BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pemanfaatan PLTA Poso Masih Minim

Kelistrikan
Pemanfaatan PLTA Poso Masih Minim

PALU, KOMPAS — Sejak diresmikan pada akhir tahun 2012, hingga Jumat (21/2), pemanfaatan listrik dari pembangkit listrik tenaga air di Desa Sulewana, Poso, Sulawesi Tengah, belum maksimal. Dari kapasitas terpasang PLTA Poso 2 sebesar 195 megawatt, PT Perusahaan Listrik Negara hanya memanfaatkan sekitar 95 MW.

Ini artinya sekitar 100 MW belum bisa dimanfaatkan oleh PT PLN. Padahal, target awalnya, November 2013, Sulteng sudah bisa menikmati energi ramah lingkungan yang bersumber dari air Danau Poso.

Kepala Perusahaan Listrik Negara Area Palu Novalince Pamuso mengatakan, kendalanya adalah pemasangan transmisi di beberapa titik sepanjang 23 kilometer yang belum bisa dilakukan. ”Ini karena topografi wilayah yang bergunung-gunung dan akses untuk pengangkutan material agak sulit sehingga pengerjaannya terkendala,” tutur Nova.

Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sulteng, PLN membangun PLTA melalui pihak ketiga dengan memanfaatkan air terjun Sungai Poso di Desa Sulawena, Kecamatan Pamano Utara, Poso. Ada tiga pembangkit yang dibangun, yaitu PLTA Poso 1, PLTA Poso 2, dan PLTA Poso 3. PLTA Poso 2 yang selesai dikerjakan dikhususkan untuk tiga provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulteng.

”Pasokan listrik dari PLTA Poso sangat diperlukan untuk Kota Palu yang hampir mengalami krisis energi listrik tahunan. Selama ini, kapasitas listrik mencukupi, tetapi sering terjadinya kerusakan pada pembangkit tenaga diesel dan uap sehingga membuat PLN sering memadamkan secara bergilir berjam-jam,” papar Nova.

Paling lambat pada Juni tahun ini Kota Palu dan sekitarnya diharapkan dapat memanfaatkan PLTA Poso. ”Kami dorong untuk secepatnya merampungkan pemasangan transmisi,” kata Nova.

Direktur Utama PT Poso Energi Ahmad Kalla mengatakan, PLN sebenarnya ingin berhemat dengan membangun jaringan transmisi ke selatan Sulawesi dengan potong jalan melalui gunung dan hutan lebat. ”Dengan jalan pintas itu, PLN bisa mengurangi jaraknya sampai 30 kilometer yang harus dilalui. Namun, karena melalui gunung dan hutan belantara, kontraktor PLN kesulitan. Akibatnya, pembangunan transmisi terlambat dua tahun,” tutur Ahmad.

Menurut dia, sambil menunggu jaringan transmisi selesai, masyarakat Palu terpaksa menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). ”Dengan diesel, PLN justru rugi sampai sekitar Rp 800 miliar karena menggunakan solar bersubsidi,” kata Ahmad.

Secara terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulteng Bambang Soenaryo menyatakan, selama ini koordinasi terkait kendala-kendala di lapangan terus dilakukan.
Tambah subsidi

Sementara itu, sambil menunggu pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang segera dibangun di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa tengah, pengelola PLTD terpaksa harus menambah subsidi pembelian solar sebesar Rp 3,4 miliar.

Manajer PLTD Kepulauan Karimunjawa Nor Sholeh mengatakan, sejak menggunakan solar nonsubsidi, biaya pembelian solar membengkak lebih dari dua kali lipat. Padahal, dana subsidi dari Pemerintah Kabupaten Jepara dan Provinsi Jateng Rp 1,5 miliar per tahun dinilai sudah tak mampu lagi untuk menanggungnya.

”Tambahan itu diperlukan untuk menunggu pembangunan PLTG dilakukan. Menunggu PLTG beroperasi pada akhir 2014 tentu sangat lama,” kata Sholeh.

Oleh sebab itu, akibat biaya bertambah, Wakil Bupati Jepara Subroto mengatakan, Pemerintah Kabupaten Jepara menyurati Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, memohon agar PLTD diperkenankan menggunakan solar bersubsidi. ”Hingga kini, belum ada jawaban dari instansi tersebut. Padahal, persoalannya harus segera diselesaikan,” ujar dia. (VDL/HEN)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005016566