktisi Budaya Tionghoa, Johanis Posumah praktisi seni budaya Minahasa. “Perlu tindak lanjut nyata dengan membentuk Tim Penyusun Identitas Manado. Buat satu tim untuk mencari identitas Manado dan jangan berhenti sebelum mendapatkan kejelasan,” papar mereka.
Aktivis Organisasi Budaya Masry Paturusi juga menekankan pentingnya pelurusan sejarah HUT Manado. “Mengapa momen bersejarah seperti HUT Manado seperti tidak ada penjelasan,” kata Paturusi.
Olga Peleng juga menilai perlu penguatan karakter kearifan lokal dalam status dan identitas Kota Manado untuk diwariskan pada anak cucu. “Identitas sebagai bentuk penghormatan leluhur dan orang tua yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita,” ungkapnya.
Rudolf Warouw, seorang warga Manado juga menghendaki perlu adanya tinjauan kajian Manado sebagai kota toleransi dunia berdasarkan acuan UNESCO untuk memperdalam status/identitas Kota Manado. “Toleransi datang dari hati dan tercermin dalam kehidupan kita sehari-hari,” ucapnya.
Sementara menurut Johanis Posumah, praktisi seni budaya Minahasa diperlukan pengangkatan nilai kepahlawanan orang Minahasa sebagai identitas Manado. “Dan juga kajian tentang asal usul orang Minahasa,” tambahnya.
Decky Maengkom juga menegaskan akan memperjuangkan hasil rekomendasi forum dialog BMI. “Kita akan melobi DPRD dan pemerintah untuk dibuat Perda tentang budaya Minahasa dalam status dan identitas Manado,” tegasnya.
Panda Manajang, Masyarakat Adat Pakasaan Ne Tounsea juga mengingatkan tentang perawatan situs sejarah di Manado. “Perlu pembenahan terhadap situs sejarah yang ada di Manado sebagai obyek wisata karena merupakan aset berharga,” tambahnya.
Carlos Pesik mewakili mahasiswa juga menilai pentingnya nilai-nilai pendidikan berbasis kearifan lokal. “Nilai pendidikan yang mengacu pada para Tonaas perlu dimasukkan ke dalam sistem pendidikan saat ini,” ujarnya.
Sementara itu Prof Dr Pdt WA Roeroe mengusulkan Minahasa Rad dijadikan museum Sam Ratulangi sekaligus museum Minahasa. “Di dalamnya berisi seluruh dokumen identitas dan status sejarah yang akan diwariskan pada anak cucu kita,” ucapnya.
Pdt Roeroe juga meminta agar stop menyebut burung manguni sebagai burung hantu. ‘’Kita harus mensosialisasikan agar masyarakat Minahasa stop menyebut Manguni itu burung hantu. Itu burung pembawa kabar baik bagi kita. Ini karena ajaran yang salah dari Belanda sampai kita ikutan menyebutnya burung hantu,’’ ujar Pdt Roeroe yang lama studi di Belanda.
Fredy Wowor mengatakan identitas merupakan cara kita memandang atau membayangkan diri kita menjadi apa. “Tujuan utamanya agar generasi ke depan akan memiliki tujuan dan panutan,” tukasnya.
Dalam sabutan penutupnya, Kadis Pariwisata Kota Manado Hendrik Waroka menyampaikan pokok-pokok pikiran bersama. “Pertama, dinamika saat ini yakni dinamika penyadaran status dan identitas kita yang masih perlu dibedah secara komprehensif,” ujarnya. Dilanjutkan Waroka, nilai-nilai luhur tersebut harus lahir dari diri kita sendiri. Katanya, pada akhirnya butuh perenungan bersama untuk menghasilkan nilai-nilai dan karya yang besar. “Karena tujuan entitas budaya adalah mempersatukan dan mempererat kebersamaan,” tutupnya. (*)
Sumber: http://mdopost.com/
- Log in to post comments
- 310 reads