BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Prof MC Ricklefs: Demokrasi Indonesia Cukup Sehat

Prof MC Ricklefs: Demokrasi Indonesia Cukup Sehat

Oleh: Ilham Khoiri dan Maria Hartiningsih

Perkembangan demokrasi di Indonesia cukup menggembirakan, sekaligus mengkhawatirkan. Demokrasi bisa diterapkan, meski masih prosedural, tetapi juga menghadapi masalah serius terkait kemiskinan, korupsi, penegakan hukum dan keagamaan.

Profesor Emeritus, The Australian National University, Australia, Merle Calvin Ricklefs (70), mengemukakan hal itu saat berbincang dengan Kompas, di Jakarta di pengujung 2013.

Saat itu dia baru meluncurkan buku Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Buku itu adalah terjemahan dari Islamisation and its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present (2012). Buku terakhir itu semacam kelanjutan dari dua buku sebelumnya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (2006) dan Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c.1830-1930 (2007).

Ketiga buku penting itu mengungkapkan sejarah perkembangan masyarakat Jawa, sekaligus pergulatan Indonesia sebagai negara. Karya-karyanya, yang dituliskan secara obyektif, adalah sumbangan berharga bagi para pengkaji sejarah negeri ini.
Jawa

Lewat penelitian panjang, dia menelusuri dinamika masyarakat Jawa dan Islam. Suku Jawa berjumlah sekitar 100 juta jiwa atau 40 persen dari total 250 juta penduduk Indonesia, dan Islam menjadi agama mayoritas. Perubahan-perubahan masyarakat Jawa dan Islam tentu memengaruhi perjalanan negeri ini.

Pada masa kolonial pada 1930-an, masyarakat Jawa terpilah dalam identitas abangan dan santri. Kalangan abangan sebagai mayoritas sebenarnya memiliki kekayaan rohani, tetapi tidak begitu taat menerapkan ajaran Islam yang murni. Mereka akrab dengan warisan budaya lokal, seperti wayang, gamelan, ketoprak, jaranan, atau sastra Jawa.

Kalangan santri, dengan merujuk pada kehidupan pesantren, berpegang teguh pada ajaran agama Islam, dan menyebut diri mereka sebagai ”putihan” (golongan putih). Mereka umumnya lebih aktif berbisnis, menghindari opium, judi, menjalankan rukun Islam, dan memberikan pendidikan memadai untuk anak-anak mereka.

Meski memiliki dunia masing-masing, kedua kelompok pernah bersinggungan dalam sintesa mistik khas Islam Jawa, pada 100 tahun silam. Pertama, Jawa adalah Muslim. Kedua, mereka menjalankan rukun Islam seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Ketiga, mereka juga masih mengakui konsep kekuatan gaib lokal, terutama lewat pemahaman sufisme.

Pada zaman Soekarno, kaum abangan terwadahi, antara lain, dalam institusi seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah keadaan. PKI dibubarkan dan PNI berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1973.

Proses islamisasi masyarakat Jawa terjadi saat Soeharto berkuasa. Pelajaran agama masuk kurikulum sekolah, sampai ke pedalaman. Tercipta hubungan antara pemerintah dan kegiatan agama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sebenarnya digunakan untuk mengontrol Islam.
Masa penentuan

Reformasi 1998 mendorong Indonesia dalam demokrasi. Namun, pemerintah cenderung lemah dan para tokoh politik mencari dukungan dari masyarakat, termasuk kaum agamawan. ”Sekarang kelompok agama mengarahkan pemerintah,” ujarnya, ”Agama muncul sebagai kekuatan yang kian menentukan banyak hal di negeri ini.”

Pada saat bersamaan, partai politik (parpol) nasionalis merapat ke kelompok Islam dengan mendirikan sayap kegiatan keagamaan. Pemisahan ideologis antara partai nasionalis dan Islam menjadi cair. Kalangan abangan kehilangan semua institusi yang membela dan menjaganya.

Akibatnya, warisan budaya tradisional, seperti wayang, gamelan, ketoprak, atau jaranan mulai hilang, digantikan oleh ekspresi budaya yang lebih islamis, meski ada juga pengaruh budaya modern populer. Dulu nama orang Jawa itu biasanya Bambang, Joko, Sigit, tetapi sekarang menjadi nama-nama Arab.

”Indonesia memasuki era baru, di mana agama sangat menentukan. Intensifikasi kehidupan agama ini tidak bisa dibalikkan karena sudah demikian menentukan,” katanya.

Fenomena itu juga berlangsung hampir secara global. ”Bagi kelompok agama yang lebih murni, perkembangan ini positif. Bagi kelompok yang menempatkan praktik agama sebagai urusan pribadi, kondisi ini dianggap negatif,” katanya.

Ketika ditanyakan pengaruh ”islamisasi” terhadap solidaritas bangsa, Ricklefs mengatakan, ”Bagi Muhammadiyah dan NU, tidak ada konflik antara Pancasila dan Islam. Namun, dua organisasi Islam paling besar itu kini menghadapi tantangan tersendiri dengan hadirnya organisasi-organisasi garis keras.”

Indonesia memiliki sejumlah pemikir Islam yang menonjol dengan gagasan keagamaan terbuka, antara lain Nurcholis Madjid, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atau Buya Syafii Maarif. Pemikiran mereka memberikan banyak sumbangan kepada dunia Islam.

”Tetapi, apakah mereka benar-benar bisa mendorong umat Islam menjadi moderat? Syiah yang ada sejak dulu kini tidak terakomodasi. Ahmadiyah yang ada di sini sejak 1920-an, sekarang menjadi isu. Kelompok Kristen juga kesulitan mendirikan gereja di daerah tertentu. Moderasi tidak terasa dalam kasus-kasus itu,” katanya.
Demokrasi

Namun Ricklefs juga menemukan, proses demokrasi yang cukup sehat di Indonesia. Militer sudah tidak lagi berpolitik praktis. Masyarakat semakin mudah berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Mereka juga menikmati kebebasan berpendapat, berserikat, berpartai politik, dan merebut jabatan publik.

Namun, demokrasi di sini mengandung persoalan. Di negara maju, demokrasi berkembang ditopang parpol yang kuat dan mandiri. Di Indonesia, parpol lemah. ”Demokrasi di sini masih sangat individualistik. Loyalitas pada parpol hampir tidak ada. Pemilih bisa pindah dari satu parpol ke parpol lain. Karena itu, sukar menilai bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia,” katanya.

Kekuasaan Soeharto runtuh 15 tahun lalu, tetapi sebagian besar tokoh politik masih berakar dari zaman Orde Baru. Sebut saja Prabowo Subiyanto, Wiranto, atau Megawati Soekarnoputri. Hampir tidak ada tokoh baru, kecuali Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta.

Pada saat bersamaan, penegakan hukum masih kurang. Praktik korupsi kian marak. ”Ada yang bilang, yang paling menonjol dari politik Indonesia dulu adalah korupsi,” katanya.
Tarik-menarik

Untuk mencari jalan keluar atas masalah ini, kata Ricklefs, ada dua pilihan. Pendekatan pertama, menekankan keadilan, dan lainnya, mengutamakan kebebasan. Orientasi pada keadilan—dan ini kuat dalam Islam—cenderung optimistis pada pemerintah untuk mengontrol masyarakat. Sementara pencari kebebasan percaya pada kebaikan individu manusia dan bersikap pesimistis terhadap kekuasaan yang berpotensi korup jika tidak dikontrol.

Pendekatan yang menekankan keadilan memiliki harapan, tetapi juga berisiko menciptakan kekuasaan totaliter karena cenderung ingin mengendalikan masyarakat. Pendekatan yang mengutamakan kebebasan juga berisiko menciptakan anarkisme. Tak ada jalan keluar yang sempurna.

”Demokrasi sebagai sistem politik tidak pernah sempurna karena didasarkan pada manusia dan manusia memang tidak sempurna,” kata Ricklefs.

Untunglah, ikatan keindonesiaan cukup kuat. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mampu bertahan menghadapi berbagai konflik keras. Proses globalisasi juga tidak menjadi ancaman. ”Salah satu institusi pengikat yang kuat adalah bahasa Indonesia,” ujarnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004863484