BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Poso yang Kini Damai

TANAH AIR
Poso yang Kini Damai

Oleh: Dahlia Irawati/ Gregorius Magnus Finesso

IKATAN persahabatan sebagai nilai luhur orang Pamona, suku asli Poso, Sulawesi Tengah, dalam beberapa tahun terakhir seolah tenggelam akibat konflik horizontal yang disusul rentetan teror. Namun, stigma Poso yang tidak aman itu pudar kala tim Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 menjadi saksi betapa damai terus disemaikan di Poso.

Hari beranjak gelap ketika 50 pesepeda melintasi perbukitan di Pendolo, Kabupaten Poso, Senin (25/8) petang. Hutan belantara di kiri dan kanan jalan, dengan permukiman yang masih jarang, menambah suasana kian mencekam.

Susilawati (34), perempuan pegowes yang turut serta dalam Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014, sesekali menengok ke kiri dan kanan. Lengang. Tak terlihat rombongan pesepeda di dekatnya. Bulu kuduknya merinding, seiring detak jantung yang kian deras.

”Poso selama ini dikenal karena ada konflik antarwarga dengan aksi penculikan dan pembunuhan. Gambaran seperti itu melintas di benak saya malam itu. Takutnya ada yang tiba-tiba menghadang karena saya terpisah dari rombongan,” ujarnya.

Saat itu, tim Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 dalam perjalanan dari Poso menuju Pendolo, Kecamatan Pamona Utara, Poso, wilayah terpencil yang berbatasan dengan Sulawesi Selatan. Ketakutan Susilawati saat pertama kali memasuki wilayah Poso boleh jadi dirasakan pula oleh sebagian orang saat mendengar nama Poso disebutkan.

Sejak terjadi konflik antarwarga pada 1998-2001, hingga kini Poso belum bisa lepas dari stigma negatif sebagai wilayah konflik dan rawan. Hal itu ditambah dengan sejumlah aksi teror dari kelompok yang tidak ingin Poso diliputi kedamaian.

Namun, kecemasan itu pupus kala rombongan bermalam di Poso. Mereka sebelumnya menempuh perjalanan selama tujuh hari dengan rute sekitar 758 kilometer dari Manado, ditambah perjalanan 19 jam menyeberangi Teluk Tomini.
Keramahan Pamona

M Donald (55), pesepeda asal Jakarta, mengatakan, dirinya tidak khawatir dengan berita-berita mengenai situasi keamanan di Poso. Ia meyakini, kedatangan rombongan pesepeda di Poso yang bermaksud baik tidak akan mendapatkan halangan.

”Ternyata benar, Poso aman saja. Tidak seseram seperti yang banyak diceritakan. Kotanya bagus dengan potensi alam yang sangat indah, terutama Danau Poso,” kata Donald.

Bahkan, dia sempat berkeliling kota pada malam hari, termasuk membeli bawang goreng Poso yang renyah dan gurih. Menyusuri sudut-sudut kota Poso yang sempat menjadi area konflik pada beberapa tahun silam tak membuat Donald jeri.

Dwi Librianto, peserta jelajah sepeda yang lain, juga merasakan tenteramnya Poso. Falsafah sintuwu maroso atau ikatan kekerabatan kuat, kearifan lokal orang Pamona, terlihat jelas sepanjang perjalanan.

Menuju Pendolo dari Poso, bocah sekolah berjajar di pinggir jalan memberikan salam atau sekadar melambaikan
tangan kepada rombongan pesepeda. Pesepeda pun menyambut sapaan tulus itu dengan menyalami mereka dari atas
sadel.

Keramahan orang Pamona lagi-lagi didapati rombongan di pelosok Poso. Di wilayah perbukitan sejuk di tepi Danau Poso, mereka bersama warga menarikan dero, tarian adat yang melambangkan persaudaraan tanpa batas. Mereka berjoget bersama sebelum rombongan menuju Tomoni, Sulawesi Selatan, Selasa (26/8) pagi. Mereka bersama pegawai pemerintah, warga, polisi, dan anggota TNI membentuk formasi lingkaran dan bergandeng tangan menari mengikuti iringan musik tradisional.

”Dulu, saat konflik antardesa, saat dero sudah ditarikan, permusuhan berakhir,” ujar Frans Tobondo (49), warga Pendolo.
Saatnya membangun

Suburnya benih perdamaian yang disemai di Poso dirasakan betul oleh Frans yang bekerja sebagai pedagang hasil bumi. Saat konflik antarwarga pecah pada 1998-2001, dia tidak berani membawa hasil bumi dari Pendolo ke Poso, terutama saat malam hari. Frans berhenti bekerja. Ekonominya lumpuh.

Seiring waktu, situasi berangsur pulih. ”Yang kami butuhkan hanya kenyamanan berusaha. Kalau teror, bisa terjadi di semua tempat,” katanya. Kerukunan antarumat beragama makin kuat terjalin. Rifka Harami (33), pendeta Gereja Kristen
Sulawesi Tengah Jemaat Peniel Poso, mengatakan, masa kelam konflik dikubur dalam-dalam. Warga kembali bersilaturahim.

Bupati Poso Piet Inkiriwang berharap rakyat Indonesia memahami, situasi Poso kini aman. ”Papan dusta itu apabila bilang Poso tidak aman (Bohong jika bilang Poso tak aman),” ujarnya.
 
—————————————————————————

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008590675

Related-Area: