Pusaka Warna-Warni Magis dari Alor
Oleh: Sarie Febriane
Dalam tradisi menenun di Pulau Alor, tak hanya soal motif yang diwariskan para leluhur. Namun juga narasi pengetahuan tentang warna yang disarikan dari alam sekitar. Warna yang menyimpan energi alam dan merasuki tenun untuk menggenapi identitasnya.
Dini hari pukul 04.30, keluarga Sariat Libana (42) sudah bangun dan berbenah. Udara pagi terasa dingin menusuk setelah gerimis semalaman. Aliran listrik kini sudah menyala lagi. Di Kampung Hula, Desa Alor Besar, ini suplai listrik kerap kali terputus di atas pukul 21.00. Desa ini sekitar 30 kilometer dari Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Pagi itu kami sarapan kue salome, semacam dadar gulung dari tepung singkong yang diisi gula dan parutan kelapa. Beberapa potong singkong mentah kering dan potongan daging kelapa juga terhidang. Setelah menghabiskan segelas kopi hitam dan mengisap sebatang rokok kretek, Mama Sariat dan sepupunya, Mama Sahari, beranjak keluar rumah. Kami turun menuju pantai, sekitar 100 meter dari rumah.
Di pantai, mereka berburu teripang. Dari teripang itulah, Mama Sariat berhasil meracik bahan pewarna alami untuk mencelup benang sebelum ditenun menjadi kain. Pencarian teripang biasanya dilakukan malam selepas senja. Sayangnya, malam sebelumnya hujan turun terus-menerus.
Air laut yang tengah surut menampakkan hamparan karang-karang landai. Di seberang laut terlihat Pulau Buaya dan Pulau Ternate, tempat asal leluhur Mama Sariat. Setelah membalik-balik batu karang beberapa kali, akhirnya terkumpul teripang-teripang yang cukup besar.
Mama Sahari juga sempat mengambil beberapa buah tongke atau bakau, yang juga bahan pewarna alami untuk tenun. Menjelang siang, keduanya baru berhenti berburu dan kembali ke rumah.
”Teripang ini nanti kita rebus. Air rebusan itu yang diambil untuk merendam benang,” kata Mama Sariat.
Ide mengambil air rebusan teripang untuk mewarnai benang muncul dari suami Mama Sariat, Muhammad Libana (40), nelayan yang kerap juga mencari teripang untuk dijual kepada pengumpul dari Surabaya, Jawa Timur. Teripang (Sea cucumber) ini selain untuk bahan pangan sumber protein juga populer diolah menjadi suplemen kesehatan berbentuk jel yang dikenal dengan gamat. Teripang dijual oleh nelayan ke pengumpul dalam keadaan telah direbus dan dikeringkan.
”Dulu air rebusan teripang cuma dibuang. Suami minta saya coba untuk jadi pewarna, ternyata benar bisa,” kata Mama Sariat, yang tak pernah bersekolah ini.
Eksplorasi biota laut yang dilakukan Mama Sariat merupakan naluri alamiah yang juga dilakukan para leluhurnya. Mereka menyarikan warna dari sumber alam sekitar untuk mewarnai tenun hingga identitas kain pun menjadi utuh sebagai tenun yang dihasilkan oleh penduduk dan alam Alor. Warna alami itu menjadi perantara energi dari alam Alor yang merasuk dalam setiap serat-serat benang kain tenun. Keutuhan energi inilah yang dikembalikan Mama Sariat dan kelompok tenunnya dengan mengikuti kearifan leluhurnya, yang mengeksplorasi alam sekitarnya dalam menciptakan tenun-tenun indah.
Sejauh ini, ada tujuh macam teripang yang bisa menghasilkan aneka warna mulai dari pink atau merah jambu, ungu, merah, kuning, dan coklat. Sebelum benang dicelup untuk diwarnai, benang direndam dalam air kelapa tua bercampur kemiri, garam laut, dan daun tanaman kolam susu yang diremas-remas.
Tahap awal tersebut sebenarnya merupakan proses mordan untuk membuat serat-serat benang memiliki afinitas (daya ikat atau serap) yang lebih kuat terhadap pewarna. Setelah itu, barulah benang-benang yang telah diikat tali plastik sesuai pola motif dicelup dalam aneka pewarna alami, baik dari tanaman atau biota laut seperti teripang.
Mama Sariat juga memanfaatkan bahan alami untuk proses fiksasi (penguncian warna), seperti kapur atau jeruk nipis. Substansi alami ini tidak memberi efek buruk, berbeda dengan bahan fiksasi kimia, seperti misalnya HCL (hydrochloric acid) yang dapat mengiritasi kulit dan limbahnya mencemari lingkungan.
Warna purba
Ada catatan menarik dari penelitian Geneviève Duggan, seorang antropolog asal Perancis yang pernah meneliti tradisi menenun di Pulau Sabu, yang juga berada di NTT. Dari penelitiannya terungkap, pada dasarnya ada tiga warna utama dalam kultur orang Austronesia purba yang berdiam di Indonesia sejak milenium pertama atau mungkin juga sebelumnya. Ketiga warna itu adalah putih, biru gelap, dan merah.
Warna putih adalah warna dasar dari benang katun, warna biru gelap diambil dari tanaman tarum atau nila (Indigofera tinctoria), dan warna merah dari akar pohon mengkudu (Morinda citrifolia). Ketiga warna inilah, termasuk bahan pewarnanya, yang juga banyak ditemui dalam tenun ikat di Alor.
Warna-warna tenun dengan pewarna alami cenderung redup dibandingkan tenun dengan pewarna kimia. Meski begitu, daya tahan warnanya cukup kuat. Salah satu cara menjaganya yaitu, selama proses pengeringan setelah pewarnaan, benang tidak boleh dijemur di bawah sinar matahari langsung. Begitu pula setelah menjadi tenun.
”Tenun ini usianya sudah 50 tahun, buatan ibu saya. Pakai pewarna tanaman nila dan mengkudu, sampai sekarang tidak luntur,” kata Mama Sariat menunjukkan sehelai tenun tua bermotif gajah.
Tenun tua bermotif gajah itu memang hanya memuat tiga macam warna, seperti yang dikatakan Geneviève, yakni putih, biru gelap indigo, dan merah. ”Akar mengkudu yang diambil hanya dari tanaman yang berdaun kecil-kecil, baru keluar warnanya,” kata Mama Sariat.
Menurut catatan pemerintahan Kabupaten Alor berjudul Sejarah Motif Tenun, motif gajah pada tenun Alor merupakan adaptasi dari kain-kain asal India yang dibawa pedagang India di masa lalu. Pada tenun, motif berbentuk gajah itu diwarnai merah dari akar mengkudu. Warna merah bisa merepresentasikan darah sekaligus kekuatan energi.
Tenun adalah bentuk catatan kehidupan para leluhur Alor yang tak menyerap tradisi mencatat. Catatan berwarna yang terasuki energi magis dari sang alam.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004382353
-
- Log in to post comments
- 466 reads