BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pendidikan Informal untuk Perempuan Desa

Lian Gogali
Pendidikan Informal untuk Perempuan Desa

Oleh: Videlis Jemali
Matahari masih belum benderang pada pertengahan Mei lalu. Kabut mewarnai persawahan dan gunung di sekitar jalan Trans-Sulawesi, di sekitar Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sepagi itu, Lian Gogali (36) dan rekannya memulai ikhtiar mengajak para perempuan dari kampung ke kampung untuk bergabung dalam wadah bersama demi kemerdekaan berpikir dan bertindak.

Sampai malam hari, Lian masih menyambangi beberapa desa untuk menggelorakan semangat para ibu agar bergabung dalam simpul pendidikan informal, yakni Sekolah Perempuan. Sekitar 60 perempuan pun menjadi peserta untuk Sekolah Perempuan pada 2014.

Sebelumnya, ada dua angkatan Sekolah Perempuan, tahun 2010 dan 2011. ”Mereka mau mengikuti (Sekolah Perempuan) yang kegiatannya dimulai Juli nanti,” ujar Lian, Direktur Institut Mosintuwu.

Pendidikan terhadap perempuan, terutama kaum ibu, yang diselenggarakan Institut Mosintuwu merupakan hasil ziarah dan pergulatan pribadi Lian. Tahun 2004, ketika konflik Poso belum lama pecah, dia menyambangi kampung-kampung yang dijadikan lokasi pengungsian berkaitan dengan penelitian tesisnya.

”Pada saat bersamaan, para ibu mulai ’melangkah’. Mereka menjual sayuran dan ikan dari kampung ke kampung, tak peduli kampung itu didominasi warga beragama apa. Ternyata tak terjadi apa-apa seperti yang dipersepsikan orang. Para ibu itu menjadi juru damai. Tetapi, narasi tentang mereka tak pernah diangkat,” kata anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Peristiwa itu membuat Lian berkesimpulan, dalam setiap konflik sosial, ingatan kolektif akan perdamaian dieksploitasi atau dipolitisasi. Padahal, gerak perdamaian sesungguhnya berada di akar rumput. Itu dilakukan orang-orang yang tak punya kepentingan apa-apa, termasuk perempuan.
Pulang kampung

Peristiwa tersebut terus menghantui perempuan bernama lengkap Nerlian Gogali ini. Begitu rampung studi magister, dia pulang kampung ke Taliwan, Morowali Utara. Namun, keinginannya untuk memberikan peran lebih bagi kaum perempuan tak berjalan mulus.

”Tetapi, niat saya untuk berbagi cerita dengan para ibu di sini tidak pernah surut. Saya kemudian mulai berpikir untuk menyelenggarakan pendidikan informal bagi kaum perempuan,” ujar Lian.

Tahun 2009, bersama sebuah jaringan keagamaan yang bergerak di bidang penguatan kapasitas perempuan, Lian mulai mewujudkan mimpinya. Sekolah Perempuan mulai bergulir. Para ibu pun berbagi tentang berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Waktu itu, kegiatan ini masih berpusat di Poso, ibu kota Kabupaten Poso.

Sekitar setahun kemudian, Lian mendirikan Institut Mosintuwu. Dalam bahasa setempat, bahasa Pamona, mosintuwu berarti gotong royong. ”Saya berpikir, berbagi pengalaman dengan sesama perempuan ini harus berkelanjutan. Harus ada organisasi untuk menghidupkan cerita khas perempuan tentang kehidupannya,” ucap dia.

Dia tak putus asa meski pernah mengalami kecelakaan saat bersepeda motor. Saat itu ia menyambangi sebuah kampung di wilayah pedalaman Kabupaten Poso untuk bertemu para ibu.

Awalnya, peserta Sekolah Perempuan cuma lima orang. Itu pun dia peroleh setelah ”berpromosi” dari rumah ke rumah. Meski begitu, kegiatan tetap berlangsung hampir selama enam bulan. Sekali dalam seminggu mereka bertemu.

Pertengahan 2010, Institut Mosintuwu mendapat donasi dari luar negeri. Dengan dukungan finansial memadai, Lian langsung berekspansi ke 14 desa lain, di antaranya di wilayah Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Poso Kota, dan Lage. Jumlah peserta Sekolah Perempuan pun bertambah menjadi sekitar 280 orang.

”Para ibu yang bergabung berasal dari agama ataupun suku yang beragam,” kata anak pasangan Dekius Gogali dan Reliuni Hingkuae ini.
Pemulihan

Fokus pendidikan untuk angkatan pertama terkait pemulihan setelah konflik horizontal yang mencabik Poso pada kurun 1999-2001. Materi dan berbagi pengalaman berpusat pada usaha para perempuan untuk pemulihan psikososial masyarakat.

”Perwakilan dari setiap agama diberi kesempatan berbicara tentang ajaran damai dalam keyakinannya. Pertemuan berikutnya, kami berkunjung ke salah satu rumah ibadah. Perwakilan dari agama tersebut lalu menjelaskan berbagai hal, seperti simbol dan perayaan yang dia jalani. Ini penting untuk mengembangkan toleransi,” kata ibu satu anak ini.

Pada 2011, sekolah untuk angkatan kedua terselenggara. Peserta bertambah banyak karena bergabung pula 24 desa baru. Di antaranya dari wilayah Kecamatan Poso Pesisir dan Poso Pesisir Utara.

Inti pergulatan angkatan kedua, perempuan harus bersuara di komunitasnya. Materi tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dibahas bersama, juga kebijakan di tingkat desa.

Hasilnya, pada 2012, mereka yang berkonsentrasi mengurus KDRT berhasil membawa pelaku ke pengadilan dan divonis 6 tahun penjara. ”Padahal, mereka hanya tamatan SD dan SMP. Saya berkesimpulan, para perempuan akar rumput sangat kuat, mereka hanya butuh akses.”

Selain berhasil menegakkan hukum, cerita sukses angkatan kedua juga diwarnai duduknya para peserta sebagai ketua RT hingga berbagai posisi di pemerintahan desa. Tak jarang di antara mereka mengkritik kebijakan di tingkat lokal dalam berbagai pertemuan, seperti musyawarah perencanaan dan pembangunan.

Pada Pemilu Legislatif 2014, empat perempuan berhasil lolos ke DPRD Poso. ”Mungkin ini tak ada hubungan langsung dengan apa yang kami lakukan, tetapi semangatnya sama. Ini pertama kali dalam sejarah, Poso punya empat perempuan anggota dewan.”
Usaha kreatif

Selain itu, mereka pun telah mengembangkan usaha kreatif, seperti membuat tas dari bekas botol air minum dalam kemasan dan dipasarkan di sekitar Tentena.

Upaya Lian memberdayakan perempuan tak selalu mulus. Dia pun mendapati sejumlah tantangan, terutama dari suami para peserta Sekolah Perempuan. Dia sering ditelepon dan dikirimi pesan singkat untuk mengklarifikasi apa yang dilakukan dalam setiap pertemuan.

”Saya justru senang bisa menjelaskan semuanya langsung kepada suami mereka,” ujar dia.

Tahun ini, angkatan ketiga Sekolah Perempuan pesertanya tersebar dari 42 desa hampir di semua kecamatan di Poso. Kegiatan ini dimulai Juli 2014. Peserta akan didorong untuk terlibat dalam pembangunan desa, termasuk menyongsong pemberlakuan Undang- Undang Desa pada 2015.

”Perempuan adalah pihak yang paling merasakan semua kebijakan pada hampir semua level. Pelibatan mereka mutlak, dan itu harus dimulai dari desa,” ujar Lian.

Nerlian Gogali
Lahir: Taliwan, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, 24 April 1978 Anak: Sofia Alfa Gogali (6) u Pendidikan: - S-1 Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana, Yogyakarta, 1997-2002 - S-2 Program Studi Religius dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2004-2006 u Pekerjaan: Direktur Institut Mosintuwu, 2010-kini u Penghargaan:- Coexists Prize dari Pemerintah Inggris untuk Hubungan Antar- agama, 2012- Kartini Award, 2014

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007298322